Si topeng kambing mengangguk, lalu menembak jidatku. Peluru menyentuh jidatku seperti kulit pisang. Sama sekali tidak terasa sakit, malah peluru itu hancur seperti abu. Si topeng kambing terperanjat lalu menembakkan seluruh pelurunya kepadaku dan Rina. Hasilnya sama saja, peluru-peluru tersebut hancur begitu menyentuh kulit kami.
“Kalian berdua KEBAL PELURU?” teriak si topeng kambing tersentak.
Rina turun dari ranjang lalu berdiri sambil mengangkat kedua tangan ke udara. Si topeng kambing mendadak terangkat melayang cepat ke atas sampai berdebam di langit-langit ruangan kamar kami, lalu Rina secepat kilat menurunkan lagi kedua tangannya ke bawah. Si topeng kambing mencium tanah begitu keras sampai tidak bergerak lagi.
“Periksa dia, Sayang. Kalau perlu kamu pakai kekuatan kamu.”
Aku berdiri lalu berjalan cepat mendekati si topeng kambing yang terbujur kaku. Sudah tiada tanda kehidupan tampaknya. “Game over, Rina.”
“Kalau begitu waktunya kita pergi dari sini, Joni Sayang.”
“Pergi ke mana?”
“Ke rumah kita selanjutnya. Kita lewat pintu rahasia saja. Ayo.”
“Kita berpakaian dulu, Rin?”
“Tidak usah, Sayang. Ayo cepat.”
Rina menggandengku keluar dari kamar di mana si topeng kambing sudah tewas, lalu kami berjalan pelan menuju ruang tengah rumah kami. Rina menyalakan lampu ruang tengah. Di hadapan kami tampak lemari buku kami yang luar biasa. Rina mengambil salah satu buku yang posisinya tepat paling tengah di lemari buku tersebut, sebuah novel petualangan klasik karya Robert Louis Stevenson yaitu Treasure Island. Rina membuka novel tersebut tepat di dua halaman tengah, seketika itu juga lemari buku tersebut menggeser ke samping kiri dan kanan, menampakkan sebuah tembok putih bersih. Rina menyerahkan novel Treasure Island kepadaku, lalu maju mendekati tembok putih bersih itu dan mengetuknya tiga kali dengan tangan kanan, lalu tiga kali lagi dengan tangan kiri. Tembok itu segera membuka ke atas, memperlihatkan tangga besi ke bawah. “Ayo, Sayang.”