"Baik tuan, akan kucoba"
Setelah menulis surat, Dedrick memberikannya pada Zia, dia tidak paham apa isi surat tersebut karena berbahasa Belanda. Kemudian Zia tertidur dan Rohnya keluar dari tubuhnya. Ia menemui Kathelijn yang ternyata sudah sedari tadi ada di pojok ruangan tersebut. Kathelijn menerima surat itu lalu membacanya.
"Baiklah, aku akan menerima takdirku, aku akan melepas kepergian ibuku. Sekarang aku akan pulang ke rumah Tuhan. Sampaikan maaf ku pada Dedrick. Terimakasih Zia kau sudah mau membantuku." Kathelijn berkata sambil menangis dan memeluk Zia.
Zia tak bisa berkata-kata, ia memeluk Kathelijn menenangkannya.
"Sekarang, aku tidak akan mengganggumu dan kelurgamu lagi Zia. Lalu kalung itu, berikan kalung itu pada Dedrick, kuburkan di halaman belakang rumah." Ucap Kathelijn lagi.
"Baiklah Kathelijn."
Kathelijn melepaskan pelukannya, kemudian terlihat cahaya yang semakin membesar di tembok ruangan. Kathelijn melambaikan tangannya memasuki cahaya tersebut dan cahaya itupun menghilang seketika.
Roh Zia kini sudah tepat lagi di dalam tubuhnya. Ia menceritakan kejadian yang baru saja terjadi dan menyerahkan kalung dengan permata berwarna merah itu kepada Dedrick untuk dikubur. Sebenarnya Zia sangat penasaran terhadap isi surat tersebut. Namun, biarlah itu menjadi urusan antara Kathelijn dan Dedrick. Yang terpenting, kini Zia dan keluarganya sudah terbebas dari gangguan Kathelijn.
Zia dan Devan kemudian meninggalkan rumah Dedrick. Zia berjalan dengan penuh kelegaan, menatap lembayung senja liburan musim panas di Belanda. Zia dan Devan memutuskan untuk menikmati beberapa hari di Belanda, yang kemudian akan kembali ke Indonesia dengan tanpa gangguan Kathelijn lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H