Perjalanan siang itu cukup melelahkan, saat beberapa kilometer dijalani tak ada satupun rumah warga. Kiri dan kanan bukan pohon Cemara, Sem tidak naik kepuncak seperti lagu anak-anak. Kiri dan kanan ada pepohonan yang agak jauh dari jalan, kebanyakan perkebunan.Â
Banyak pohon jambu kristal disisi kiri jalan, ia berjalan searah arah jalannya kendaraan. Perut Sem saat itu bernyanyi lagu jazz, kebetulan Sem menyukai musik genre blues.Â
Perut Sem jarang mendengar lagu keroncong, padahal ia ngefans juga sama Didi kempot. Kebetulan seorang maestro Didi kempot terkadang suka mendengar lagu jazz. Mentari kembali panas. Panasnya mentari membuat perut Sem yang bernyanyi jazz lebih nge soul berubah menjadi lagu deathmetal, bukan hanya lapar. Seperti orang kelaparan.
Sem hanya mempunyai uang Rp.2000, ia tak pesimis dengan apa yang dijalaninya. Ia tahu sebelum ia jalan segala resiko yang akan dijalani itu banyak, kelaparan, kepanasan, kehausan dan lain-lain.Â
Perjalanan Sem tak pernah dibisniskan olehnya, meskipun ia tahu banyak hamba-hamba Tuhan yang terhubung dengan nya. Saat itu ia berdoa semoga tak ada hamba Tuhan yang merasakan pahitnya kehidupan seperti yang dijalaninya, toh dasarnya perjalanan itu keputusan nya sendiri dan resikonya bukan salah apapun. Walaupun kelompok yang terbuang selalu berbuat salah dihadapannya.
 Ia masih optimis mendapat uang yang terjatuh, kadang-kadang ia pernah mendapat uang Rp.1000 dijalan, dikumpulkannya dan dibeli nya mie. Bahkan pernah juga ia mendapat uang dijalan seperti sengaja ditaruh sebesar Rp.100.000 tapi jarang. Keoptimisan Sem tergugahkan saat melihat warung kecil diarah seberang, ia pun langsung menghampirinya. Dipanggil-panggilnya penjaga warung itu.
  "Bu"
 "Mas"
 "Pak"
 "Bu"
 "Beli"