Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Petualangan 5 Sekawan ala Kampung

17 Juli 2024   10:09 Diperbarui: 17 Juli 2024   10:13 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hari ini Yai mau ke kota, ada acara haul Kiai pesantren," kata Raka kepada empat temannya yang sedang memasuki pelataran sebuah rumah besar. Mereka terlibat dalam percakapan sebentar kemudian sama-sama berjalan ke arah rumah besar tadi. Raka sebagai anak yang tertua langsung mengambil posisi paling depan begitu mereka sampai di depan teras.

"Assalamu alaikum Nyai," kata Raka memberi salam kepada seorang wanita tua yang sedang membaca al Quran di ruang tamu.

"Waalaikum salam," jawab wanita itu.

Dia menengok ke teras sambil membenarkan posisi kaca mata plusnya yang tebal agak ke atas untuk memastikan siapa gerangan tamu yang memberi salam sore-sore begini. Agak lama dia menatap ke teras dari bali kaca mata plusnya itu.

"Ayo masuk Nak," jawabnya sambil menutup al Quran. Wanita tua ini mencoba berdiri dengan bantuan dua tangannya yang sudah lemah.

Anak-anak tadi langsung menghampirinya setelah melepaskan sandal mereka di depan teras. Satu per satu mereka masuk ke ruang tamu untuk memberi salam sambil mencium tangan wanita itu.

"Yai hari ini diundang ke pesantren di kota buat acara haul Kiai Badrun nanti malam. Baru tadi siang berangkat. Jadi hari ini ngajinya diliburkan dulu," katanya sambil berjalan menuju teras.  Wanita ini adalah Nyai Siti, istri dari Kiai Hasan. Panggilan Yai yang disebutnya tadi adalah sapaan untuk suaminya, Kiai Hasan, guru ngaji di kampung itu.  

Kelima anak itu berjalan di belakang Nyai Siti. Mereka lalu mengambil posisi duduk di sebuah kursi kayu panjang yang bersebelahan dengan kursi yang diduduki Nyai. Mereka mulai terlibat percakapan yang hangat sambil tertawa-tawa. Nyai Siti kemudian berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya yang tadi tertinggal karena salat Asar. Anak-anak pun berhamburan keluar dari teras berlari menuju jalan kampung.

Di atas jalan tanah tersebut mereka membicarakan rencana kegiatan untuk mengisi waktu senggang pengganti ngaji. Tiba-tiba Bimo yang bertubuh gempal nyeletuk.

"Main petak umpet aja yuk."

Keempat temannya hanya berpandang-pandangan mendengar usulan Bimo tersebut. Akhirnya Sari dan Mira saling mengangguk pertanda setuju. Sementara Raka dan Tomi tampak berpikir dulu, tetapi keduanya juga ikut mengangguk seperti Sari dan Mira. Mereka sepakat main petak umpet di taman tua yang berada di ujung kampung dekat rumah Kiai Hasan.

Mereka lalu berjalan beriringan menuju taman yang sudah penuh dengan rumput dan ilalang di tengahnya. Meski sudah lama ditelantarkan taman ini selalu menjadi tempat berkumpul anak-anak kampung setiap sore. Patung-patung yang berada di pinggir taman sudah ditumbuhi lumut yang tebal sehingga meninggalkan jejak-jejak berwarna hijau di wajah dan bagian tubuh lainnya. Di sisi luar taman mengalir sungai yang jernih dikelilingi pohon-pohon besar dan hutan yang lebat. Di dalam hutan ini terdapat sebuah tempat menyerupai gua yang sangat jarang dijamah oleh warga kampung.

Di ujung taman terdapat sebuah bangunan berbentuk saung yang menjadi tempat anak-anak beristirahat setelah lelah bermain. Di saung inilah Raka, Tomi, Bimo, Sari, dan Mira beristirahat sambil melihat keadaan taman yang dikelilingi oleh semak dan pohon-pohon besar, tempat sempurna untuk bersembunyi. Kelima murid Kiai Hasan ini duduk sejenak sambil membicarakan aturan main petak umpet. 

Ketika hari menjelang senja dan bayangan mulai memanjang, suasanan taman menjadi agak mistis. Anak-anak ini tidak memedulikannya. Mereka turun dari saung dan menuju ke tengah taman untuk memulai permainan petak umpet. Mereka berdiri membentuk lingkaran sambil menggerakkan tangan bermain hom pim pa. Setelah beberapa kali hom pim pa akhirnya Raka yang menjadi penjaganya.

"Baiklah, aku akan mulai menghitung sampai sepuluh. Kalian semua cari tempat bersembunyi!" kata Raka sambil menutup matanya dengan tangan.

Anak-anak lainnya berlarian mencari tempat bersembunyi. Sari bersembunyi di balik patung singa, Bimo memanjat pohon tua, Tomi merangkak di bawah semak-semak, dan Mira, dengan imajinasi liarnya, bersembunyi di dekat gua kecil.

"Tu wa ga pat ..." suara Raka terdengar menggema di sekitar taman sebagai perintah kepada teman-temannya untuk segera bersembunyi. Setelah menyelesaikan hitungan ke sepuluh Raka langsung membuka matanya. Matanya dengan sigap mengamati pohon-pohon besar  dan semak-semak rindang yang berada di luar taman. Suasana menjadi hening. Raka melangkah pelan-pelan mendekati pohon yang paling dekat dengannya.

Kosong. Tidak ada temannya yang bersembunyi di sana. Kali ini dia berjalan menuju ke pohon lain yang ada di belakngan pohon pertama tadi. Dia sempat melewati beberapa semak yang dikiranya akan menjadi tempat persembunyian. Tapi kosong semua. Begitu juga dengan pohon yang kedua. Tidak ada orang yang bersembunyi di sana.

Akhirnya Raka berbalik arah untuk kembali ke tempat penjagaannya. Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba terdengar suara yang cukup keras dari dalam hutan.

"Teman-teman! Ayo kemari, cepat!"

Raka menghentikan langkahnya dan memalingkan wajahnya ke arah sumber suara tadi. Suara tadi menghilang. Dia mencoba untuk mengingat-ingat siapa pemilik suara tersebut. Raka belum bergerak dari tempatnya tadi. Dia sedang mengarahkan seluruh kekuatan ingatannya untuk mengenali suara yang memanggil-manggil tadi.

Tiba-tiba suara yang sama muncul lagi.

"Teman-teman! Ayo kemari, cepat!"

Kali ini semakin jelas. Suara tersebut berasal dari dalam hutan. Dari balik pohon dan semak-semak muncullah Mira sambil melambai-lambaikan tangannya kepada Raka. Mira memberi isyarat agar Raka segera mendekatinya. Raka pun segera berjalan ke arah Mira. Satu per satu teman-teman mereka yang masih bersembunyi keluar dari persembunyiannya menuju ke arah Mira dan Raka.

Setelah mereka berkumpul semua Mira lalu menceritakan apa yang dia temukan ketika bersembunyi di dalam gua kecil yang ada di balik tempat mereka berdiri sekarang. Mira lalu berjalan masuk kembali ke dalam hutan lalu diikuti Raka, Sari, Bimo, dan Tomi. Mereka berjalan berdekatan melewati jalan tanah yang basah dan licin. Rumput dan semak-semak yang mereka lewati juga tampak basah sehingga memberikan hawa dingin ke tubuh mereka.

Mira berhenti di pinggi air sungai yang mengalir. Dia memberi isyarat agar teman-temannya melompat dengan hati-hati karena tanah di seberang sungai tersebut banyak yang licin. Mira lalu melompat menyeberangi sungai tersebut. Kemudian Raka, lalu diikuti Sari, Bimo, dan Tomi.

"Itu tempatnya!" kata Mira sambil menunjuk sebuah lubang yang letaknya di turunan yang agak curam. Mereka lalu menuruni jalan tanah itu pelan-pelan. Satu per satu mereka masuk ke dalam gua yang tidak terlalu dalam jaraknya. Mira kemudian berhenti di depan semak-semak yang tebal.

"Di balik semak-semak ini ada pintu batu," kata Mira bersemangat. Raka sebagai anak yang paling berani langsung maju dan meraba-raba pintu batu yang ditunjuk Mira. Raka menyingkirkan semak-semak yang mengganggu pandangannya. Ternyata benar, di balik semak-semak tersebut ada pintu tertutup rapat yang ditutupi lumut. Raka berhasil menemukan sebuah ukiran berbentuk bintang yang bersinar lembut ketika disentuh. Sari, Bimo, dan Tomi tertegun melihat pintu batu itu.

"Apa ini?" tanya Sari sambil mengamati ukiran bintang yang bersinar.

"Tidak tahu, tapi kurasa kita harus membukanya," jawab Raka penuh rasa ingin tahu.

Mereka lalu mendorong pintu batu itu bersama-sama. Pintu tersebut bergerak perlahan, menyingkap sebuah lorong gelap di hadapan mereka. Kelima anak ini sama-sama tertegun dengan pemandangan gelap di hadapan mereka sore itu. Mereka hanya terpukau dengan petualangan baru ini. Raka yang biasanya paling cepat berinisiatif dalam kelompok ini sampai tidak bisa berkata apa-apa dengan pengalaman baru ini.

Sari lalu mengeluarkan senter kecil dari tas yang selalu dia bawa. Senter itu dia serahkan kepada Raka sebagai pemimpin mereka. Raka meraihnya dengan cepat dan langsung menyalakannya. Saat itu belum ada komando untuk bergerak ke dalam. Dari tempatnya, Raka berusaha untuk mencari tahu isi lorong tersebut dengan senter yang ada di tangannya.

Setelah yakin aman, Raka maju duluan ke dalam lorong tersebut. Setelah beberapa langkah, dia memberi isyarat kepada teman-temannya agar ikut di belakangnya. Mira, Sari, Bimo, dan Tomi pun melangkah masuk mengikuti arah Raka.

Lorong itu berkelok-kelok dan tampak tidak berujung. Di sepanjang dinding lorong, terdapat lukisan-lukisan kuno yang menceritakan tentang alam semesta tersembunyi. Semakin dalam mereka melangkah, cahaya bintang-bintang di lukisan tersebut mulai bergerak dan bersinar lebih terang.

"Aku merasa seperti sedang masuk ke dalam cerita dongeng," kata Mira sambil memandangi lukisan-lukisan itu.

Tiba-tiba, lorong menjadi lebih gelap dan dingin. Suara aneh bergema di kejauhan, membuat mereka merinding.

"Kalian dengar itu?" tanya Bimo dengan suara gemetar.

"Iya, sepertinya ada sesuatu di depan," jawab Tomi dengan suara datar.

Mereka terus berjalan, menyusuri lorong dengan perasaan campur aduk antara takut dan penasaran. Semakin dalam mereka melangkah, udara semakin dingin dan suara-suara aneh mulai terdengar dari kejauhan. Sampailah mereka di sebuah ruangan besar dengan langit-langit yang seolah-olah terbuka ke luar angkasa. Di sana, mereka melihat planet-planet, bintang-bintang, dan galaksi-galaksi yang berputar dengan indah.

Tiba-tiba, cahaya senter di tangan Raka menerangi sebuah lukisan di dinding yang menggambarkan raksasa berkulit biru gelap, memiliki tanduk besar di kepalanya.  

"Kalian lihat ini?" kata Mira dengan mata terbelalak.

"Makhluk apa itu?!" seru Sari dengan suara pelan tapi panik. Wajahnya langsung pucat setelah melihat makhluk raksasa itu. Sari yang biasanya selalu tenang tiba-tiba menjadi parno saat itu.

"Kita harus pergi dari sini, sekarang!" kata Bimo sambil menarik tangan Raka.

Tomi yang diam saja sejak memasuki pintu batu tadi tiba-tiba bergumam, "Aku merasa semakin aneh saja tempat ini."

