Mohon tunggu...
Septian DR
Septian DR Mohon Tunggu... Translator dan Wiraswasta -

TRANSLATOR & KOMIKUS

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misterius Bagian 1

20 Oktober 2016   11:28 Diperbarui: 20 Oktober 2016   11:51 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Halo? Apakah betul ini rumah Tuan Joni Bong dan Nyonya Rina Bong?”

“Betul.” jawabku sambil mengelus-elus daguku yang klimis. “Dari siapa?”

“Tuan Joni Bong?”

“Betul denganku sendiri.” balasku seraya mengusap rambut tipisku yang barusan kucukur sendiri tadi sore.

“Selamat malam, Tuan Bong. Boleh saya memanggil anda dengan Tuan Bong?”

“Silahkan, Pak.”

“Nama saya Roger Bones. Saya orang Inggris.”

“Bahasa Indonesia anda bagus, Mister Bones.” kataku sambil tersenyum. “Apa yang bisa kubantu?”

“Pertama, panggil saya Roger. Kedua, Bos saya memerintahkan kepada saya untuk … membungkam anda dan juga Nyonya tentunya. Tentu anda tidak keberatan?”

Aku diam sejenak seraya mengumpat pendek. Sialan!

“Roger, saya yakin anda butuh uang.” kataku kemudian. “Berapa yang anda inginkan dan berapa nomor rekening anda?”

“Wow, bukan masalah uang ini, Tuan Bong. Saya hanya ingin melihat anda dan istri anda mati. Uang bukan masalah bagi saya. Bisa saya pastikan bahwa setelah anda berdua saya bunuh nanti, saya seratus persen tidak akan mengusik harta kekayaan anda berdua.”

Hatiku mulai panas, jantungku makin kencang berdetak. “Terus kapan anda mulai beraksi?”

Kudengar suara dengung panjang. Kumatikan smartphoneku, lalu kuletakkan di buffet samping ranjang. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Waktuku tidur. Istriku Rina sudah terlelap dalam mimpi di ranjang. Rina tidur tak mengenakan apapun karena bagi dia saat tidur lebih baik berusaha senatural mungkin. Kupandangi istriku yang tubuhnya begitu sempurna bagiku, sintal padat nan molek. Kulit istriku kuning langsat, rambutnya hitam panjang sepundak, dan wajahnya luar biasa cantik. Aku segera berbaring di sampingnya hanya mengenakan sarung kotak-kotak warna hijau daun. Lampu kamar lupa kumatikan, aku bangkit lagi untuk mematikan lampu kamar sekaligus menghidupkan kipas angin. Aku berbaring lagi di samping Rina. Rupanya dia terbangun. “Jam berapa, Sayang?” tanyanya lembut.

“Jamu Tolak Angin dari Sido Muncul.”

“Sudah malam begini masih bercanda? Selimuti aku, Sayang.”

“Sebentar kuambilkan.” kataku hendak bangkit, tapi Rina menahanku.

“Selimuti aku.” kata Rina, kali ini suaranya berubah begitu parau.

“Iya, ini mau kuambilkan.”

“Jadilah selimutku, Sayang.”

Aku melongo karena terlambat memahami maksud Rina. “Sekarang jam sepuluh, Rin.”

“Aku tahu, Sayang.” kata Rina penuh desah, lalu memelukku erat. “Cukup hangat, Sayang?”

Aku mengangguk-angguk lalu berkata kepada Rina. “Nama baruku … Kerbau Kecocok Hidung.”

Aku tahu Rina tersenyum dalam suasana malam yang gelap ini. Kami saling memeluk dan berusaha mengelus apapun yang kami bisa. Demikianlah adanya.

“Kamu … senang sentuhanku?” tanya Rina lagi, kali ini sambil mencium bibirku secara penuh gairah.

Aku nyaris tidak bisa menjawab karena Rina begitu … yah bagaimana bisa kumenjawab kalau kami dalam suasana yang sangat menyenangkan begini. Aku hanya bisa mengangguk, guk-guk-guk.

