Akhirnya semuanya pun berpencar.
Sekitar satu jam lebih, Bimo dan Zaki berputar-putar mengelilingi area kecamatan. Mulai dari pangkalan ojek, terminal, warung-warung, sampai akamsi---anak kampung sini---yang lagi nongkrong, semuanya nggak ada satu pun yang tahu soal mahasiswi yang katanya diculik.
Mulai dari jalan besar sampai jalan tikus yang bikin mereka hampir nyasar pun udah dilalui. Masalahnya, bukannya pengin cepat nyerah, mereka juga nggak benar-benar hapal jalanan di sana. Lebih banyak mengandalkan insting sama memori di kepala.
Kalau zaman itu hape mereka udah bisa dipake buat buka Google Maps, sih, mungkin aman-aman aja. Zaman segitu kan mana ada aplikasi begituan. Jadinya, ya, modal nekat aja. Sial-sialnya paling mereka nyasar tuh.
 "Gimana nih, Mo? Kita nyari di mana lagi?" tanya Zaki memastikan.
Bimo berpikir sebentar.
"Semua orang yang kita temuin juga nggak ada yang tahu ada kejadian mahasiswi diculik."
Bimo masih berpikir.
"Kita balik aja apa?"
Otak Bimo tercerahkan. "Aha!" serunya kayak baru aja mendapat pencerahan. "Bener. Kita balik aja."
"Sialan."