Zia mengangguk, kemudian mengenakan kalung tersebut sebelum akhirnya berangkat ke sekolah dengan Devan.
Acara kelulusan di sekolah berjalan dengan lancar. Zia diantar pulang oleh Devan. Sesampainya dirumah, Zia memandang lamat-lamat kalung permata merah pemberian neneknya. Kemudian Ia tersadar, bahwa tadi pagi nenek nya akan menceritakan siapa pemilik kalung itu. Zia pun bangkit dari duduknya dan segera mencari sang nenek.
Setiap penjuru rumah telah ia telusuri untuk mencari sang nenek. Namun, entah kemana perginya, Zia tak menemukan neneknya tersebut.
Zia hanya bisa kembali ke tempat tidurnya dan terus memandangi kalung pemberian neneknya tersebut, hingga tanpa sadar ia terlelap tidur sembari memegangi kalung itu sepanjang malam. Tepat pukul 12 malam, Zia terbangun dari tidurnya. Namun betapa terkejutnya ia, saat melihat sosok dirinya sendiri yang berada di kasur tengah tertidur, sedangkan jelas-jelas ia bisa merasakan bahwa ia sedang berdiri tegak.
"Apakah aku sudah mati? yaampun bagaimana ini? aku masih ingin hidup!" Zia terlihat sangat ketakutan.
Ia sangat bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia terus berjalan mundur hingga menabrak pintu kamarnya. Pintu itu terbuka, namun Zia merasa lebih aneh lagi. Kini rumahnya terlihat berbeda. Zia kemudian keluar dari kamarnya, menelusuri rumahnya yang seolah asing baginya. Rumahnya itu terlihat lebih kuno, mulai dari perabotan, pajangan di dinding, hingga cat nya pun jelas berbeda.Â
Di sudut ruang tamu, Zia menemukan sebuah foto keluarga, namun bukan keluarganya yang ada di foto tersebut. Entah siapa, namun keluarga itu jelas bukan orang Indonesia, mereka terlihat seperti warga Belanda. Saat Zia berniat menyentuh foto tersebut, tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki yang semakin lama semakin dekat dengannya. Zia pun terbirit-birit berlari kembali ke kamarnya.
Sesampainya ia di kamar, ia menutup pintu dan betapa terkejutnya ia saat melihat seorang gadis keturunan Belanda sedang mengelus-elus rambut Zia yang sedang tertidur.
"Hey, siapa kamu? Singkirkan tangan mu dari tubuhku itu." Ucap Zia.
Gadis Belanda itu tetap mengelus-elus rambut Zia yang sedang tertidur.
"Yaampun, apa aku benar sudah mati, dan suara ku tidak bisa terdengar oleh siapapun?" Zia mulai panik lagi.