“Wow, bukan masalah uang ini, Tuan Bong. Saya hanya ingin melihat anda dan istri anda mati. Uang bukan masalah bagi saya. Bisa saya pastikan bahwa setelah anda berdua saya bunuh nanti, saya seratus persen tidak akan mengusik harta kekayaan anda berdua.”
Hatiku mulai panas, jantungku makin kencang berdetak. “Terus kapan anda mulai beraksi?”
Kudengar suara dengung panjang. Kumatikan smartphoneku, lalu kuletakkan di buffet samping ranjang. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Waktuku tidur. Istriku Rina sudah terlelap dalam mimpi di ranjang. Rina tidur tak mengenakan apapun karena bagi dia saat tidur lebih baik berusaha senatural mungkin. Kupandangi istriku yang tubuhnya begitu sempurna bagiku, sintal padat nan molek. Kulit istriku kuning langsat, rambutnya hitam panjang sepundak, dan wajahnya luar biasa cantik. Aku segera berbaring di sampingnya hanya mengenakan sarung kotak-kotak warna hijau daun. Lampu kamar lupa kumatikan, aku bangkit lagi untuk mematikan lampu kamar sekaligus menghidupkan kipas angin. Aku berbaring lagi di samping Rina. Rupanya dia terbangun. “Jam berapa, Sayang?” tanyanya lembut.
“Jamu Tolak Angin dari Sido Muncul.”
“Sudah malam begini masih bercanda? Selimuti aku, Sayang.”
“Sebentar kuambilkan.” kataku hendak bangkit, tapi Rina menahanku.
“Selimuti aku.” kata Rina, kali ini suaranya berubah begitu parau.
“Iya, ini mau kuambilkan.”
“Jadilah selimutku, Sayang.”
Aku melongo karena terlambat memahami maksud Rina. “Sekarang jam sepuluh, Rin.”
“Aku tahu, Sayang.” kata Rina penuh desah, lalu memelukku erat. “Cukup hangat, Sayang?”