"Mana mungkin kau tak tahu. Jujurlah padaku!"
      "Mayor Jenderal."
      "Bertugas di bidang apa? Intelijen, ya?"
      Kia tercengang. "Mengapa kau bisa tahu?"
      Fahmi tersenyum sepuas kucing yang baru minum susu. "Kau cekatan sekali menyuruhku melarikan mobil. Ditambah sikapmu sangat dingin ketika mendengar tembakan. Dugaanku tak salah, kan? Kau keturunan spy. Siapa nama pamanmu?"
      "Pamanku yang spy, bukan aku. Nama pamanku ialah Nuno Dewantara. Kau harus merahasiakan hal ini. Aku tak pernah membicarakan hal ini dengan siapa pun."
      "Tentu," ujar Fahmi. Ia pun berdeham. Lalu, melanjutkan perkataannya, "Aku mohon maaf kau harus mengalami situasi tak mengenakkan ini padahal kita sedang pacaran."
      "Tak mengapa. Aku menikmati kejar-kejaran mobil," ujar Kia enteng.
      "Memang kau ini gadis aneh. Aku juga mohon maaf telah mengancammu..."
      "Maksudmu?"
      Wajah Fahmi memerah. Ia berkata lirih, "Aku mengancam hendak membuntingimu. Aku tahu itu salah. Tapi, aku tak bisa menahan rasa cemburuku. Rupanya, aku kena karma hingga hampir ditembak polisi. Seumur hidup aku bertugas, baru kali ini dikejar dan ditembaki seperti tadi. Aku kualat pada roh nenek moyangmu."