“Masya Allah…Allahu Akbar.. Innalilahi wainna illaihi rojiun…” serempak bisik mereka tanpa sadar, melihat lagi kekejaman Nica menembak dua orang yang sudah didalam lobang.
“Cepat menyelam masuk dalam cekungan dalam” perintahnya, melihat gelagat tentara Nica yang belepotan tanah mengarah ke sumur dekat persembunyiannya.
Cekungan ini tertutup rapat semak, bila dilihat dari luar tidak kelihatan. Sesaat kemudian, terdengar gemricik air, dari atas cekungan berbau pesing.
Batin Martoyo “Bajingan memang dasar anjing kecing sembarangan” bayangan sinar Matahari condong ke arah Barat, siang jelang sore tiba. Terdengar tiga kali letusan senjata api, aku paham itu suara panggilan pasukan yang menyebar supaya berkumpul.
Setelah hampir seperempat sinar Matahari condong kebarat, setelah terlihat aman aku bersama teman-temannya keluar dari persembunyiannya.
Seketika terlihat pemandangan sangat memilukan di sekitar mereka. terlihat penduduk saling bertangisan, ada yang seperti orang linglung, jalan kesana sani, bingung.
“Kang pada pulang tengok keluarga masing-masing nanti sebelum Magrib kumpul lagi di rumahku” Aku memberi instruksi, sebelum berpisah.
“Bagaimana keluarga kamu semua” aku bertanya satu persatu pada teman-temannya.
“Alhamdulillah, semua selamat Ramaku dan kakakku sempat sembunyi di dalam kolam belakang rumah beruntung tidak ketahuan Nica” berhenti sejenak mata Kang Narjo nanar berkaca-kaca.
“Tiga pengintai orangnya Pak Carik di pinggir Desa lapis pertama dan kedua disergap dan ditangkap Nica sampai sekarang tidak ketahuan nasibnya” terdiam sejanak sambil menarik napas panjang.
“Ramaku cerita, gerakan Nica tidak diduga sama sekali, mereka masuk dari segala arah lewat sawah-sawah dan diduga kuat ada orang kampung kita yang menjadi petunjuk jalan alias jadi anjing Nica”