“Sebentar, Sayang. Sebelum kita teruskan kebiasaan kita yang sangat asyik ini, perlu kutanya kamu satu hal. Siapa yang tadi menelpon kamu?”

“Mister Bones dari MI-6 Inggris.”

“Maksud kamu Roger Bones?”

“Tampaknya kau lebih dari kenal, Rin.”

“Tentu saja. Kami nyaris bercinta waktu itu.”

Jawaban Rina membuat waktu terasa berhenti berputar. Sialan!

“Kau tak bisa … membohongiku saja, Rin?”

“Tidak bisa, Sayang. Aku seratus persen jujur bersama kamu.”

“Kapan kau berjumpa dia?”

“Aku dan Roger berjumpa di bandara Heathrow, London. Waktu itu aku hendak mengunjungi paman dan bibiku yang tinggal di London Utara. Roger mendadak muncul memperkenalkan diri sebagai sepupuku, putra sulung pamanku dan bibiku. Pamanku memang Inggris asli, bibiku asli Indonesia.”

“Terus?”

“Roger merayuku di toilet bandara dan saat itu dia menyeretku masuk ke toilet pria. Dia sudah melucuti semua bajuku kecuali beha dan celdam, saat tiba-tiba tiga orang polisi masuk ke toilet dan menangkapnya. Salah satu dari ketiga polisi tersebut ternyata adalah sepupuku yang asli. Roger sepupu palsu tak tahu malu.”

“Berapa tahun Roger masuk penjara?”

“Kamu tahu MI-6? Mereka bisa melakukan apapun. Roger punya kekebalan hukum sehingga dia bebas. Cuma itu yang kuketahui. Setelah kita berdua sama-sama bergabung di Dinas Intelijen Negara barulah aku semakin tahu sepak terjang Roger Bones.”

“Kenapa aku tidak tahu-menahu tentang Roger Bones ini?”

“Karena yang kamu tahu hanyalah Roger Moore, Sayang.”

Rina memang sialan. Jujur sekali dia mengakui kalau dia nyaris bercinta dengan Roger Bones, musuh kami. Di mana kau sekarang, Roger Bones? Jangan-jangan kau sudah menginap di Hotel Shangrilla.

“Kok diam, Sayang? Apa kamu cemburu? Sewajarnya jika kamu cemburu sih.”

“Aku tidak cemburu, Rin. Aku ngantuk.”

“Kamu tidak cemburu, tapi kamu ngantuk. Sama kalau begitu.”

“Aku jarang minum kopi, Rin.”

“Oh, kalau kamu mengantuk, kopi takkan bisa jadi alasan. Begini Sayang, kopi itu kenikmatan, sedangkan mengantuk itu suatu kepastian.”

“Pasti. Selamat tidur, Rin.”

“Hei, selama kita masih begini kularang kamu mengantuk, Sayang. Ayo kita ngobrol saja sambil menunggu kedatangan Roger Bones kemari.”

“Kita mau ngobrol saat saling tindih begini? Jangan bercanda, Rin.”

“Kenapa aku harus bercanda, Sayang?” Rina mengecup bibirku lagi, lalu mengecup pipi kiri dan kananku, lalu bergeser ke bawah, mengelus-elus dadaku. “Tidak penting sebenarnya apa kita bercanda atau tidak.”

“Menurut perkiraanmu, di mana Roger Bones menginap di sini?”

“Kalau tidak Shangrilla, pasti Four Seasons.”

“Kenapa Roger Bones tidak menginap di Ritz Carlton atau JW Mariott?”

“Kalau dari perkiraanku MI-6 tak mau ambil resiko.”

“Resiko apanya, Rin?”

“Kamu tahu sendiri resikonya kalau menginap di Ritz Carlton maupun di JW Mariott? Kantong kempes, Sayang. Bangkrut.”

“Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi bila seorang agen rahasia mengalami kebangkrutan saat tengah beraksi. Mungkin sang agen rahasia mendadak berubah menjadi gelandangan?”

“Mungkin jadi gelandang menyerang di klub sepakbola amatir, Sayang.”

“Apa Roger Bones punya bakat sepakbola?”

“Idolanya Gary Lineker.”

“Dia mengatakan itu kepadamu, Rin?”

“Aku masih ingat saat dia hendak memperkosa diriku, dia meneriakkan Gary Lineker Forever!”

“Kalau begitu Roger Bones ini adalah pendukung Leicester City. Betul tidak?”

“Bisa jadi, Sayang. Gary Lineker lahir di Leicester dan selamanya menjadi pendukung sejati Leicester City. Bahkan awal Liga Inggris musim ini, Gary Lineker memenuhi janjinya tampil hanya memakai celana dalam di acara siaran khusus Liga Inggris karena tahun lalu Leicester City jadi juara Liga Inggris.”

“Aku tahu itu, Rin.”

“Kamu masih mendukung Spurs, Sayang?”

“Spurs selamanya bagiku.”

“Apa menurut kamu musim ini Spurs bisa juara?”

“Aku optimis, optimis, dan optimis.”

Rina masih memelukku erat dalam posisi di atas. Dia kemudian menyamping dengan kepala di bantal, pelukannya sedikit mengendor, lalu menguat lagi. Hangat. “Sekarang sudah jam sebelas kurasa, Sayang.”

“Semoga belum. Waktu berjalan begitu lambat menurutku.”

“Kamu pikir sekarang jam berapa?”

“10.45.”

“Bagaimana kalau kamu nyalakan lampu saja?”

“Tidak usah, Rin. Kita gelap-gelapan saja sampai Roger Bones muncul.”

“Aku yakin sebentar lagi dia bakal muncul.”

“Bagaimana bisa kau begitu yakin?”

“Pasang telinga kamu, Sayang.”

Aku dan Rina kemudian terdiam saat kami mendengar suara gedebuk di atap rumah. Roger Bones tampaknya memang sudah datang naik helikopter, entah dari Shangrilla atau Four Seasons.

“Dia datang, Rin.”

“Ya, itu pasti dia.”

Sebenarnya aku ingin menyalakan lampu, tapi Rina segera mencegahku. “Kita nyalakan lampu di saat tepat, Sayang. Pintu kamar kamu kunci tidak?”

“Sudah aku kunci kok.”

“Kalau begitu waktunya pertunjukan kita mulai.”

“Waktu pertunjukan apa maksudmu, Rin?”

“Waktu pertunjukan kita, Sayang. Pertama kita nyalakan smartphone kita bersama-sama. Sekarang ambil smartphone kita berdua.”

“Kenapa harus dengan smartphone, Rin?”

“Karena smartphone berfungsi sebagai lampu di kamar ini, Sayang. Cepat ambilkan. Kurasa Roger Bones sudah berada di dalam rumah.”

Saat itu terdengar bunyi perintah lantang dari luar kamar kami. “FREEZE!!!”

“Sudah terlambat, Sayang. Cepat berbaring di sampingku. Kita pura-pura tidur.”

“Setuju, Rin.”

“FREEZE!!!” teriakan lantang Roger Bones dari luar kamar terdengar lagi.

Aku memeluk Rina. Matanya sudah terpejam tampaknya. Aku pun segera memejamkan mata. Saat itu aku mendengar suara ceklek tiga kali, lalu tendangan keras langsung menjeblak pintu kamar kami terbuka lebar.

“BANGUN KALIAN!!!”

Aku dan Rina mau tak mau membuka mata.

“HIDUPKAN LAMPU!!!”

Rina berbisik kepadaku agar menyalakan lampu, lalu segera kunyalakan lampu.

Kamar kami menyala terang. Jelas tampak siapa tukang rusuh yang masuk paksa ke rumah kami. Tampaknya sih dia memang Roger Bones jika kulihat dari setelan tuksedo putihnya yang necis, bunga mawar di dada kiri, jam tangan Rolex di tangan kiri serta pistol Walther P99 berperedam yang teracung jelas padaku dan Rina. Anehnya si tukang rusuh ini memakai topeng kambing warna merah darah, hanya menyisakan kedua mata berwarna biru yang kuyakin pasti melotot melihatku, terutama melihat Rina tentunya.

“Joni Bong dan Rina Bong, what a pleasure to finally meet you two! Sungguh senang bisa berjumpa kalian berdua! First and last! Kali pertama dan … terakhir!”

“Jadi kau yang bernama Roger Bones?” tanyaku tanpa takut sedikit pun.

Si topeng kambing itu mengangguk-angguk sambil menembakkan sebutir peluru ke langit-langit ruangan kamar kami.

“Kenapa kamu ingin membunuh kami?” giliran Rina bertanya. “Omong-omong, kamu masih ingat tidak denganku?”

Si topeng kambing membuat gerakan mengangkat bahu, lalu pelan-pelan meletakkan Walther P99 berperedam miliknya di tepi ranjang kami. “Sebelum saya eksekusi kalian berdua, perlu saya jelaskan mengapa saya ingin membunuh kalian.”

“Jelaskan kalau begitu.” kataku sambil bersandar di bantal yang kupasang di dinding, sementara Rina juga berbuat serupa denganku. “Kami bersedia mendengarkan penjelasanmu kalau kau memang bisa menjelaskan alasanmu membunuh kami.”

“Baik, saya eh bagaimana ya? Bisakah kalian berpakaian dulu?”

Aku dan Rina saling pandang, lalu saling menggeleng.

“Kalian tidak mau berpakaian dulu? Kalian … tidak tahu sopan santun!”

Aku tertawa begitu pula Rina. Si topeng kambing lagi-lagi mengangkat bahu. “Saya lupa ini rumah kalian. Mau berpakaian atau tidak bebas karena ini rumah kalian. Betul begitu? Maaf, saya lupa, saya khilaf.”

“Apa kau ini memang Roger Bones?” tanyaku setelah berhenti tertawa.

Si topeng kambing langsung mengangguk cepat lalu dia mundur sampai bersandar ke dinding, lalu dia mendongak sedikit melihat kipas angin yang masih menyala. “Boleh saya matikan kipas angin ini?”

“Boleh kalau kamu tidak kepanasan.” kata Rina sambil tersenyum. “Kalau kamu kepanasan, biarkan saja kipas angin itu menyala.”

“Kenapa kalian tidak menyalakan AC saja?”

“Kami lebih suka kipas angin, Roger.” jawabku sambil menepuk-nepuk ranjang. “Kau punya masalah dengan kipas angin?”

Si topeng kambing menggelengkan kepala berulangkali, lalu mengambil kembali Walther P99 miliknya. Dia langsung mengarahkan moncong Walther P99 tersebut ke jidatku. “Saya sudah memasang peredam, jadi tinggal tembak jidat anda lalu beres sudah urusan saya.”

“Dengar, Roger. Apa kamu tahu siapa sebenarnya kami?” Rina bertanya begitu sambil merangkulku.

“Tentu saya tahu siapa anda dan suami anda. Anda dan suami anda pantas saya buat lenyap dari bumi yang indah ini. Mengapa? Karena begitulah tugas saya dari MI-6.”

“Boleh aku tahu siapa nama atasanmu di MI-6?” tanyaku sambil mengecup kening Rina.

“Nama atasan saya adalah Ian Belling. Apa anda mengenal atasan saya?”

“Nanti juga kenal kok.” kataku enteng. “Mau menembak kami sekarang?”

Si topeng kambing mengangguk, lalu menembak jidatku. Peluru menyentuh jidatku seperti kulit pisang. Sama sekali tidak terasa sakit, malah peluru itu hancur seperti abu. Si topeng kambing terperanjat lalu menembakkan seluruh pelurunya kepadaku dan Rina. Hasilnya sama saja, peluru-peluru tersebut hancur begitu menyentuh kulit kami.

“Kalian berdua KEBAL PELURU?” teriak si topeng kambing tersentak.

Rina turun dari ranjang lalu berdiri sambil mengangkat kedua tangan ke udara. Si topeng kambing mendadak terangkat melayang cepat ke atas sampai berdebam di langit-langit ruangan kamar kami, lalu Rina secepat kilat menurunkan lagi kedua tangannya ke bawah. Si topeng kambing mencium tanah begitu keras sampai tidak bergerak lagi.

“Periksa dia, Sayang. Kalau perlu kamu pakai kekuatan kamu.”

Aku berdiri lalu berjalan cepat mendekati si topeng kambing yang terbujur kaku. Sudah tiada tanda kehidupan tampaknya. “Game over, Rina.”

“Kalau begitu waktunya kita pergi dari sini, Joni Sayang.”

“Pergi ke mana?”

“Ke rumah kita selanjutnya. Kita lewat pintu rahasia saja. Ayo.”

“Kita berpakaian dulu, Rin?”

“Tidak usah, Sayang. Ayo cepat.”

Rina menggandengku keluar dari kamar di mana si topeng kambing sudah tewas, lalu kami berjalan pelan menuju ruang tengah rumah kami. Rina menyalakan lampu ruang tengah. Di hadapan kami tampak lemari buku kami yang luar biasa. Rina mengambil salah satu buku yang posisinya tepat paling tengah di lemari buku tersebut, sebuah novel petualangan klasik karya Robert Louis Stevenson yaitu Treasure Island. Rina membuka novel tersebut tepat di dua halaman tengah, seketika itu juga lemari buku tersebut menggeser ke samping kiri dan kanan, menampakkan sebuah tembok putih bersih. Rina menyerahkan novel Treasure Island kepadaku, lalu maju mendekati tembok putih bersih itu dan mengetuknya tiga kali dengan tangan kanan, lalu tiga kali lagi dengan tangan kiri. Tembok itu segera membuka ke atas, memperlihatkan tangga besi ke bawah. “Ayo, Sayang.”

Rina berjalan dulu di depanku, sementara aku yang membawa novel Treasure Island berjalan di belakangnya. Istriku itu melangkah begitu mantap di depanku di ruangan tangga besi yang berpencahayaan redup. Aku tidak tahan melihatnya begitu lalu kususul langkahnya lalu kupeluk dia dari belakang. “Jangan terlalu cepat jalannya, Rina.”

“Aku memang biasa jalan cepat, Sayang. Baik untuk kesehatan kita.”

“Ya, Rina. Aku tahu itu. Masih lama ini kita turun?”

“Sebentar lagi sampai, Sayang.”

Perkataan Rina benar karena saat itu kami sudah selesai menuruni tangga dan sampai di tembok putih. “Giliranmu, Sayang.”

Kuketuk tembok itu tiga kali dengan tangan kanan, lalu keketuk lagi tembok itu tiga kali memakai tangan kiri. Tembok itu bergeser ke bawah memperlihatkan tangga besi ke atas. Aku melangkah naik, Rina menyusul di belakangku. Tak lama kemudian, kami sampai di depan sebuah pintu baja perak yang tertutup rapat. Rina berdiri sejajar denganku. “Ayo kita buka kombinasi pintu ini dengan tangan kanan bersama.”

Aku dan Rina segera memencet pintu itu enam kali seperti layaknya tombol, lalu terdengar suara jegrek-jegrek, kemudian pintu itu bergeser membuka ke samping kanan lambat-lambat.

Rina segera masuk, begitu pun diriku. Pintu baja perak itu kembali bergeser ke samping kiri menutup, sementara di depan kami tampak sepasang pintu kaca warna putih bening yang segera kami tarik ke dalam. “Selamat datang, Tuan dan Nyonya Bong. Semoga betah di rumah baru ini.”

“Terima kasih, Ai.” kataku dan Rina serempak.

Kami langsung sampai di kamar tidur kami di rumah yang baru. Serba putih, serba eksklusif dengan kamar mandi dalam. Aku meletakkan novel Treasure Island di buffet coklat, sementara Rina seperti biasa langsung masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya. Kamar ini sudah dingin padahal AC belum kami nyalakan. Ranjang springbed putih yang empuk menggoda lengkap dengan bantal, guling dan selimut tentunya. Kamar ini begitu bersih, tidak hanya begitu bersih tapi sangat bersih. Ada kulkas mini juga di sudut ruangan kamar, bahkan televisi layar datar empat belas inci juga ada, serta terdapat lemari pakaian yang lumayan besar.

Rina keluar dari kamar mandi dengan rambut tergulung ke belakang atas dengan penjepit karet, dia begitu cantik dan segar berseri, lalu dia segera berbaring di ranjang dan terlelap tidur. Aku hanya tersenyum kecut lalu masuk ke kamar mandi, kututup pintu kamar mandi tanpa kukunci. Melihat suasana kamar mandi ini, aku langsung bersiul-siul panjang. Pertama, kamar mandi ini sangat bersih dan begitu wangi. Kedua ada bathtub yang juga sangat bersih dan wangi. Ketiga ada shower yang juga sangat bersih dan wangi. Ada gantungan baju, celana dan handuk. Ada wastafel juga, tersedia pula sikat gigi, pasta gigi serta sabun mandi cair, shampoo, pembersih wajah. Semuanya di kamar mandi bersih, segar, dan wangi. Aku tidak tahan untuk tidak mandi, lalu segera aku mandi dengan shower, sabun mandi cair dan shampoo. Selesai mandi aku segera sikat gigi, terus dengan handuk putih yang ada di gantungan segera kukeringkan tubuh dan rambut, lalu aku segera keluar dari kamar mandi.

Begitu aku keluar dari kamar mandi dan mematikan lampu kamar mandi, Rina malah sedang berlenggak-lenggok di ranjang dengan iringan lagu All That Jazz, soundtrack film Chicago. “Kemari, Sayang.” katanya penuh desah.

“Kau tidak mengantuk, Rina?”

“Mandi tadi bikin aku segar lagi, Sayang. Kamu mandi juga bukan? Ayo joget bersamaku di sini. Kasur ini super mantap lho untuk berjoget.”

Aku segera naik ke ranjang dan ikut berjoget bersama Rina. Lagu All That Jazz membuat suasana makin panas, apalagi saat Rina terang-terangan menepuk kedua pantatku begitu gemas, lalu memelukku dan mencupang leherku. Sudah makin berkeringat aku, saat Rina turun dari ranjang dan menyalakan AC. Aku duduk di ranjang, lalu Rina dengan gerakan menggoda, melenggak-lenggok menghampiriku. “Meong, Sayang?”

“Moo.” kataku menirukan suara sapi.

Rina yang sudah berada di sampingku langsung merajuk. “Kamu tidak cinta aku lagi?”

“Kemari.” kataku berbaring, lalu Rina menaikiku. “Aku cinta padamu, Rina.”

“Katakan lagi dan lagi.” kata Rina mulai menggoyang tubuhku. “Ayolah, Sayang!”

Dinginnya AC dan hangatnya permainan kami akhirnya bermuncratan indah. Kami berdua terkapar keenakan puas.

Sementara itu di luar “rumah rahasia” kami yang sebenarnya juga terletak satu kompleks dengan rumah kami yang lama, para polisi berdatangan menuju rumah lama kami setelah mendengar laporan para tetangga kami atas terjadinya perampokan di rumah lama kami. Para tetangga melaporkan bahwa kami tengah pergi ke luar kota saat perampokan terjadi dan sang perampok yang menggunakan topeng kambing warna merah tewas di tempat mungkin karena terlalu bernafsu meraup uang kami yang kami simpan di brankas kamar kami. Apapun itu, aku yakin MI-6 takkan senang mendengar kegagalan agen rahasia mereka dan pasti melakukan penyangkalan terhadap Roger Bones yang telah tewas.

Adapun aku dan Rina akhirnya memutuskan tinggal di “rumah rahasia” kami. Para tetangga kami tidak tahu-menahu akan kepindahan kami karena pada dasarnya kami tetap menempati rumah lama kami, lalu masuk ke “rumah rahasia” kami dengan jalan rahasia yang telah kami tetapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun