Disclaimer: Kisah fiksi ini terjadi di Galaksi lain. Tak ada kaitannya dengan bumi ini. Tak ada kaitannya dengan aparat atau dinas rahasia apa pun. Kebetulan penulis terinspirasi James Bond, tapi yang ini versi melankolis... :P
     Â
      "Jika kau berani selingkuh, akan kutembak kau," ancam Fahmi sembari melirik gadis yang duduk di sebelahnya. Kedua lesung pipitnya mengubah ekspresi wajahnya yang sangar menjadi lembut. Dengan cekatan ia membelokkan mobil menuju pintu masuk tol.
      Kia merengut. "Jahat! Masa kau tega membunuh hanya karena cemburu?"
      "Tentu saja aku tega. Jika kau mengkhianatiku, akan kutembak kedua kaki selingkuhanmu. Dan kau..."
      "Dan aku?" cicit Kia.
      Fahmi mendengus akibat menahan geli. "Kau juga akan kutembak."
      Kia terbelalak ketakutan. Ekspresi wajahnya begitu imut sehingga Fahmi merasa jantungnya berdebar-debar konyol bagaikan remaja tanggung yang baru saja mengenal cinta.
      "Kau akan kutembak hingga perutmu melendung seperti balon selama 9 bulan."
      Sesaat Kia bergeming. Ketika otaknya berhasil mencerna, ia pun menjerit, "Fahmi jelek! Porno!" Ia memukuli bahu kiri Fahmi yang tertawa terbahak-bahak.
      "Aku senang membayangkan kau dengan perut sebesar tambur mengejar-ngejarku. Kau berjalan dengan kikuk dan berkata seperti ini. Fahmi, tolonglah. Fahmi, nikahi aku..."
      "Terus saja menggodaku," gerutu Kia.
      Fahmi menghentikan mobil di tepi jalan tol. Ia pun memundurkan kursi joknya dan berkata, "Aku serius. Aku akan membunuh setiap pria yang kau cintai."
      "Kau mengorbankan karirmu dan berdiam di bui."
      "Setelah membunuh, aku akan bunuh diri dan menjadi hantu yang terus-menerus berpegangan pada kaki kananmu."
      "Mengapa harus kaki kanan?"
      Kedua alis Fahmi terangkat. "Kau kan cerdas. Masa tak bisa menebak?"
      Kia menggelengkan kepala. "Aku sedang malas berpikir."
      "Bisa saja kau berdalih," ujar Fahmi sembari menjentik ujung hidung Kia.
Gadis itu berusaha mengelak, tapi sia-sia. "Sakit!"
"Jika kaki kiri, kau tentu akan sulit melangkah. Aku tak mau kau jatuh, Sayang. Aku hanya ingin selalu bersamamu," ucap Fahmi dengan nada sehalus beledu. Ia menatap pupil cokelat yang sangat dicintainya tersebut. Pupil itu begitu gelap hingga ia merasa tenggelam ke dalam pusarannya. Dengan lembut ia menarik gadis tersebut ke dalam pelukannya.
      "Aman tidak?" tanya Kia penuh kekhawatiran. Ia celingukan memperhatikan sekeliling mereka. Hanya mobil Kijang ini yang berhenti di tepi jalan tol.
      "Aman. Jalan tol ini jarang dilalui mobil. Tak perlu cemas," bisik Fahmi. Ia menunduk dan mengecup lembut bibir mungil yang selalu menghantui mimpinya. Sebagai intel, ia selalu merasa cemas. Apakah ia akan tewas dalam tugas rahasia hari ini ataukah esok? Apakah ia akan bisa menemui sang pujaan hati?
      Fahmi tak pernah merasa nyaman untuk menghabiskan waktu di mana pun. Kapan pun. Rasa nyaman begitu mewah bagi dirinya. Selagi memeluk Kia pun, ia selalu khawatir akan adanya serangan penjahat. Sarafnya selalu tegang. Bahkan, ia hanya berani menyantap satai kambing di kedai yang terpencil dan temaram. Ia cemas musuh-musuhnya akan mengenali dirinya jika ia berada di tempat terang. Bayang-bayang kegelapan ialah sahabat sejatinya.
