Mohon tunggu...
Alamsyah
Alamsyah Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis & Content Writer

Lisan Terbang, Tulisan Menetap

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bertemu Nenek Misterius

28 Maret 2021   01:30 Diperbarui: 28 Maret 2021   01:36 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian 2 dari "Perjalanan Angker Menuju Desa Sinden"

Sebelumnya:

Kami berenam mau menuju tempat untuk outing kantor. Tempatnya tidak diberitahu jelas oleh pimpinan kami. Pimpinan kami cuma serlok lokasi karena dia sampai duluan. Di map yang di serlok cuma tertulis 'Desa Sinden' letaknya di kaki gunung Salak. Kami naik motor. Di tengah jalan Ray kencing di sebuah tempat yang konon dihuni mahluk gaib. Kami akhirnya diikuti oleh mahluk gaib tsb. Satu-satunya cara agar tak diikuti, Ray harus kembali ke tempat dimana dia buang air kecil tadi dan menyiram dengan air di sungai yang ada tempat petilasan leluhur daerah tersebut.

Aku, Ray dan Arda memutuskan turun ke sungai mengambil air. Ara, Toro dan Anto tetap di warung.

Waktu baru menunjukan jam 01.13 tengah malam.  Untuk sampai ke sumber air yang dijelaskan ibu setengah tua penjaga warung, kami menggunakan penerang senter HP masing-masing.

Karena jalannya sempit kami harus berbaris. Ray di depan, Arda tengah dan Aku paling belakang. Ray menenteng ember. Kiri kanan jalan cuma semak-semak. Jalannya menurun.

3 buah senter HP memang cukup menerangkan suasana sehingga kami dapat melihat jelas apa saja yang ada di sekeliling. Jarak jangkau senter tak lebih dari 2 meter sehingga suasana yang lebih jauh sulit diketahui.

Tiba-tiba Ray berhenti.

"Perempatan ini."

"Ibu tadi gak bilang ada perempatan" kata Arda.

Kami berhenti di situ. Berdiskusi sebentar lalu kami putuskan untuk lurus.

Posisi kami masih seperti sediakala. Ray di depan dengan ember di tangan tangan, Arda di tengah dan aku tetap di belakang.

Lagi-lagi Ray berhenti.

"Tunggu! Gue denger ada suara cewek lagi nyinden. Apa iya ada orang hajatan jam segini di tempat kayak gini?" kata Ray penuh keheranan

"Kocak Lo Ray gak ada suara apa-apa tau!" timpal Arda.

"Iye sepi ga ada suara apa-apa" sambungku.

"Budeg Lo semua!" Ray setengah kesal.

"Lo yang halu bloon" sungut Arda.

"Udeh....Udeh...perasaan gue mulai ga enak nih. Merinding gue di belakang.!" kataku.

"Duh plis deh makin jelas tuh sinden di kuping gue. Lo pada denger gak sih? kata Ray lagi.

"Demi Allah gue gak denger apa-apa. Lo denger gak Dam?"

"Halu Lo Ray" timpal ku.

"Gue bilang gue denger cewek nyinden! Lo budeg ya pada!!" dengan nada tinggi Ray bicara begitu sambil membalikan badan ke arahku dan Arda.

Tiba-tiba saja Ray betul-betul kayak orang ketakutan melihat sosok gaib yang menyeramkan di hadapannya. Tubuhnya bergetar sambil menunjuk ke arah belakang ku.

"Udah cepet jalan bloon. Udah mau pagi nih. Mampus Lo ntar!" Arda kesal.

Ray tidak bisa ngomong apa-apa. Tangannya cuma menunjuk ke belakangku. Matanya tiba-tiba melotot. Detik itu juga suara Ray langsung berubah jadi suara perempuan.

Badan Ray yang tadi bergetar spontan seperti sedang menari mengikuti irama gamelan. Mulutnya melantunkan "Bambung Hideung" sebuah tembang Sunda yang biasa dibawakan seorang sinden sebelum menari dan itu harus dilakukan dengan ritual terlebih dahulu.

Dan barang siapa yang ikut berjoget mengikuti irama tembang itu dipastikan yang berjoget akan mengalami hal serupa, kerasukan mahluk gaib, pamacan. Seperti yang Ray lakukan, tiba-tiba yang tadi gemulai mendadak beringas dan sangat menakutkan.

"Dam Lo jangan ikut joget! Bisa mampus Lo ntar!" perintah Arda kepadaku.

"Lo balik ke warung cari bantuan. Biar gue urus si Ray!" Kata Arda lagi.

Buru-buru ku balik ke warung. Aku mengajak ibu setengah tua penjaga warung ke lokasi Ray kerasukan. Ara, Anto dan Toro juga ikut.

Tiba di sana, Arda terlihat berdiri setengah membungkuk ke Ray, seperti menyembah. Ray masih menari-nari mengikuti irama gamelan Sunda mulutnya menyanyikan Bambung Hideung, suaranya suara seorang perempuan.

"Arda Lo ngapain? Tolongin Ray Bu" Suara Ara langsung pecah sampai di lokasi.

Perempuan setengah tua penjaga warung mendekati Ray. Arda mundur.

Kami semua menghadap Ray dan perempuan setengah tua penjaga warung.

Dengan menggunakan bahasa Sunda perempuan setengah tua penjaga warung berinteraksi dengan roh sinden yang ada di dalam tubuh Ray.

Sesaat kemudian perempuan setengah tua penjaga warung itu membalikkan badannya ke arah kami dan berkata,

"Si Ujang ini didemenin sama roh sinden. Dia gak mau si Ujang ini ikut kalian. Katanya ikut dia saja" ujar perempuan setengah tua penjaga warung dengan logat Sunda.

"Apaaaaaaaa" suara kami nyaris barengan terlontar demi mendengar itu.

"Terus air di petilasan itu gimana bu apa bisa usir roh itu? Tanya Arda.

"Air itu untuk yang di sana tempat si Ujang tadi ngencing. Mereka rebutan Ujang ini" lanjutnya lagi.

"Ya Tuhan kok jadi begini Bu." Suara Anto terdengar kedinginan.

"Coba salah satu ambil air di petilasan sana. Ingat jangan aneh-aneh setelah melewati kuburan keramat. Seharusnya si Ujang ini yang ngambil air. Jadi kalau bukan si Ujang ini harus temannya yang tadi nunggu di tempat si Ujang ngencing." Jelas ibu penjaga warung.

Aku, Arda, Anto dan Toro langsung menatap Ara. Ara nampak sangat ketakutan.

"Saya aja bu" Toro coba memahami ketakutan Ara.

"Nggak bisa harus dia. Sudah sana kalian temani biar si Ujang saya urus" kata ibu penjaga warung.

"Cepat sudah mau azan Subuh!" Perintah ibu penjaga warung.

Ara, Aku dan lainnya langsung bergegas menuju petilasan. Sambil jalan setengah kencang aku coba nengok ke belakang. Ibu penjaga warung dan Ray sudah tak ada di tempat tadi.

"Cepet bener ilangnya tuh nenek-nenek. Dibawa kemana si Ray?" aku membatin sambil mengikuti langkah kaki teman2 ke arah petilasan.

"Senter ke arah kiri Ara." Perintah Anto di belakang Ara.

Tampak sebuah kuburan. Wanginya sudah mulai berbeda dari tempat Sebelum.

"Sssist....jaga sikap!" Anto perintahkan seperti itu.

Aku dan lainnya angguk-angguk. Rasa takut mulai berkecamuk membekap perasaanku. Mungkin yang lain juga.

"Lo turun ya Ara ke sungai ini. Kita di sini nungguin Lo." kata Arda pelan.

"Iya...iya..senterin!" Ara mulai turun pelan-pelan. Tanah yang Ara injak mulai memantulkan cahaya akibat air embun.

"Pelan-pelan Ra!" kataku pelan.

Tanpa mengalami kesulitan Ara berhasil mengambil seember air. Air itu diberikan ke Arda.

"Ayo balik!" perintah Arda.

Kami pun balik badan lalu berjalan menuju arah warung.

Tiba di tempat Ray dan ibu pemilik warung, mereka sudah tak ada.

"Gue liat udah ilang sejak kita mau ke arah sungai" kataku.

"Ya udah lanjut yuk!" ujar Toro.

Tak lama kita sampai di warung. Ray tampak masih terus menari sambil nembang "Bambung Hideung".

"Setelah si Ujang sadar kalian temani lagi si Ujang ke tempat tadi dia ngencing. Untuk sementara biarkan roh sinden yang di sini pindah ke ibu ya. Setelah selesai kembali ke sini" jelas ibu pemilik warung.

Kami mengangguk-angguk tanda setuju.

Tak lama Ray sadar dan si ibu pemilik warung kerasukan roh sinden tersebut.

"Ayo Ray Lo balik ke tempat tadi Lo kencing!" ujar Arda.

Sebentar Ray seperti orang bingung.

Kami pacu motor cukup cepat ke lokasi dimana tadi Ray kencing. Tak lama kami tiba di lokasi itu.

"Cepet Ray Lo siram bekas Lo ngencing tadi. Lo dimana ngencingnya?" tanya Ara.

"Di sono" kata Ray menunjuk satu tempat.

Kami ikuti Ray menuju lokasi dimana tadi dia buang air kecil.

Saat Ray menyiram semak-semak, air yang dituang dari ember mendorong dedaunan. Karena dorongan air cukup kuat maka nampaklah semacam batu berdiri tegak.

Ray coba memastikan batu apa yang ada di situ.

Rupanya batu itu adalah sebuah nisan. Sedangkan posisi Ray berdiri adalah tanah makam yang tak terlihat karena tertutup semak-semak.

"Udah Ray ayo kita cabut. Lo ga usah lagi sok tau. Bahaya nih tempat!" Anto coba ingatkan Ray.

Kami kemudian kembali ke warung. Namun apa yang terjadi?

Rupanya ibu setengah tua pemilik warung sudah tak ada lagi di warung itu. Kami kemudian mencari keberadaannya di segala sudut warung hingga ke bagian luarnya.

Arda yang mencari ke belakang warung tiba-tiba berteriak memanggil. Kita pun datang ke tempat Arda.

"Ada kuburan nih. Kuburan siapa ya." tanya Arda seraya menunjukkan kuburan yang dia temukan di semak-semak persis di belakang warung.

"Sebentar....sebentar...." Toro maju mendekati kuburan. Tangannya menyibak dedaunan yang menutupi nisan.

"Namanya masih ada. Senter!" Arda perintahkan menyenter nisan tersebut.

"Sum....tum....Nyik....duh gak jelas nih" baca Arda di tulisan nisan tersebut.

"Sini gue baca" Ara mendekat ke Nisan.

"Koemala...atau..... dalam kurung...Nyik.... belakangnya gak jelas" baca Ara di tulisan nisan itu.

"Tunggu...." Ara baru tersadar.

"Berarti ini kuburan ibu yang ada di warung ini. Gue pernah nanya namanya dan dia bilang Nyik Kum. Boleh jadi itu panggilannya dan itu nama lengkapnya." jelas Ara.

"Berarti......" terdengar suaraku, Anto juga Ray yang nyaris barengan menyebut kata itu.

"Anjay! Berarti segala kopi, teh, Indomie yang kita sikat.....coba cek ke dalam lagi!" Arda spontan jalan menuju dalam warung. Kita mengikuti.

"Liat...kosong gak ada apa-apanya nih warung padahal Lo pada liat kan kita ngopi, makan mie di sini" jelas Arda.

Kita gak bisa ngomong apa-apa. Asli kita semua jadi ketakutan. Tiba-tiba Ara muntah. Barangkali dia gak terima makanan dan minuman yang dia santap karena yang buat mahluk gaib.

"Cepet ayo tinggalin tempat ini" ajak Toro.

"Iya ayo takut gue" balas Anto.

Kita pun segera tinggalkan warung untuk melanjutkan perjalanan mencari tempat outing yang lokasinya belum jelas benar keberadaannya.

Dalam perjalanan menuju ke atas, kita jalan beriringan. Kita tidak bisa ngebut karena kondisi jalan tidak memungkinkan.

Aku dan Arda yang berada di depan tiba-tiba melihat 3 orang sedang berjalan kaki, jalan menuju arah balik dari arah kita.

Lampu motor Arda  menyenter wajah ketiga orang pejalan kaki itu. Arda coba menegur tetapi mereka tidak membalas dan cuma jalan dengan pandangan lurus ke depan.

Beberapa meter berikutnya dua orang juga berjalan kaki ke arah kita. Keduanya berjalan sama seperti ketiga orang sebelumnya. Keduanya juga tak membalas sapaan Arda.

Ketika rombongan orang ketiga yang terdiri dari empat orang jalan ke arah kita, aku baru tersadar, ternyata semua orang yang berjalan matanya tertutup semua.

"Parah Da semua pada tidur sambil jalan." Kataku ke Arda.

"Ah yang bener Lo Dam." Arda bilang begitu penuh rasa heran.

"Gue yakin Da. Ntar Lo tanya aja sama anak-anak di belakang, bener ga gitu." Kataku menegaskan.

"Mereka baru pada pulang dari nonton dangdut atau jaipong kali Dam." kata Arda coba cari alasan yang masuk akal.

"Nonton sih nonton tapi kenapa jalannya sambil nutup mata." balasku.

"Udah ah Dam stress gue. Tempat apaan sih nih? Si bos beneran gak sih tuh ngasih lokasi outing?" tanya Arda sambil ngegas motornya di jalan yang menanjak.

Selang beberapa menit setelah rombongan orang ketiga hilang di kegelapan, aku dan Arda melihat satu orang lagi jalan menuju ke arah kita. Kira-kira 3 meteran, orang itu berhenti. Motor kita mendekat. Ternyata seorang wanita muda. Usianya kira-kira 17-20 tahunan.

"Nah giliran cewek Lo berhenti Da" kataku keheranan.

"Dia cewek Dam kasihan udah mau subuh gini di jalan." jawab Arda sambil mematikan mesin motor.

"Neng kok berani sih sendirian. Ini kan mau subuh dan di hutan" tanya Arda ke cewek itu.

Sang cewek tidak langsung menjawab. Matanya tegak lurus tidak tertuju ke Arda atau ke gue.

"Ngeliat apaan sih neng?" tanyaku memberanikan diri.

Nggak lama motor Ray dan Toro mendekat ke arah kita.

"He... ngapain Lo berhenti. Ayo lanjut udah mau subuh nih!" kata Ray.

Aku dan Arda saling lihat. Dalam hati aku bertanya kenapa Ray ngomong begitu, padahal aku dan Arda lagi sama cewek itu.

"Emang mata Lo buta ye. Nih cewek gak Lo liat apa? Di tengah hutan jam segini sendirian" kata Arda.

"Cewek mata Lo soak!" sahut Toro.

"Lo mabuk ye berdua. Mana cewek yang Lo maksud?" Ara berkata begitu.

Lagi lagi aku dan Arda saling pandang.

Tanpa menjelaskan lagi apa yang tadi dia lihat ke yang lain, Arda nyalain motor. Aku duduk di belakang menggigil, merinding.

"Emang Lo ga liat gue sama Arda ngobrol sama tuh cewek Ra?" tanya gue ke Ara sambil motor berjalan.

"Au ah Dam. Lo sama Arda tuh cuma berdua doang tadi. Gue gak liat ada cewek bersama kalian" terang Ara.

"Eh busyet berarti tadi......"

"Iye Dam sama kayak ibu penjaga warung tadi" setengah teriak Ray merespon ucapan gue.

Entah kenapa tiba-tiba saja HP Ara yang berdering. Dari sebelah, gue bisa lihat ada telpon masuk. Yang nelpon si bos karena ada foto si bos lagi bergaya.

"Angkat buru Ra!"

Buru-buru Ara angkat telpon si bos.

"Bos dimana sih tempat outingnya. Kita kesesat nih"

"Nanti ketemu perempatan yang ada tugu orang seperti sinden kalian belok kiri. Kira-kira 200 meter dari situ ada gang kecil sebelah kiri. Kalian masuk gang. Tempatnya cuma rumah satu gak ada rumah lain di sekitarnya. Nah itu tempat untuk outing. Lama banget sih kalian" terang si bos terdengar dari HP Ara yang di loud speaker. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun