BAB 1Â
Aku Aruni
Malam terang, langit bersih tak tersaput awan. Bintang yang mengukir angkasa, membentuk ribuan formasinya. Suara bising dari kendaraan memenuhi jalanan pada malam ini. Sementara di perempatan lampu merah, pengguna jalan akan disuguhi pemandangan para sekelompok anak-anak yang tengah bernyanyi.
Malam ini mungkin menjadi kemenangan. Semua anak-anak tersenyum sumringah dengan segundukan uang recehan yang memenuhi kantongnya. Walaupun jelas terlihat keringat mereka yang mulai bercucuran, tapi lagi-lagi mereka tak kenal lelah.
Setelah papan lampu merah berganti warna menjadi hijau, mereka berbondong-bondong kembali ke sisi jalan. Rehat sejenak dan mulai menghitung uang yang mereka kumal-kumal. Menyisihkan sebagian beberapa recehan dan sebagian lagi mereka akan berikan pada seorang laki-laki paruh baya yang sedari tadi memantau mereka dari kejauhan.
Adzan Isya menggemakan seluruh kota. Pertanda mereka harus berhenti dan kembali pulang. Melewati jalanan sempit dengan cahaya yang remang-remang. Aroma nasi goreng menyerbak di persimpangan jalan itu, sepertinya penjual nasi goreng keliling nampak sedang kewalahan mengahadapi beberapa pembeli yang sedari tadi tak henti mengomel karena menunggu terlalu lama. Memang tak punya hati, seharusnya di maklumi bukan? umur penjual nasi goreng itu sudah lanjut, lihatlah tangannya saja sudah mulai keriput dengan rambut putih dan nafas yang terengah-engah.
Sadar hanya uang recehan yang mereka pegang, mereka urungkan niat untuk membeli nasi goreng itu. Kemudian kembali berjalan menuju panti.
Kisah ini membicarakan panti asuhan, tempat anak-anak tidak beruntung ditampung. Bukan panti asuhan resmi tentunya. Panti ini berdiri seadanya, tapi siapa sangka banyak kedua pasangan yang meninggalkan anak-anaknya yang tak berdosa disini.
Panti ini cukup besar, walaupun tak sebagus dan memiliki fasilitas yang layak seperti panti pada umumnya. Cukup asri dengan banyak tanaman dan lampu yang memancar terang pada halaman. Di bagian dalam, panti itu lebih "bercahaya" lagi. Anak-anak sibuk mengantri untuk makan malam, setelah dirasa lelah dengan pekerjaan mereka.
Sayang seribu sayang, ketika para anak diruang tengah panti sedang lahap-lahapnya makan. Lihatlah kesedihan yang memancar di mata gadis kecil berumur enam tahun itu. Gadis kecil malang yang apa mau dikata akan memegang semua penjelasan kisah ini. Namanya Aruni. Dia sedang memegang boneka kesayangannya. Duduk diayunan tua yang terbuat dari ban raksasa mobil. Berayun-ayun maju-mundur. Terhenti. Berdenyit. Ayunan yang sungguh amat berisik, mengingat sudah lama engselnya lupa diminyaki.
Aruni mendesah pada langit-langit malam. Rupa-rupanya gadis kecil ini sedang sedih merindukan Ayah-Bundanya. Itulah yang Aruni paham. Tapi bagaimanakah dia akan bertemu dengan Ayah-Bunda jika gadis kecil berkepang dua ini sejak lahir tidak pernah mengenalnya. Tidak ada foto untuk menyimpan kenangan wajah. Jangankan wajah, suara pun Aruni tidak akan pernah bisa mendengarnya.