"Aku sangat mencintaimu. Mari kita kawin lari!"
      "Lari dari siapa? Yang tak menyetujui hubungan kita kan keluargamu, bukan keluargaku."
      "Aku tak sanggup berpisah denganmu. Lebih baik kita kawin lari dan meninggalkan segalanya. Urusan utang keluargaku biarlah diselesaikan sendiri oleh keluargaku."
      "Dan menghancurkan hidup keluargamu? Juga karirmu yang cemerlang? Aku tak mau kau membenciku suatu saat. Jika saja aku memiliki banyak uang untuk membayar utang keluargamu, tetap saja keluargamu lebih memilih kerabatmu sebagai menantu. Kau terikat adat istiadat, sementara aku tidak. Kita hidup di dalam dunia yang berbeda."
      "Bah! Persetan! Aku tak peduli karirku. Hidupku bersamamu. Jangan tolak aku!"
      Kia menggelengkan kepala. "Aku tak mau menghancurkan hati keluargamu. Biarlah kita berpisah sebagai sahabat. Ini jalan terbaik."
      Fahmi tersedu. "Aku berani melawan segala penjahat untukmu. Ternyata aku kalah oleh keluargaku sendiri. Aku tak akan pernah bisa melupakanmu, Sayang. Saat pertama kali melihatmu, hatiku tertawan olehmu. Aku tak yakin bisa mengenal kata bahagia lagi setelah segala hal yang telah kita alami bersama. Aku benci dunia ini!"
      "Jangan berkata seperti itu! Jangan sia-siakan pengorbananku! Aku harap kau bahagia. Selalu bahagia," ujar Kia sembari mencucurkan air mata. Ia berusaha tersenyum walaupun sulit.
      Mereka pun berpelukan untuk terakhir kalinya. Dalam cinta. Dalam isak tangis. Dalam keheningan malam.
      Tak ada cinta yang sia-sia. Walaupun mungkin saat ini terasa sia-sia.
     Â