“Pak Kadus, ada Tentara Republik yang tertembak” sambil ketok-ketok jendela kamar di bagian rumah, terdengar dari dalam langkah orang keluar dan membuka pintu dapur
“Bawa masuk, sebentar saya panggil istri saya dulu” Sambil berjalan masuk kembali.
“Saya Tono dan ini Sarun, komandan kami Kapten Tukijo” sesaat setelah Pak Kadus kembali bersama istrinya. Istrinya, salah satu penduduk yang sudah dilatih pihak PMI, untuk melakukan tindakan pertolongan pertama.
“Bahu kiri kena peluru tembus kebelakang, paha kaki terserempet peluru dan beruntung tulang tidak kena, sementara ini hentikan dulu perdarahannya” dengan cekatan istri Pak Kadus membalut lukanya.
“Minum dulu, ini ada singkong rebus tapi sudah dingin”
Mereka minum dan makan singkong sambil mengobrol sampai hampir tengah malam, setelah itu mereka pamitan melanjutkan perjalan ke arah Desa Dukuhwaluh untuk berkumpul kembali dengan kesatuannya.
…………….
Semburat sinar pagi jelang mentari di ufuk Timur menyibak kabut. Terlihat dari jauh oleh dua pengintai, iring-iringan dua Panser, tiga Truk besar, dan dua Jeep tentara beriringan keluar dari dalam kota mengarah ke Desa Kejawar, mereka berdua berlari mengarah ke Balai Desa
Seketika dentum kentong besar Kyai Galih di balai Desa terdengar “dung-dung-duuung…dung..duung” diiringi langkah-langkah ratusan penduduk Desa mengalir meninggalkan Desanya mengungsi, dalam sekejap kampung Kejawar kosong, hanya tinggal orang yang sepuh dan anak-anak.
Kala dirembang sore di tempat pengungsian aku memberi perintah “Kang Narto, kumpulkan lima teman lagi sore ini lihat Nica masih dalam Desa apa sudah pergi ayo sekarang pergi”
“Siap, tunggu aku panggil mereka” jawab Kang Narto, sambil melangkah pergi.