      Ya, Tuhan. Aku sangat mencintainya hingga jantung ini terasa remuk mendambakan dirinya. Aku tak tahan membayangkan diriku tewas dalam tugas dan harus merelakan dirinya bersanding bersama pria lain. Terdorong perasaannya, Fahmi mencium kening Kia. Kedua pelupuk matanya. Pipinya. Bahkan, pucuk hidung Kia hingga Kia terkikik.
      "Mengapa mencium hidungku segala? Hidungku pesek, ya?" ucap Kia untuk menyembunyikan rasa jengahnya. Tatapan mata Fahmi yang dalam, membuat dirinya salah tingkah.
      "Kau sempurna. Aku lebih suka hidung mungil seperti milikmu. Tak nyaman rasanya mencium gadis berhidung mancung. Nanti bertumbukan dengan hidungku," canda Fahmi yang langsung disambut cubitan manja di pinggangnya. Aaaw!
Fahmi pun kembali mencium bibir Kia. Rasa manis bibir itu begitu memikat dan menggodanya untuk memperdalam ciuman.
      Mereka berdua lupa akan segalanya. Hanya ada cinta yang menyelimuti. Sudah tiga bulan kedua sejoli tersebut tak bertemu. Rasa rindu pun membuncah segunung.
     Â
TOK! TOK! TOK!
      "Hey, apa yang kalian berdua lakukan? Turunkan kaca jendela ini," perintah seorang polisi berwajah sangar. Ia berdiri tepat di depan kaca jendela yang memisahkan dirinya dengan Fahmi.
      Fahmi menatap Kia penuh rasa cemas. Kia pun berkata tegas, "Ayo kabur!"
      Tanpa peduli polisi yang menggedor kaca jendela mobil, Fahmi segera menyalakan mobil. Ia memutar kemudinya begitu cepat. Mobil pun berjalan zigzag dengan kecepatan tinggi. Tapi, mobil polisi yang tepat berada di belakang mobil mereka, tak mau menyerah.
      Jalanan tol yang lengang hanya berisi 2 mobil yang saling kejar-kejaran bagaikan Tom dan Jerry. Bunyi sirine meraung-meraung. Memecahkan keheningan malam. Langit segelap tinta diterangi pendaran lampu sorot mobil polisi.
      Dengan cekatan, Fahmi memutar kemudinya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Diam-diam Kia merasa senang. Ia sengaja membuka setengah kaca mobilnya sehingga angin malam yang sejuk, menampar wajahnya yang terasa panas oleh gairah bertualang. Kapan lagi ia merasakan adrenalin yang melaju cepat seperti ini? Ia merasa berada di film action Hollywood. Tak semua orang mengalami pengalaman unik seperti dirinya, berada di mobil yang dikemudikan seorang intel yang mahir menyetir mobil, dan dikejar mobil polisi.
      Fahmi mengutuk dirinya dalam hati. Mengapa ia begitu ceroboh hingga melibatkan kekasihnya dalam adegan action? Cinta mematikan segala instingnya. Ia melirik kaca spion mobil dan berkata, "Aduh, mereka masih saja terus mengejar kita."
      Kia pun ikut menoleh. "Heran! Memangnya kita penjahat?"
      "Mungkin kita disangka pengedar narkoba."
Kia mengangkat bahu. "Padahal tak ada bukti."
Fahmi mendesah. "Kita tampak mencurigakan. Ini semua salahku. Seharusnya, aku tak menepikan mobil di tepi jalan tol. Tadi sih rest area sudah tutup."
     Â
DOR! DOR! DOR!
Fahmi mengeluh dalam hati. Mimpi apa ia semalam hingga ia bersama Kia dikejar kedua aparat dengan begitu gigih. Ia pun melirik kaca spion mobil. Hanya untuk mendapati sang polisi yang lebih muda dan bertubuh kekar, mengeluarkan kepalanya dari jendela dan menggunakan toa.
"MENEPILAH! ATAU, KAMI AKAN BERTINDAK TEGAS TERUKUR."
"Bagaimana nih? Aku tak ingin kita berdua mati konyol ditembak mereka. Sementara pistolku ketinggalan di kamar tidurku. Maafkan aku, Kia. Kau pasti takut sekali," ujar Fahmi sembari melirik Kia. Alangkah terkejutnya Fahmi karena raut wajah Kia tampak begitu tenang. Tak ada sedikit pun rasa cemas pada wajah berbentuk hati tersebut. Bahkan, terkesan sedingin es.
"Ya sudah. Tepikan saja mobilnya," pinta Kia. Ia tampak begitu santai.
Sikap cuek bebek Kia tak urung membuat bulu kuduk Fahmi berdiri. Ada sesuatu yang ganjil dengan gadisku. Begitulah pikiran Fahmi sembari membuka pintu mobilnya. Ia pun berpesan, "Apa pun yang terjadi, jangan keluar dari mobil! Tutup kaca mobilnya! Biar aku sendiri yang menghadapi mereka berdua."
Kia meleletkan lidah. Fahmi selalu saja memperlakukannya seperti bocah cilik. Mentang-mentang usia mereka berbeda 8 tahun.
***
      "Mengapa kalian berdua melarikan diri?" Tanya Imran, polisi yang berusia lebih muda. Ia tampak lebih garang dari Eko, polisi lainnya yang bertubuh gempal dan lebih pendek.
      "Maaf, Pak! Aku sangat gugup," jawab Fahmi. Ia tampak gelagapan.
      "Apa yang kalian lakukan di area gelap? Kalian melakukan tindak kejahatan, ya?" cecar Polisi Imran.
      "Tidak, Pak. Kami tidak melakukan apa pun."
      "Kau bohong! Kau mabuk, kan?"
      "Aku hanya minum sedikit tuak untuk menghangatkan tubuh. Kebetulan kerabat datang mengunjungiku. Jadi, terpaksalah aku menemaninya minum."
      "Banyak alasan! Seharusnya, kau tak menyetir. Kau membahayakan nyawa pemakai jalan lainnya. Termasuk gadis yang bersamamu," ujar Eko.
      Fahmi menelan air liurnya. Ini tak akan mudah. Ia pun memohon, "Maafkan aku, Pak. Aku tak merasa mabuk. Tapi, aku mengaku salah. Aku tak akan mengulanginya lagi."
      "Mudah benar kau mengucapkan kata maaf. Kau dan gadis itu komplotan, ya? Apa yang kalian lakukan di tepi jalan tol? Apa ada anggota komplotan lainnya?"
      "Demi Tuhan, aku tak berbohong. Sebentar akan kubuktikan sesuatu," ujar Fahmi. Ia berlari ke mobil. Dari dalam lipatan jok mobil belakang, ia mengambil suatu dokumen dan emblem. Kemudian, ia kembali menghadap kedua polisi tersebut dan memberikannya. Kedua polisi tersebut memeriksa dokumen dan emblem tersebut dengan teliti hingga kening mereka berkerut.
"Jika Bapak tetap tak percaya, tangkap aku saja. Tapi, lepaskan Kia. Tolong, jangan tangkap dia! Ia tak bersalah apa pun. Apa yang harus kukatakan pada Mamak-nya jika kalian menahan Kia di kantor polisi? Baru saja aku berjanji pada Mamak untuk menjaganya. Masa baru sejam aku sudah ingkar janji? Tangkap aku saja, Pak!" Pinta Fahmi dengan lantang. Kedua tangannya bergerak tak keruan karena gugup.
      Kia menatap kekasihnya yang kelabakan dari jendela kaca mobil yang ia buka setengahnya. Ia merengut ketika sang kekasih bertingkah sebagai pahlawan penuh pengorbanan. Fahmi jelek! Aku kan tak bisa menyetir mobil. Bagaimana aku pulang? Aku bukan pengecut yang akan melarikan diri ketika kau mengalami kesulitan. Lebih baik aku juga ditahan bersamamu. Lagipula aku takut jika ditinggalkan sendirian di jalan tol yang lengang ini... Bagaimana jika ada penjahat ataupun hantu? Hiiiy!
Kia pun memutuskan untuk ikut campur dan berkata, "Pak, maafkan kami berdua! Kami hanya sedang pacaran, bukan pengedar ataupun pemakai narkoba." Dengan tenang, ia melompat turun dari mobil. Lalu, ia menghampiri Fahmi dan kedua polisi tersebut.
      "Aduh, kau ini bagaimana? Bahaya! Kia, kembalilah ke mobil! Anak ini selalu saja bertindak semaunya," ujar Fahmi. Ia mengacau rambut cepaknya dengan panik.
      "Silakan Bapak memeriksa mobil kami! Hanya ada bekal roti dan minuman susu," kata Kia. Dengan polos ia menambahkan, "Kita juga bisa makan dan minum bersama, Pak."
      Fahmi mengaduh. Sikap Kia yang cuek bebek, selalu saja mengejutkan dirinya.
      Tak disangka kedua polisi yang tadinya berekspresi keras, tiba-tiba melunak. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Bahkan, polisi yang bernama Imran, menepuk bahu Fahmi dengan ramah. "Aduh, Pak. Kita ini masih sekolega. Mengapa Bapak melarikan diri seperti itu? Kami berdua kan jadi curiga apakah kalian ini penjahat? Padahal kalian hanya pacaran."
      Fahmi bergeming. Wajahnya merah padam.
      "Mengapa pacaran di tepi jalan tol? Apa yang bisa dilihat di area jalan tol? Kurang romantis," tukas Polisi Eko dengan nada suara menggoda. Wajah Fahmi pun bertambah merah.
      "Jawabannya mudah saja, Pak. Kami harus pacaran di mana lagi selain di tepi jalan tol? Mungkin Bapak bisa menyarankan tempat pacaran yang tidak digerebeg warga? Larut malam begini bingung mau pacaran di mana? Sementara waktu luang Fahmi hanya larut malam," ujar Kia dengan polos.
      Tingkah Kia yang semau gue, sukses membuat kedua polisi tersebut tertawa berderai.
      "HUSH. Masa bertanya seperti itu?" Larang Fahmi. Ia sungguh merasa malu dijadikan bahan bercandaan.
      Suasana genting di antara mereka sudah lenyap. Bahkan, Polisi Eko masih sempat menggoda mereka berdua, "Jangan diulangi lagi! Jangan pacaran di tepi jalan tol! Nanti tertangkap kami lagi. Ingatlah pesan Nenek! Jangan pacaran di tempat gelap, nanti bertiga bareng setan!"
      Fahmi mengerang. Saat itu. Detik itu. Ia sungguh ingin masuk ke dalam lubang tikus. Tidak, lubang semut lebih baik.
      Kia balas melambaikan tangan pada kedua polisi yang sibuk melambaikan tangan dengan penuh semangat. Tingkah Kia tersebut tak luput dari perhatian Fahmi. Ia begitu luwes menghadapi masalah ini.
      "Kia, kau menyembunyikan suatu hal padaku," ujar Fahmi.
      "Maksudmu?"
      "Mengapa kau dapat bersikap tenang dalam menghadapi tembakan dan kejaran polisi? Gadis lain pasti sudah menjerit ketakutan. Bahkan, menangis. Saat aku menghadapi kedua polisi tersebut, kau juga tak melarikan diri. Kau ganjil. Jujurlah! Pasti kau memiliki kerabat militer."
      "Tidak."
      "Jangan suka berbohong! Kau mungkin tak menyadarinya. Setiap kau berbohong, mata kananmu mengedip."
      Kia tertawa. "Kau ini ada-ada saja."
      "Mengakulah! Aku menunggu kejujuranmu."
      "Yah. Kakek dan nenekku veteran."
      "Siapa lagi?"
      "Pamanku aparat."
      "Apa pangkat pamanmu?"
      "Tak tahu."
      "Mana mungkin kau tak tahu. Jujurlah padaku!"
      "Mayor Jenderal."
      "Bertugas di bidang apa? Intelijen, ya?"
      Kia tercengang. "Mengapa kau bisa tahu?"
      Fahmi tersenyum sepuas kucing yang baru minum susu. "Kau cekatan sekali menyuruhku melarikan mobil. Ditambah sikapmu sangat dingin ketika mendengar tembakan. Dugaanku tak salah, kan? Kau keturunan spy. Siapa nama pamanmu?"
      "Pamanku yang spy, bukan aku. Nama pamanku ialah Nuno Dewantara. Kau harus merahasiakan hal ini. Aku tak pernah membicarakan hal ini dengan siapa pun."
      "Tentu," ujar Fahmi. Ia pun berdeham. Lalu, melanjutkan perkataannya, "Aku mohon maaf kau harus mengalami situasi tak mengenakkan ini padahal kita sedang pacaran."
      "Tak mengapa. Aku menikmati kejar-kejaran mobil," ujar Kia enteng.
      "Memang kau ini gadis aneh. Aku juga mohon maaf telah mengancammu..."
      "Maksudmu?"
      Wajah Fahmi memerah. Ia berkata lirih, "Aku mengancam hendak membuntingimu. Aku tahu itu salah. Tapi, aku tak bisa menahan rasa cemburuku. Rupanya, aku kena karma hingga hampir ditembak polisi. Seumur hidup aku bertugas, baru kali ini dikejar dan ditembaki seperti tadi. Aku kualat pada roh nenek moyangmu."
      Kia tertawa kecil. "Kau lucu. Mana mungkin kejadian tadi karena roh nenek moyang. Yang jelas kau kan  menciumiku sehingga kita tak waspada."
      "Kau tak percaya kata-kataku? Jangan menyepelekan adat istiadat! Aku menggoda dan mengancam kau, tentu saja roh nenek moyangmu murka. Lagipula area jalan tol ini angker."
      Kia mengangkat bahu. "Yang penting kita selamat."
      "Aku masih merasa tak enak hati. Aku ingin karaoke-an."
      "Memangnya larut malam begini ada karaoke yang buka?"
      "Tentu ada."
      "Okay."
***
Sebulan kemudian,
"Apa sih yang mengganjal?" Gerutu Kia sembari meraba jok kursi mobil. Ia menemukan tas selempang yang tampak gembung. "Isinya apa? Kayak batuan kerikil. Sakit banget kena punggungku."
      "Kau lihatlah sendiri," saran Fahmi sembari memundurkan jok kursi mobilnya. Senyum tersungging di bibirnya yang agak kehitaman akibat nikotin. Senyum nakal yang berkesan agak malas itu tak pernah gagal menimbulkan debaran di jantung Kia.
      Kia membuka pengait tas selempang tersebut. Hanya untuk menemukan puluhan. Tidak, ratusan peluru pistol. Ia mengerutkan kening dan menutup kembali tas tersebut. Ia pun menyodorkan tas tersebut pada Fahmi yang segera meletakkannya di bagian belakang jok kursi mobilnya.
      "Masa aku duduk bersandarkan peluru. Bagaimana jika pelurunya meledak?" Celoteh Kia. Bibir mungilnya merengut.
      Fahmi terkekeh. "Mana mungkin?"
      "Kau ini hendak perang? Masa membawa peluru sebanyak itu saat kencan?"
      "Aku tak ingin mengulangi kejadian saat kita ditembaki di jalan tol."
      "Tapi, jika kau membalas mereka pun berbahaya. Masa saling tembak antar sejawat hanya karena kesalahpahaman? Hanya karena masalah sepele?"
      "Aku bisa menembak ban mobilnya. Menurutku, kasus kemarin tak sepele. Hampir saja kau celaka," tukas Fahmi tak mau kalah.
      "Mereka bisa mengecekmu dari kode peluru. Sudahlah! Mereka berdua cukup baik. Melepas kita begitu saja."
      Fahmi tertawa, "Gadisku ini memang cerdas. Kau tahu juga ya mengenai senjata?"
      "Sedikit," gumam Kia. "Hey, kubilang jangan perpanjang masalah! Mengapa kita pergi ke area tol itu lagi?"
      "Jangan khawatir! Aku melintasi tol itu bukan karena mereka, tapi menuju obyek wisata kebun teh. Kau pasti suka pemandangan di sana."
      "Dasar keras kepala! Kau pasti masih penasaran dengan kejadian penembakan tersebut. Demi aku, lupakan kejadian tersebut. Okay?"
      "Baiklah," ujar Fahmi tak semangat. "Aku juga harus mengabarkan sesuatu. Kemarin aku ditelepon pamanku."
      "Kabar apa?"
      "Aku dijodohkan."
      Kia memucat. "Kau menerimanya?"
      "Terpaksa. Keluargaku utang budi dengan keluarganya. Perempuan itu kerabatku."
      "Jika itu keinginanmu, aku harus berbicara apa?"
      "Hey, tidakkah kau marah padaku? Kau tak peduli aku menikah dengan perempuan lain? Kau tak sungguh-sungguh mencintaiku?"
      "Cinta tidak selamanya harus memiliki."
      Fahmi mendekap Kia dengan erat. "Aku tak ingin mendengarnya."
      "Kau ini aneh. Kau yang akan menikah, bukan aku."
      "Aku sangat mencintaimu. Mari kita kawin lari!"
      "Lari dari siapa? Yang tak menyetujui hubungan kita kan keluargamu, bukan keluargaku."
      "Aku tak sanggup berpisah denganmu. Lebih baik kita kawin lari dan meninggalkan segalanya. Urusan utang keluargaku biarlah diselesaikan sendiri oleh keluargaku."
      "Dan menghancurkan hidup keluargamu? Juga karirmu yang cemerlang? Aku tak mau kau membenciku suatu saat. Jika saja aku memiliki banyak uang untuk membayar utang keluargamu, tetap saja keluargamu lebih memilih kerabatmu sebagai menantu. Kau terikat adat istiadat, sementara aku tidak. Kita hidup di dalam dunia yang berbeda."
      "Bah! Persetan! Aku tak peduli karirku. Hidupku bersamamu. Jangan tolak aku!"
      Kia menggelengkan kepala. "Aku tak mau menghancurkan hati keluargamu. Biarlah kita berpisah sebagai sahabat. Ini jalan terbaik."
      Fahmi tersedu. "Aku berani melawan segala penjahat untukmu. Ternyata aku kalah oleh keluargaku sendiri. Aku tak akan pernah bisa melupakanmu, Sayang. Saat pertama kali melihatmu, hatiku tertawan olehmu. Aku tak yakin bisa mengenal kata bahagia lagi setelah segala hal yang telah kita alami bersama. Aku benci dunia ini!"
      "Jangan berkata seperti itu! Jangan sia-siakan pengorbananku! Aku harap kau bahagia. Selalu bahagia," ujar Kia sembari mencucurkan air mata. Ia berusaha tersenyum walaupun sulit.
      Mereka pun berpelukan untuk terakhir kalinya. Dalam cinta. Dalam isak tangis. Dalam keheningan malam.
      Tak ada cinta yang sia-sia. Walaupun mungkin saat ini terasa sia-sia.
     Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI