"Memang tidak mungkin, tapi dia mantan dosen disini, kita bisa mencari tahu alamat dimana dia tinggal."
Devan hanya mengangguk-ngangguk mengiyakan. Setelah mencari tahu, dan sedikit paksaan terhadap bagian administrasi universitas tersebut, baru lah mereka mendapatkan alamat rumah Dedrick atau adiknya Kathelijn.
Zia mengetuk pintu kayu berwarna coklat dengan penuh yakin. Tak lama keluarlah gadis seusia dengannya. Ia bertanya mereka mencari siapa, lalu setelah menyebutkan nama Dedrick, gadis itu mempersilahkan Zia dan Devan masuk.
"Kakek, ada yang mencarimu." Ucap gadis tersebut berbahasa Belanda.
Zia tidak menyangka bahwa adik Kathelijn masih hidup. Kini usianya sudah 85 tahun. Ia telah renta diatas kursi roda tetapi wajahnya terlihat bugar.
"Kalian siapa, dan ada kepentingan apa?" Dedrick bertanya dengan bahasa Belanda.
Zia sangat beruntung mengajak Devan, karena Devan bisa menjadi penerjemah untuk Zia yang tidak mahir berbahasa Belanda.
Kemudian Zia pun menceritakan siapa dirinya dan apa maksud kedatangannya lalu di terjemahkan oleh Devan untuk disampaikan kepada Dedrick. Dedrick sangat tidak percaya terhadap apa yang diucapkan oleh Zia. Tapi setelah Zia memperlihatkan kalung itu, Dedrick barulah mempercayainya, karena walaupun dulu ia masih berusia 5 tahun, tapi ingatannya tajam.
"Aku tidak bisa pergi ke Indonesia untuk mencari jasad Ibu, Zia. Katakan pada Kathelijn dia harus bisa menerima semuanya." Ucap Dedrick
"Tapi bagaimana dengan aku dan keluargaku yang telah diancam oleh Kathelijn, dia akan membunuh kami." Ucap Zia
"Baiklah, bisakah kau berkomunikasi dengannya sekarang? Aku akan menuliskan surat untuknya, lalu kau berikan surat itu untuk dia. Mungkin saja dia akan ikhlas menerima takdirnya dan mengikhlaskan kepergian Ibu."