……………
Diruang tengah, selepas makan bersama, aku terdiam dalam ruang tanpa penerangan hanya kerlap-kerlip tiga rokok lintingan yang terlihat sesaat menerangi wajah tegang. mereka sedang menunggu sang eksekutor, dari Desa Karangpetir.
Ketika jelang tengah malam, suasanya sungguh sangat mencekam kabut tebal semakin membatasi pandangan. Dari jauh lamat-lamat terdengar suara, kaki berjalan mendekat. Pak Warsilam mengajak aku keluar mengendap mendekat ke suara itu, pistol siap menyalak.
“Siapa itu…” terdengar suara berwibawa Pak Warsilam, sambil tangannya menggegam sepuncuk pistol mengarah ke arah suara langkah kaki itu.
“Tiga Buta ijo, Karangpetir” itu kode rahasia sang eksekutor, telah datang.
Tengah malam itu dalam kebisuan, mereka membawa tiga orang tahanan melangkah ke arah kali Pelus tepat di batas dua Desa antara Mersi dan Kejawar, aku ikut mengiringi bersama enam orang berjalan menyibak kabut, pekat.
Dengan mulut masih di sumpal dan tangan terikat kembali, mereka pasrah disuruh jongkok berjejer di dekat lobang yang mereka gali sendiri, sebelumnya.
Sebelum eksekusi, aku mendekat berdiri disamping Pak Warsilam membisikan sesuatu “Pak Silam, biar saya tembak saja” pintanya lirih, sambil membayangkan ‘rasa’ kematian dengan cara di sembelih yang tiada bisa aku bayangkan. aku teringat kata orang Jepang, lebih terhormat mati di tembak atau di pacung dari pada di sembelih.
“Tidak boleh, peluru ini lebih berharga dari nyawa mereka” tegas dan berwibawa suara itu menggaung dalam kabut pekat, aku tertunduk diam.
Disinilah mentalnya diuji, kala aku melihat kelewang mengkilap berkelebat menggorok leher mereka satu persatu. Tubuh mereka meronta-ronta dan kelojotan diiringi suara ‘erangan dalam’ saat darah merah menyembur dari leher menembus kabut pekat. Tubuh mereka jatuh berdebam, masuk lobang, aku melihat kabut disekitar tempat eksekusi, berwarna merah darah.
Seketika, kabut tebal di atas langit di dua Desa, tersingkap. Lamat-lamat terlihat biru langit, bulan mulai terlihat. Binatang malam, suara burung pungguk terdengar bersahutan merobek keheningan malam, mengiring kepergian tiga orang anjing Nica, tumbal kabut kegelapan nafsu duniawi.
.
TAMAT
.
Si Mbok : Ibu
Ramane/Bapane : Bapak
Anjing-anjing Nica : Mata-mata/kaki tangan tentara Nica.
Peta : Pembela Tanah Air
NICA : Netherlands-Indies Civil Administration : Pemerintahan Sipil Hindia Belanda