"Tidak, tunggu. Kita belum tahu apakah tempat ini berbahaya atau tidak," kata Raka berusaha untuk mencoba menenangkan yang lain.

Dengan langkah yang hati-hati, Raka mendekati lukisan itu. Tiba-tiba, makhluk di dalam lukisan tersebut membuka matanya yang menyala-nyala. Tatapannya yang tajam langsung menghentikan langkah Raka yang sudah berdiri di hadapannya.

Tiba-tiba ada cahaya yang keluar meninggalkan lukisan misterius itu. Cahaya itu berhenti di dekat tempat anak-anak berdiri. Cahaya itu kemudian menjelma menjadi makhluk yang ada dalam lukisan dengan ukuran yang lebih besar. Saat itu juga ruang yang ada di lorong menjadi terang karena cahaya dari makhluk raksasa ini.

"Ini benar-benar menakutkan. Kita kembali saja," kata Bimo mencoba untuk mundur.

"Tidak, kita sudah sejauh ini. Kita harus tahu apa yang ada di sini," kata Raka dengan suara mantap, meskipun hatinya juga berdebar kencang.

Dari pantulan cahaya tersebut tampaklah patung-patung raksasa yang berjejer hingga ujung lorong. Patung-patung itu tampak seperti penjaga yang mengawasi setiap gerakan mereka dengan tatapan yang tajam. Di balik patung-patung itu terdapat sumur tua dengan air yang bersinar biru, mengeluarkan suara gemuruh yang menggema ke seluruh lorong.

Anak-anak ini beruntung kali ini karena makhluk raksasa tidak mengganggu mereka sedikitpun. Makhluk itu hanya terdiam ketika Raka dan teman-temannya bergeser mendekati patung raksasa. Dengan mata menyala makhluk itu melihat kelima murid Kiai Hasan ini terus bergerak mendekati sumur tua di belakang patung-patung tersebut.

Tiba-tiba, dari dalam sumur itu muncul suara gemuruh yang sangat keras. Seekor makhluk yang menyerupai dinosaurus dengan kulit hijau gelap tiba-tiba keluar dari sumur.

"Makhluk apa itu?!" teriak Bimo, mencoba menahan diri untuk tidak lari. Meski sangat ketakutan, mata Bimo tidak lepas dari makhluk tersebut.

"Jangan panik Bimo," kata Sari yang mencoba memberanikan diri untuk mendekati Bimo.

"Mungkin dia tidak berbahaya," kata Sari untuk menenangkan Bimo.

Kali ini dinosaurus raksasa itu menatap satu per satu anak-anak itu dengan matanya yang merah membara. Dia tampak marah karena ketenangannya diganggu oleh kehadiran mereka.  

"Siapa yang berani memasuki wilayah ini?" suaranya bergema di seluruh ruangan, membuat anak-anak merasa getaran di tanah.

"Kami... kami hanya anak-anak dari kampung. Kami menemukan pintu menuju tempat ini saat bermain petak umpet," jawab Raka dengan suara bergetar, mencoba untuk tetap tegar.

Makhluk itu mendekat, menunduk untuk melihat mereka lebih jelas. Anak-anak merasa napas mereka tertahan, jantung berdegup kencang. Makhluk itu tersenyum, meskipun senyum itu tampak menakutkan.

"Kalian memiliki keberanian untuk memasuki alam semesta tersembunyi ini. Selamat datang," kata makhluk itu. "Aku adalah penjaga tempat ini. Tidak perlu takut, kalian aman di sini."

Perasaan lega perlahan mengalir dalam diri mereka, meskipun masih ada rasa kaget dan takjub. Mereka mulai menjelajahi tempat tersebut, menemukan makhluk-makhluk ajaib lain dan belajar tentang kekuatan alam semesta yang ada di sana. Mereka bertemu dengan peri-peri yang bernyanyi, makhluk air yang bermain di sungai yang mengalir di bawah bintang-bintang, dan makhluk-makhluk bercahaya yang melayang di udara.

Ketika mereka mencapai sebuah gua gelap yang berkilauan dengan kristal, suara gemuruh kembali terdengar. Kali ini lebih kuat dan menggema. Rasa takut yang tadinya hilang mendadak muncul kembali. Mereka bertemu dengan sosok makhluk raksasa yang lain, kulitnya bersisik merah menyala dengan mata seperti api.

"Ya Allah, makhluk apa lagi ini?" teriak Tomi yang mundur ketakutan.  

"Kita seharusnya tidak masuk ke sini tadi," kata Tomi menyesali masuk ke dalam lorong ini.

"Tunggu, kita harus tahu apa yang terjadi. Kita tidak bisa mundur sekarang," kata Sari dengan tegas, sambil memegang tangan Tomi untuk menenangkannya.

Makhluk besar itu mengeluarkan suara geraman rendah, tetapi tidak mendekat. Anak-anak merasa ketakutan namun juga penasaran. Mereka perlahan melangkah maju, mencoba untuk melihat lebih jelas. Tiba-tiba, makhluk itu mengeluarkan sinar dari matanya yang menyilaukan.

"Cepat! Sembunyi!" teriak Raka, menarik yang lain ke balik batu besar.

Ketika sinar itu memudar, mereka melihat makhluk itu kembali tenang, seperti sedang menjaga sesuatu yang berharga. Rasa penasaran mengalahkan rasa takut mereka.

"Ada sesuatu yang dia jaga. Kita harus tahu apa itu," kata Mira.

Dengan langkah hati-hati, mereka mendekati makhluk tersebut. Di balik makhluk itu, mereka menemukan sebuah portal berkilauan, seperti pintu menuju dunia lain.

"Ini pasti pintu menuju bagian lain dari alam semesta tersembunyi ini," kata Sari dengan mata berbinar.

Keberanian dan rasa ingin tahu mereka kembali memuncak. Mereka tahu, perjalanan ini belum berakhir dan banyak misteri yang masih bisa diungkap. Lima sekawan ini sepakat untuk melanjutkan petualangan seru ini. Dengan tekad yang kuat, mereka melangkah ke arah portal, siap untuk menghadapi petualangan berikutnya.

Kali ini, anak-anak itu merasa lega memasuki portal yang membawa mereka kepada petualangan yang lebih seru, meskipun masih ada rasa takut, kaget, dan takjub dalam hati mereka. Ketika mereka melangkah lebih jauh ke dalam semesta tersembunyi, suasana menjadi semakin gelap dan mencekam. Mereka mencapai sebuah lorong yang dipenuhi oleh suara-suara aneh dan gema langkah kaki mereka sendiri.

"Tolonglah, kita kembali saja!" kata Tomi dengan suara gemetar ketakutan.

"Kita sudah terlalu jauh, Tomi. Kita harus terus maju," jawab Raka dengan tegas, meskipun dalam hatinya juga merasa gentar.

Kali ini, mereka berada di sebuah ruangan besar yang penuh dengan patung-patung raksasa. Patung-patung itu tampak hidup. Salah satu patung mulai bergerak, mengeluarkan suara geraman rendah.

"Apa itu?!" seru Bimo yang ketakutan.

Satu per satu patung-patung itu berubah menjadi makhluk besar dengan kulit berwarna perunggu dan mata berkilau merah. Makhluk-makhluk ini mengeluarkan taring panjang dan cakar tajam, menatap anak-anak dengan penuh kemarahan.

"Lari!" teriak Raka.

Mereka berlari secepat mungkin, mencari jalan keluar. Namun, makhluk itu mengejar mereka dengan langkah-langkah berat yang menggema di seluruh ruangan. Mereka berbelok ke sebuah lorong sempit untuk sembunyi dari makhluk mengerikan itu.

"Kita tidak bisa terus seperti ini! Kita harus menemukan cara untuk menghadapinya!" kata Sari sambil terengah-engah.

"Aku tidak tahan lagi! Ini sangat menakutkan!" teriak Tomi yang air matanya mulai menggenang di matanya.

"Kita harus bersatu! Kita bisa menghadapinya bersama-sama!" seru Raka yang masih penasaran dengan petualangan ini.

"Kita berdoa saja seperti kata Kiai. Kita pasti bisa menghentikan dia dengan doa," jawab Mira dengan spontan.

Anak-anak terdiam sejenak sambil menundukkan kepalanya. Mereka merapal dalam hati doa-doa yang sudah diajarkan Kiai Hasan, guru mereka yang terkenal alim dan sakti itu.

Setelah tenang semuanya, kelima anak itu berdiskusi untuk mencari jalan pulang ke kampung mereka. Mereka sepakat untuk kembali melewati jalan masuk yang sudah mereka lalui. Mereka lalu berjalan beriringan mengikuti pemimpin arah jalan pemimpin mereka, Raka.

Dalam perjalanan kembali itu mereka menemukan sebuah ruangan besar yang menyerupai ruangan-ruangan besar yang mereka jumpai sebelumnya. Kali ini ruangannya dipenuhi dengan kristal-kristal berkilauan. Di balik kristal-kristal itu muncul makhluk bertentakel panjang dengan bola mata berwarna hijau. Dari mulutnya terdengar suara raungan dan desisan yang mengerikan.

Makhluk tentakel itu langsung mengejar anak-anak yang sedang menikmati keindahan kristal yang ada dalam ruangan tersebut. Tentakelnya menggapai-gapai ke arah mereka. Anak-anak berlari, tetapi salah satu tentakel berhasil menangkap kaki Bimo. Dalam sekejap tubuh Bimo yang gempal itu ditarik mendekat ke kepalanya seolah-olah hendak memakan tubuh Bimo.  

"Tolong! Tolong aku!" teriak Bimo, mencoba melepaskan diri.

Raka dan Sari dengan cepat berlari untuk membantu Bimo. Mereka menariknya dengan sekuat tenaga, berusaha melawan kekuatan makhluk tersebut. Mira dan Tomi menemukan sebuah batu besar dan melemparkannya ke arah mata makhluk itu. Makhluk itu mengeluarkan suara melengking dan melepaskan Bimo.

"Ayo cepat, kita harus keluar dari sini!" kata Sari sambil menarik tangan Bimo.

Mereka terus berlari, mencari jalan keluar dari labirin kegelapan ini. Mereka menemukan sebuah pintu lain yang tampaknya mengarah ke tempat yang lebih aman. Namun, ketika mereka membuka pintu itu, mereka menemukan diri mereka berada di hutan gelap yang dipenuhi makhluk-makhluk aneh yang mengintai dari balik pepohonan.

"Kita tidak bisa berhenti sekarang. Kita harus melewati hutan ini," kata Raka, meskipun rasa takut mulai merayapi dirinya.

Mereka melangkah dengan hati-hati melalui hutan gelap itu, selalu waspada terhadap setiap gerakan dan suara. Makhluk-makhluk dengan mata bercahaya hijau dan cakar tajam mengintai mereka dari balik bayangan, membuat mereka terus merasa dalam bahaya.

"Kita harus tetap bersama-sama. Jangan terpisah!" kata Sari.

Tiba-tiba, salah satu makhluk besar seperti serigala raksasa dengan bulu hitam pekat dan mata merah menyala melompat ke arah mereka. Anak-anak berteriak dan berlari secepat mungkin, mencoba menghindari cakar dan taring makhluk itu.

"Ayo sembunyi!" teriak Mira sambil mencari-cari tempat yang aman.

Mereka menemukan sebuah gua kecil dan bergegas masuk, berharap makhluk itu tidak bisa mengikuti mereka. Di dalam gua, mereka terengah-engah dan saling berpandangan dengan wajah pucat.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Bimo dengan cemas.

"Kita harus tetap tenang. Kita perlu menemukan cara untuk keluar dari sini dengan aman," jawab Raka, meskipun dalam hatinya juga penuh ketakutan.

Anak-anak berdebat tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya. Rasa takut, penasaran, keberanian, dan keinginan untuk menjelajah semuanya bercampur aduk dalam pikiran mereka. Namun, mereka tahu bahwa mereka harus tetap bersatu dan menggunakan akal serta keberanian mereka untuk menghadapi semua tantangan dan makhluk aneh yang mengintai di alam semesta tersembunyi ini.

Dengan hati yang penuh ketegangan, mereka melangkah keluar dari gua, siap untuk menghadapi petualangan berikutnya, apa pun yang menanti mereka di kegelapan itu. Mereka tahu bahwa hanya dengan persatuan dan keberanian, mereka bisa menemukan jalan keluar dan mengungkap semua misteri alam semesta tersembunyi ini.

Setelah keluar dari gua kecil, anak-anak itu terhenti oleh sebuah pemandangan yang tak terduga. Di depan mereka, langit malam bersinar dengan bintang-bintang yang lebih terang dari sebelumnya. Tanah di sekitar mereka tampak berubah, seolah-olah mereka telah berpindah ke dunia lain yang penuh dengan keajaiban dan misteri.

"Tunggu... ini bukan tempat yang sama dengan yang kita masuki tadi," kata Mira dengan kebingungan di suaranya.

"Sepertinya kita sudah berpindah ke dimensi lain," tambah Sari, matanya terpaku pada bintang-bintang yang berputar di langit.

Mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak yang terbentang di depan mereka, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Jalan itu membawa mereka ke sebuah desa kecil yang tampak seperti telah tertidur selama berabad-abad. Rumah-rumah tua, jalanan berbatu, dan taman-taman yang penuh dengan tanaman aneh menciptakan suasana yang magis.

"Saya merasa seperti dalam cerita dongeng," kata Bimo dengan mata berbinar.

Namun, di balik keindahan itu, ada sesuatu yang terasa ganjil. Penduduk desa itu tampak bingung dan takut melihat kedatangan anak-anak. Mereka berbisik-bisik dan menjaga jarak.

"Kita harus berbicara dengan seseorang di sini. Mungkin mereka tahu apa yang terjadi," kata Raka, memimpin yang lain menuju sebuah rumah besar di tengah desa.

Di sana, mereka bertemu dengan seorang tetua desa yang tampak bijaksana. Dengan hati-hati, mereka menceritakan semua yang telah terjadi sejak mereka menemukan pintu batu di taman tua.

Tetua itu mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, "Kalian mengingatkanku pada kisah lama tentang tujuh pemuda yang melarikan diri dari kezaliman dan tertidur dalam sebuah gua selama ratusan tahun. Tuhan melindungi mereka dan membangunkan mereka di zaman yang lebih aman. Mungkin kalian mengalami sesuatu yang serupa, tetapi dalam bentuk yang berbeda."

Anak-anak itu terkejut mendengar cerita tersebut. Mereka mulai menghubungkan pengalaman mereka dengan kisah legendaris yang sering diceritakan Kiai Hasan setelah mengaji. 

"Kami berada di dimensi lain yang terlindung dari waktu," kata Sari dengan takjub. "Seperti tujuh pemuda dalam kisah itu, tetapi kami tidak tidur, kami berpetualang."

Tetua desa menjelaskan bahwa mereka berada di tempat yang dikenal sebagai "Alam Keajaiban", sebuah dunia yang tersembunyi dari dunia nyata dan hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki keberanian dan hati yang murni. Dunia ini terhubung dengan waktu yang berbeda, sehingga mereka bisa berada di sana tanpa menyadari perubahan waktu yang terjadi di dunia mereka sendiri.

"Bagaimana kami bisa kembali?" tanya Tomi dengan cemas.

"Kalian harus menemukan jalan yang sama yang kalian tempuh. Alam Keajaiban ini penuh dengan makhluk-makhluk yang menjaga pintu-pintu antara dimensi. Kalian harus menghadapi mereka dengan keberanian dan hati yang tulus, seperti yang kalian lakukan selama ini," jawab tetua desa. Dengan bimbingan dari tetua desa, anak-anak itu mempersiapkan diri untuk perjalanan kembali. Mereka harus melewati rintangan-rintangan yang lebih menantang dan makhluk-makhluk yang lebih menakutkan dari sebelumnya.

Mereka kembali ke gua kecil yang pertama kali mereka masuki. Makhluk besar seperti raksasa dan makhluk tentakel yang pernah mereka temui sebelumnya masih ada di sana. Anak-anak berlari dengan napas tersengal-sengal, mencoba melarikan diri dari makhluk besar dengan tentakel yang mengejar mereka. Rasa takut dan kelelahan membuat langkah mereka semakin berat. Mereka tidak punya pilihan selain terus berlari. Akhirnya, mereka menemukan sebuah gua kecil dan bergegas masuk, berharap makhluk itu tidak bisa mengikuti mereka ke dalam.

Di dalam gua, mereka mencoba menenangkan diri sambil  memandang satu sama lain dengan wajah yang pucat.

"Kita tidak bisa terus seperti ini," kata Raka dengan suaranya yang bergetar. "Kita harus menemukan tempat yang lebih aman."

"Tapi ke mana? Di luar sana penuh dengan makhluk-makhluk mengerikan," balas Tomi yang mulai panik.

"Saya lapar, kita harus menemukan sesuatu untuk dimakan," kata Bimo sambil memegangi perutnya yang keroncongan.

"Kita tidak punya apa-apa di sini. Kita harus bertahan," ujar Sari sambil mencoba memikirkan solusi.

Perut mereka semakin keroncongan, dan rasa lapar semakin menyiksa. Keadaan semakin memburuk saat bayangan halusinasi mulai menghantui mereka. Mereka mulai melihat bayangan mengerikan di dinding gua, suara-suara aneh mulai bergema di telinga mereka.

"Kita akan mati di sini," bisik Tomi dengan mimik putus asa.

"Jangan berkata begitu! Kita pasti bisa keluar dari sini," seru Raka yang berusaha untuk tetap tegar.

Perdebatan di dalam gua kecil itu semakin intens dan memanas. Bimo dan Tomi saling berteriak, menyalahkan satu sama lain atas keadaan mereka. Raka mencoba menenangkan mereka, tetapi emosinya sendiri juga mulai meledak.

"Berhenti! Kita harus bekerja sama, bukan saling menyalahkan!" seru Sari. Namun, suaranya malah tenggelam di tengah kekacauan teman-temannya. Ketegangan memuncak ketika Raka dan Tomi saling dorong, hampir terlibat dalam perkelahian kecil.

Mira mencoba memisahkan mereka, tetapi tenaganya tidak cukup kuat. Dalam kekacauan itu, mereka semua mulai merasa sangat mengantuk. Rasa kantuk yang sangat kuat menyerang mereka, membuat mereka berhenti dari semua perdebatan dan perkelahian.

"Apa yang terjadi? Mengapa aku begitu mengantuk?" bisik Sari sebelum matanya terpejam.

Satu per satu, mereka jatuh tertidur di lantai gua yang dingin dan gelap. Rasa lelah, lapar, dan takut perlahan-lahan tergantikan oleh keheningan tidur yang mendalam.

Ketika mereka terbangun, mereka merasa pusing dan bingung. Di sekeliling mereka, sinar obor dan lampu senter menerangi gua. Orang-orang kampung berdiri di sekeliling mereka dengan wajah-wajah penuh kekhawatiran tetapi lega.

"Kalian akhirnya ditemukan!" seru seorang pria paruh baya. "Kami mencari kalian sepanjang malam."

"Apa yang terjadi? Berapa lama kami tertidur?" tanya Raka dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup.

"Kalian tertidur sepanjang malam di sini. Kami menemukan kalian setelah mendengar cerita tentang makhluk-makhluk aneh di hutan ini," jawab pria itu.

Anak-anak saling memandang, perasaan lega dan takjub mengalir dalam diri mereka. Mereka telah melalui petualangan yang menakutkan dan penuh tantangan, tetapi akhirnya mereka ditemukan dan diselamatkan.

"Terima kasih telah mencari kami," kata Sari dengan mata yang berkaca-kaca.

Depok, 17/7/2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun