Mohon tunggu...
Alamsyah
Alamsyah Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis & Content Writer

Lisan Terbang, Tulisan Menetap

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiba di Vila

28 Maret 2021   22:35 Diperbarui: 28 Maret 2021   22:42 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian 3 dari "Perjalanan Angker Menuju Desa Sinden"

Sebelumnya:

Serangkaian peristiwa terjadi dalam perjalanan kita menuju tempat outing. Gara-gara buang air kecil sembarangan, Ray kerasukan roh sinden. Selanjutnya sejumlah hal mistis kita temui setelah Ray buang air kecil di atas kuburan misterius.

Setelah menerima telepon dari Pak Hans, Ara terlihat sedikit kesal karena mendadak sinyal hilang lagi di HP nya. Begitu juga ketika aku cek HP sendiri, juga gak ada sinyal.

Kita masih terus bergerak menuju tempat outing yang diarahkan pak Hans dari atas motor. Kali ini kita memasuki sebuah tempat dimana kondisi jalan benar-benar nyaris tertutup oleh pohon bambu.

Kiri dan kanan jalan di penuhi pohon bambu yang dahannya merunduk betul posisinya. Gelapnya luar biasa ditambah kabut yang sudah mulai turun. Udara pun semakin kuat menusuk tulang. Kita benar-benar ketakutan semua di tengah kondisi yang sangat mencekam tersebut.

Hal itu membuat Ara sangat ketakutan dan dia memutuskan untuk pulang. Dari atas motor sambil berjalan menanjak sedikit, gue, Anto, Toro, Arda dan Ray mencoba memantapkan hati Ara agar supaya gak pulang.

Setelah kita yakini, akhirnya Ara tetap bersama kita dan membatalkan kemauannya untuk pulang. Kita pun melanjutkan lagi perjalanan.

Sampai di sebuah tempat yang agak terbuka dan ada beberapa rumah, hati kita mulai agak plong.

Kita melihat ada sebuah pos. Di depannya ada dua orang bapak-bapak. Kami pun mencoba bertanya.

"Maaf bapak-bapak kita mau nanya, desa sinden masih jauh ga ya?" tanya Ara mewakili kita.

Kedua bapak itu tidak langsung menjawab. Mereka melihat kita satu per satu dengan penuh selidik. Barulah sekitar 5 menitan salah satu bapak berbicara.

"Dari Jakarta ya. Kalian sudah masuk desa sinden sejak kalian melewati patok batas desa beberapa kilo dari pos ini." terang si bapak.

"Kalau perempatan dari sini masih jauh gak pak?" tanya Arda.

Kedua bapak itu lagi-lagi gak langsung jawab. Keduanya nampak menahan omongan di hadapan kita.

"Maaf pak, masih jauh gak perempatan?" tanya Anto kedua kalinya.

Kedua bapak itu lagi-lagi gak langsung jawab. Mereka malah menghimbau ke kita.

"Sebaiknya kalian kembali ke Jakarta." kata salah satu bapak.

"Maksudnya pak?" Ray menimpal.

"Kata bos kita nih pak, perempatan gak jauh lagi dari tempat kita berada saat ini. Kenapa kita malah disuruh pulang. Kenapa memangnya pak?" Giliran gue yang nanya.

"Perempatan itu ujung dari desa sinden. Di sana udah kosong gak ada apa-apanya. Lurus kalian akan masuk pemakaman desa, belok kanan buntu. Nah kalau ke kiri, orang sini juga gak ada yang berani ke sana." jelas salah seorang bapak.

Denger penjelasan itu kita saling.berpandangan. Gue pribadi jadi bingung bercampur takut. Entah yg lainnya, barangkali sama mungkin apa yg spt gue rasakan.

"Pak maaf sebelumnya. Sejak tadi kita udah banyak ketemu kejadian mistis. Kita udah susah payah cari tempat yg diperintahkan bos kita untuk kita ke sana." giliran Arda berkata begitu.

"Oh jadi si Ujang ini mau ke tempat itu." kata salah satu bapak sambil tangannya menunjuk ke sebuah arah.

"Memang bapak tahu tempat itu?" sekarang Toro yang angkat bicara.

"Gak ada yang berani ke sana Jang!" tukas salah satu bapak.

Kita kembali saling melihat. Arda memberi aba-aba supaya kita menjauh sedikit dari kedua bapak itu.

"Jangan kencang-kencang. Gue gak percaya sama omongan bapak itu. Lo pada gimana, mau lanjut apa gak?" kata Arda pelan.

Gue, Ara, Toro, Ray dan Anto diam sesaat.

"Gue lanjut Da"

"Gue juga" kata Toro.

Ara, Ray dan Anto akhirnya sepakat juga kita lanjut.

"Maaf bapak-bapak, karena kita diperintahkan bos, jadi kita harus ikuti perintahnya. Terimakasih atas penjelasan bapak-bapak" Arda memutuskan kita untuk lanjut, seraya berterimakasih kepada kedua bapak itu.

"Terserah ujang-ujang semua bapak berdua mah cuma jelasin yang sebenarnya." timpal seorang bapak.

"Iya pak gapapa. Terimakasih sekali lagi atas informasinya." kata Arda lagi.

Setelah itu kita memutuskan melanjutkan perjalanan ke tempat yang diarahkan pak Hans.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat. Kita melanjutkan perjalanan.

"Masih jauh gak ya perempatan Da?" Gue nanya sambil nahan dingin yang luar biasa.

"Belom keliatan Dam. Mata gue mulai gak nangkep apa yg ada di depan nih. Lo bisa ngeliat gak Ray?" kata Arda sambil nanya ke Ray yang ada di belakangnya.

"Sama Da, gue juga gak bisa liat kecuali lampu belakang motor lo" kata Ray.

Di belakang motor Ray, motor Toro mengikuti bersama Anto. Tiba-tiba Toro berteriak.

"Gawat, mampus motor gue!"

Terpaksa kita pun berhenti.

Rupanya motor Toro kehabisan bensin. Semetara motor Arda dan motor Ray juga gak bisa berbagi bensin karena udah mau habis juga.

"Terpaksa deh ngedorong" kata Anto.

"Ya udah gapapa gue sama Anto dorong nih motor. Lo duluan aja pada" sambung Toro.

"Lo yakin berani berduaan?" tanya gue.

"Abis gimana dong. Apa Lo yang dorong?" balas Toro.

"Ya udah gini aja, kita dorong gantian. Gw sama Ray pelan2 bawa motor. Kalo ada apa-apa Lo teriak aja berdua ya" kata Arda begitu.

"Perasaan gue gak enak nih" tiba-tiba Ara ngomong begitu.

Kontan aja kita semua ngeliat Ara.

Ara nampak memandang sekeliling dengan mata penuh ketakutan.

"Ya udah Ray, Lo duluan sama Ara. Gue sama Adam biar nemenin Toro. Pokoknya begitu kalian sampe perempatan jangan belok kiri dulu tungguin kita." kata Arda.

"Gimana Ra?" tanya Ray ke Ara.

"Ya udah ayok cepet gue takut nih di sini" jawab Ara.

Tak lama motor Ray hilang ditelan kabut.

Gue sama Arda nemenin Toro dan Anto gantian ngedorong motor.

Posisi gue dan Arda di depan, Toro dan Anto di belakang. Kita gantian ngedorong motor Toro.

Ray dan Ara akhirnya sampai di perempatan yang selama.ini memang kita tuju. Mereka gak langsung belok tapi nungguin Arda Cs.

"Bener ini perempatannya kan Ray" tanya Ara.

"Kayanya bener seperti yang bapak tadi jelasin. Noh ke depan kayak gerbang kuburan. Ada obor. Lo liat kan" kata Ray sambil duduk di jok motor.

"Asli gue takut Ray" kata Ara.

"Sama"

"Apa kita langsung aja belok kiri, kan cuma 200 meter." kata Ara lagi.

"Tungguin dulu deh."

Tiba-tiba dari tempat Ray dan Ara nunggu, samar-samar terlihat empat orang lagi berlari ke arah perempatan. Semakin dekat wajah empat orang itu terlihat. Mereka melewati Ray dan Ara berlari lurus ke arah pemakaman sambil mengajak.

"Ray...Ara....Ayoooo!"

Seperti terkena hipnotis, Ray dan Ara mengikuti empat orang itu.

"Arda, Adam, Toro, Anto.....mau kemana Lo? Kita harus belok kiri!" kata Ray memacu motornya bersama Ara.

"Motor kalian mana..." sambung Ara.

Empat orang yang Ray dan Ara kira adalah kita, terus berlari menuju area makam.

Sesaat sebelum masuk gerbang kuburan, tiba-tiba dari perempatan terdengar suara klakson motor berkali-kali. Ray dan Ara kebingungan.

"Ray.....balik Lo....!!!"

Detik itu juga Ray putar motornya kembali ke perempatan.

"Mampus!!! Tadi itu Lo berempat lari ngajak kita ke sana." Ara ketakutan.

"Udah..udah....cepet belok kiri!!!" Ajak Anto.

"Asli gue gak mau ikut lagi kalo begini kejadiannya. Bisa mati gue!" kata Ray.

"Bukan Lo doang yang mati tapi kita semua." Bales gue.

Kali kita berenam sudah masuk ke dalam gang yang diarahin pak Hans.

Beberapa meter setelah itu nampak sebuah rumah besar. Kita ngeyakinin itulah rumah yang diarahkan pak Hans.

"Kayak gak ada orangnya nih rumah?" tanya Arda.

"Ketok dulu. Udah tidur kali pak Hans" kata gue nimpalin Arda.

"Tok...tok....tok......"

"Assalamualaikum...."

"Pak Hans... Kita udah sampe nih"

Gak ada balesan. Suasana masih sepi. Suara jangkrik terdengar. Gak lama dari arah belakang rumah terdengar suara tokek. Sementara dari kejauhan seperti suara burung gagak sahut menyahut.

"Bener gak sih ini tempat outingnya???" tanya Toro.

"Mati kita semuanya kalo bukan" kata Arda.

Entah kenapa tiba-tiba HP Ara berdering lagi, sementara HP lainnya gak ada satu pun yang dapat sinyal.

"Pak Hans kita di depan pintu, buka pak" Ara langsung to the point.

"Cepet pak kita semua kedinginan dan kelaparan" lanjut Ara.

"Sebentar pak Yadi penunggu rumah sampe. Kalian tunggu aja" terdengar suara pak Hans.

"Baik pak baik" tutup Ara.

"Kita disuruh nunggu pak Yadi"

"Kayak apa orangnya?" tanya Anto ke Ara.

"Duh lupa nanya gue. Ya udah pokoknya kalo ada yang dateng ya itu pak Yadi" jelas Ara.

Tak lama dari arah samping rumah muncul seorang bapak-bapak.

"Pak Yadi ya" kata Ara langsung mengira itu pak Yadi.

Bapak itu tidak menjawab. Dia langsung membuka pintu rumah yang terkunci. Menyalahkan semua lampu dan membuka 4 kamar di dalamnya.

Tidak meninggalkan pesan apa-apa bapak itu keluar rumah dan menghilang.

"Aneh asli semua serba aneh" ujar Ara sambil meletakan tasnya.

"Pak Hans dimana Ra? Tanya gue.

"Itu juga yang gue lupa nanya. Gue berpikir pak Hans udah di dalam rumah ini tapi gak ada."

"Ya udah kita istirahat dulu. Mungkin pak Hans lagi keluar ada urusan." timpal Anto.

Tiba-tiba dari atas rumah terdengar suara musik gamelan Sunda berkumandang pelan dan suara itu ditangkap Ara ketika dirinya sedang berada di kamar untuk siap-siap beristirahat.

"Gue denger suara gamelan dari atas rumah ini" kata Ara keluar kamar dan menghampiri kita yang lagi kumpul di ruang tengah.

"Serius Lo Ra." tanya Arda sambil mengarahkan pandangannya ke tangga yang ada di sebelah kamar Ara.

"Kita gak denger Ra" sambung Anto.

"Gak beres nih semuanya. Setelah Ray, sekarang gue yang denger. Dan kalian juga udah dikasih liat hal-hal aneh sepanjang jalan. Gimana nih? Gue pulang duluan aja ya begitu pagi. Asli gak sanggup gue begini." terang Ara.

"Jangan gitu Ra kita berangkat bareng pulang juga harus bareng." protes Ray.

"Iye Ra. Lagian kita baru sampe dan pak Hans belum keliatan juga." timpal Arda.

"Betul Ra Lo kecapekan kali, jadi elo...." belum selesai gue ngomong, tiba-tiba Ara berjalan ke arah tangga. Di ujung tangga ada pintu tapi posisinya tertutup. Kita berusaha cegah Ara.

"Jangan Ra kita gak tau di atas ada apa."

"Suara gamelan itu dari atas. Gue mau mastiin aja." kata Ara.

"Stop Ra" hadang Ray

Mendadak mata Ara melotot seperti yang pernah terjadi pada Ray saat kerasukan roh sinden.

Suara Ara mendadak berubah jadi suara laki-laki.

"Abdi hoyong maen ka luhur. awas!" Begitu suara laki-laki yang keluar dari mulut Ara.

Kita semua sontak mundur.

"pertunjukan hoyong dimimitian di luhur" lanjut suara laki-laki dari mulut Ara.

"Ara....nyebut Lo....Anto cepet Lo bacain ayat kursi. Gue sama Adam mau nyari pak Yadi. Jangan sampe Ara ke atas" perintah Arda.

Gue dan Adam keluar rumah cari rumah Pak Yadi. Sementara Ray, Toro dan Anto menahan Ara untuk naik ke loteng.

Selang beberapa menit pintu yang tadi tertutup tiba-tiba terkuak lebar. Di atas sana nampak sesosok bayangan hitam seperti sosok perempuan memakai kebaya melambaikan tangan, mengajak Ara naik.

"Nyik Kum..." suara laki-laki dari mulut Ara memanggil sosok bayangan hitam itu.

Ayat kursi yang Anto bacakan gak mempan. Tangan Toro dan Ray berhasil dilepas Ara. Ara mulai menaiki anak tangga.

Hanya tinggal berapa sentimeter tangan Ara menyentuh tangan Nyik Koem. Detik selanjutnya Ara raib, pintu tertutup keras!

Suasana hening sesaat. Tak lama Arda dan Adam datang.

"Ara mana???" tanya Arda.

Toro, Anto dan Ray gak bisa ngomong apa-apa. Mereka kompak menunjuk ke pintu.

"Anjing!!!! Setan!!!!! Keluar Lo!!! Tiba-tiba Arda berteriak sejadi-jadinya.

Sekelebat bayangan masuk ke dalam tubuh Arda, cepat sekali. Arda seketika menari jaipong. Sama seperti ketika roh itu masuk ke tubuh Ray.

Pintu di atas kembali terbuka. Arda naik sambil jaipongan. Toro, Anto dan Ray berusaha menarik Arda. Mereka kalah kuat.

Sepersekian detik Arda hilang di balik pintu. Sepi kembali mencekam. Gue, Toro, Ray dan Anto mundur dari tangga.

"Rumah apaan ini!!! Cepet kita keluar!!" ajak gue.

Ketika kita mau keluar pintu rumah, sebuah kekuatan besar melontarkan kita hingga kita terlempar. Pintu tertutup. Lampu kedap kedip.

Kita berempat sama-sama ngedenger alunan instrumen Sunda. Suaranya asli serem.

Dalam keadaan sadar kita berempat coba keluar vila. Namun betapa sangat terkejutnya kami saat sudah di luar vila. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun