Warung Mbok Iyem menjadi satu-satunya tempat yang menyediakan WiFi gratis. Mereka cukup memesan minimal segelas es teh untuk menggunakan WiFi sepuasnya. Jadi, tidak heran apabila warung perempuan paruh baya ini menjadi tempat favorit remaja desa, termasuk Shania dan teman-temannya.
"Mbok Iyem, pesan es teh dua ya?" teriak Intan ketika memasuki warung sederhana berdinding kayu dan beralas tanah. Dia mengajak Shania duduk meja yang masih kosong.
"Ndak sekalian pisang gorengnya ta? Masih anget ini," tawar Mbok Iyem dari balik lemari kaca. Perempuan itu sedang sibuk dengan alat perangnya. Tangan lihainya membolak-balik adonan bakwan dalam minyak panas.
"Mendoan saja, Mbok," putus Shania kemudian. Aroma bawang putih, ketumbar, daun bawang dan tempe yang digoreng membuat lidahnya ingin mencicipi menu andalan warung Mbok Iyem.
Setelah memesan minum dan makanan, Shania membuka file laporan yang belum selesai dikerjakan. Jari dan otaknya segera bekerja, targetnya laporan itu harus tuntas malam ini juga.
"Ada Azriel," bisik Intan sambil menyenggol bahu Shania.
Shania segera mengangkat kepala. Azriel berdiri di depan pintu, menatap meja pengunjung yang terisi semua. Pandangan Azriel berhenti pada tempat duduk Shania. Mereka sempat beradu pandang sebentar, sebelum Shania memutus kontak mata dan pura-pura menatap layar laptop.
"Boleh gabung?" tanya Azriel dengan suara baritonnya.
"B-boleh. Silakan duduk saja," jawab Intan dengan cepat. Lelaki itu berterima kasih, kemudian duduk di kursi depan Shania. Aroma khas parfum pria menguar seketika.
Shania terus mengaduh dalam hati. Azriel muncul di waktu yang tidak tepat, membuat fokusnya terpecah. Otaknya menjadi blank sejak lelaki itu duduk di depannya. Dia merasa diawasi dan selalu gatal untuk mengawasi.
"Shan." Suara merdu Azriel membuat jantungnya meletup. Getarannya sampai ke perut, membuat kupu-kupunya terbang bebas.