Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Musashi: The Journey of A Warrior & The Book of Five Rings (13)

18 April 2016   22:05 Diperbarui: 2 Juni 2016   20:45 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sore hari ini Dorin tampak sedang menikmati waktu kesendiriannya. Ia duduk di salah satu batu besar berbentuk pipih yang banyak terdapat di tempat ini. Suasana yang teduh dan nyaman turut membuat hatinya tenteram. Ia merasakan kedamaian setiap kali pandangannya ia arahkan pada pepohonan yang banyak terdapat di pekarangan rumah ini. Beberapa pohon memiliki ranting yang meliuk-liuk bagaikan aktor drama Noh yang sedang berpentas. Langit senja yang kemerah-merahan dan semakin temaram turut menambah magis keadaan di tempat yang sunyi itu.

Dorin sedang menunggu Bennosuke untuk pelajaran sesi malam – sejarah, biasanya mengenai kisah-kisah klasik Chuugoku ataupun sejarah Jepang yang meliputi perjuangan kaum samurai dalam peperangan, politik dan perebutan kekuasaan. Dorin menyampaikannya dalam cara yang sederhana walaupun menggunakan kata-kata yang formal – agar Bennosuke terbiasa dengan kata-kata semacam itu ketika membaca langsung literatur sejarah terkait.

Biasanya di sore hari seperti ini, Dorin suka berbincang-bincang dengan Bennosuke di tempat ini. Membahas hutan dan pepohonan, bukit, sungai, hingga binatang-binatang dan serangga yang ada di sana. Dorin mengakui Bennosuke memiliki selera yang baik akan keindahan – apakah itu berupa pemandangan alam, benda-benda yang terdapat di sana, ataupun benda-benda artifisial hasil karya seni manusia yang terdapat di rumah ini. Bocah itu bisa mendeskripsikan dengan kata-kata, begitu jelas dan sungguh menarik – sehingga Dorin merasa seolah-olah ia sendiri yang berada di sana dan melihat apa yang dikatakan oleh Bennosuke mengenai keadaan di hutan, seperti bebatuan yang terlihat seperti tumpukan batu giok, berwarna kehijauan karena tertutup lumut ataupun pohon-pohon yang telah menua – berusia puluhan tahun yang menimbulkan kesan mistis. Di Jepang, ada semacam kepercayaan bahwa benda-benda yang sudah berumur tua – termasuk benda mati, memiliki roh.

Ketika musim semi tiba, Bennosuke akan bercerita tentang aneka bunga yang bermekaran, hewan-hewan liar yang semakin banyak menampakkan diri, kelompok burung yang terbang kembali menuju utara, hingga sungai yang mengalir dengan deras. Walaupun saat musim dingin salju jarang turun di desa ini, perilaku para penghuni hutan tersebut tetap terpengaruh dinginnya temperatur di hutan itu. Mereka menjadi kurang aktif dan sebagian besar jarang menampakkan dirinya.

Dorin percaya Bennosuke sudah menjelajahi hampir seluruh wilayah hutan di luar desa ini. Bisa jadi ia telah mencapai bagian terluar sisi seberang hutan itu. Hebatnya lagi, bocah ini belum pernah tersesat.

“Aku akan memanjat pohon yang tinggi untuk mengetahui di mana sebenarnya aku berada saat itu,” kata Bennosuke ketika ditanya apa yang akan ia lakukan jika ia tersesat di hutan itu. “Sekalipun di waktu malam, aku tidak takut tersesat. Dari tempat yang tinggi, aku bisa melihat cahaya – nyala lilin yang menerangi rumah-rumah penduduk desa.”

“Bagaimana jika kamu tidak menemukan pohon yang tinggi?” tanya Dorin ketika itu.

“Aku akan mengamat-amati pepohonan dan semak belukar. Semakin rimbun berarti semakin mengarah ke dalam hutan. Semakin berkurang atau semakin jarang pepohonan dan semak belukar, berarti mengarah ke permukiman. Tetapi jika kejadiannya malam hari, tentu keadaan sangat gelap dan aku tidak bisa melihat apa pun. Aku akan memanjat pohon, memilih batang yang cukup besar dan mengikat diriku di sana. Aku akan tidur sambil menunggu matahari terbit dan keadaan di dalam hutan menjadi terang kembali.”

“Jawaban yang cukup masuk di akal,” Dorin memuji.

“Sebenarnya pertanyaan Paman yang tidak masuk akal,” Bennosuke menatap Dorin dengan pandangan memprotes.

“Eh?” Dorin bingung.

“Aku tidak mungkin tersesat sampai malam hari di hutan. Kalau sore hari, sebelum matahari tenggelam, aku belum pulang ke rumah, orang-orang akan segera mencariku. Jika aku tidak juga ditemukan, kepala desa akan mengerahkan warga desa – para laki-laki dewasa, untuk turut mencariku, bahkan kalau perlu mereka akan masuk ke dalam hutan.”

Anak ini hebat! Cara berpikirnya luar biasa.

“Setelah mereka menemukanku, aku akan dikembalikan ke rumah.”

Dorin menganggut-anggut dan terus mendengarkan.

“Lalu Ayah akan memukuli pantatku hingga bilur-bilur dan aku tidak bisa duduk karena pantatku sakit. Hahaha!” Bennosuke tertawa terpingkal-pingkal lalu menungging sambil menunjuk pantatnya.

Rupanya pengalaman pribadi. Anak ini mengerjaiku. Dorin memandang Bennosuke dengan muka masam.

Sungguh pun demikian, Dorin tetap mengagumi kemampuan Bennosuke menjelajahi hutan. Sewaktu ia berusia sama dengan Bennosuke saat ini, Dorin belum pernah pergi ke hutan seorang diri. Jadi apa yang ia alami, ia lihat, dan ia rasakan, tidak seperti yang diceritakan oleh Bennosuke. Bocah itu mempunyai kebebasan penuh akan apa yang ingin ia lakukan. Ia mengeksplorasi hutan sesukanya, sejauh ia mau, dan selama ia inginkan. Terkadang aku iri dengan bocah ini. Ia begitu ceria dan menikmati kehidupannya. Padahal ayahnya, Munisai …

Dorin tertawa dalam hati.

Kok tiba-tiba aku terpikir akan orang itu? Kenapa Munisai? Ada apa dengannya?

Ia teringat seharian ini ia belum melihat orang itu.

“Ah, Dorin, kebetulan.” Terdengar sapa seseorang.

Dorin menoleh ke arah asal suara tersebut.

“Oh, Munisai, silakan,” katanya mempersilakan Munisai duduk di salah satu batu pipih di sampingnya. Tumben. Dan panjang umur – baru dipikirkan, tiba-tiba muncul.

“Anda tahu kejadian yang melibatkan Bennosuke beberapa waktu yang lalu?” tanya Munisai yang kini sudah duduk di samping Dorin. Walaupun mereka berdua berkerabat, keduanya menggunakan bahasa formal ketika bercakap-cakap. Status Dorin sebagai seorang biksu dan Munisai – seorang samurai yang kini menjadi pelatih pedang, menempatkan keduanya dalam strata yang lebih tinggi dari masyarakat umum yang lain (seniman, petani, pedagang, dan lain-lain).

Dorin sepertinya tahu ke mana arah pertanyaan Munisai.

“Mengenai dua orang penjahat kampung itu?”

Munisai menganggukkan kepala.

‘Kukira kasusnya sudah selesai. Bukankah mereka berdua telah mendatangi Anda untuk meminta maaf?”

Sekali lagi Munisai mengangguk – kali ini sambil menghela napas sedikit.

“Ketika menemuiku, kedua orang itu terus membungkuk, seperti menyembah, di hadapanku sambil memohon maaf berulang-ulang.” Munisai berkata dengan suara berat seperti ada yang membebani pikirannya.

Semenjak mengalahkan Madajiro dan Fukube, dua orang bandit kampung itu, Bennosuke menjadi ‘terkenal’. Ia menjadi bahan pembicaraan warga desa selama berhari-hari. Walaupun demikian, tetap saja orang-orang selalu menghubungkan Bennosuke dengan dirinya.

“Dia itu anak Munisai.” Begitulah yang dikatakan orang-orang ketika menceritakan peristiwa pertarungan tersebut.

Hal yang diyakininya tidak disukai Bennosuke. Walaupun ia tidak begitu akrab dengan putranya, ia tahu Bennosuke memiliki kepercayaan diri yang kuat. Bocah itu bukan anak kecil yang cengeng dan tentunya tidak suka mengandalkan nama besar ayahnya.

“Aku sudah memeriksa tangan orang itu – Madajiro, maksudku. Jari-jari tangan kanannya bengkak semua tetapi tidak parah,” kata Munisai. “Persis seperti yang dikatakan Bennosuke kepada orang itu, kalau saja ia menggunakan mata pedang bokken-nya, tangan kanan orang itu mungkin sekarang sudah tidak bisa digunakan lagi. Tulang-tulang jari tangan orang itu bisa remuk dan tangannya menjadi cacat.”

Ekspresi wajah Munisai menunjukkan ia merasa lega. Seandainya saja Madajiro lebih cepat menyadari kemampuan Bennosuke …

“Seharusnya ia sudah harus langsung berhenti ketika ibu jarinya dihantam bokken Bennosuke,” ia menambahkan.

Dorin juga mengerti mengapa Bennosuke memilih untuk langsung menghantam ibu jari Madajiro. Anak itu tidak ingin berlama-lama bertarung. Ia ingin lawannya mengetahui kemampuannya menggunakan bokkendan segera menyerah.

Tetapi ia enggan berkomentar dan memilih menunggu mendengarkan penjelasan Munisai.

Munisai memerhatikan ekspresi wajah Dorin, seolah-olah ingin mengetahui apa yang ada di benak biksu itu.

“Jika seseorang tidak memiliki ibu jari atau ibu jarinya patah, bagaimana menurut Anda?” tanyanya.

“Tangan orang itu menjadi tidak berguna,” Dorin langsung menjawab. Ia memperlihatkan telapak tangannya yang terbuka dengan empat jari, sementara ibu jarinya ditekuk ke arah dalam. Dorin lalu menggerak-gerakkan keempat jari itu.

“Benar,” Munisai mengangguk setuju. “Orang itu tidak akan bisa memegang cawan atau piring, menggunakan sumpit, apa lagi memegang pedang – dengan benar. Seharusnya Madajiro memahami hal itu.”

“Dan tentunya ia harus menggunakan tangan kirinya untuk menggantikan fungsi tangan kanannya yang sudah ‘tidak memiliki’ ibu jari itu,” Dorin menambahkan.

Tiba-tiba suatu peristiwa terlintas di benaknya. Itulah sebabnya Bennosuke terkadang berlatih dengan duabokken. Masing-masing tangannya memegang sebilahbokken. Bukan semata-mata karena keunggulannya – seperti mampu menyerang dua kali lebih banyak, tetapi juga untuk melatih tangan kirinya agar bisa berfungsi sama baiknya seperti tangan kanannya. Jika tangan kanannya cedera, dia masih memiliki tangan kiri yang kemampuannya setara dengan tangan kanannya. Apa yang bisa menghentikan Madajiro – cedera pada ibu jari tangan kanan, tidak akan mampu menghentikan Bennosuke.

Munisai terdiam sejenak – entah apakah saat itu ia sedang memikirkan hal yang sama dengan yang  dipikirkan Dorin atau ada hal lain lagi yang membebani pikirannya.

Ia lalu melanjutkan perkataannya. “Pukulan Bennosuke tepat mengenai persendian jari-jari tangan itu dengan kecepatan dan kekuatan yang terukur.”

Dorin terus menyimak.

“Apa yang dilakukannya itu sepintas kelihatan sepele, namun sebenarnya hal itu bukan sesuatu yang mudah dilakukan.” Bergerak cepat menghindari serangan sambil memukul tepat ibu jari tangan lawan yang menyerangnya …

“Tidak bisa dipraktikkan hanya dengan latihan sebulan-dua bulan. Anak itu berlatih pedang lebih tekun dari perkiraanku. Tidak banyak muridku yang bisa melakukan apa yang dia lakukan.”

Dorin jadi penasaran. Tidak banyak muridnya yang bisa melakukan apa yang dilakukan Bennosuke?

“Apakah termasuk empat orang murid Anda yang bernama Sannosuke, Madaemon, Yanabe, dan Matachiro?” tanyanya.

Munisai menampakkan wajah terkejut – sekilas, tidak ada gerakan apa pun di wajahnya, tidak bibirnya, tidak alisnya, tidak juga bola matanya, hanya saja sinar matanya seperti berkilat sesaat. Nyaris tidak terlihat, tetapi Dorin sempat menangkap ekspresi tersebut.

Celaka! Aku kelepasan bicara. Dorin mengeluh dalam hati.

Berbagai macam hal muncul dalam benak Munisai ketika ia mendengar Dorin menyebutkan keempat nama itu.

Bennosuke memerhatikan empat orang itu? Kenapa? Mereka bukanlah murid-murid dengan kemampuan yang mencolok. Mereka biasa-biasa saja.

Atau dia sedang memilih lawan tanding? Lawan tanding yang sepadan dengannya. Tetapi keempat orang itu kemampuannya masih di atas Bennosuke – walaupun dalam hal tertentu mungkin saja Bennosuke lebih unggul daripada mereka, seperti apa yang dilakukannya terhadap Madajiro. Kurasa tak seorang pun di antara keempat orang itu mampu melakukan apa yang dilakukan Bennosuke – memukulkanbokkentepat di ibu jari tangan yang sedang bergerak menyerang – apalagi dengan bagian pipihbokken. Tetapi secara keseluruhan, dari segi ilmu pedang, pengalaman, jangkauan, kekuatan dan stamina, Bennosuke tidak akan bisa menang. Mereka memang tidak bisa menghantam ibu jari lawannya seperti yang dilakukan Bennosuke, tetapi jika mereka diserang seperti itu, dengan mudahnya mereka dapat mengelak … dan langsung balas menyerang.

“Putraku ingin menantang mereka?” tanya Munisai perlahan.

Dorin, inilah akibatnya kalau kau bermulut besar, sekarang kau harus menjelaskan semuanya! Dorin memaki dirinya sendiri.

Ia menggelengkan kepalanya, “Tidak, tidak jadi.”

“Hm,” Munisai seperti berdeham. Anak itu lebih cerdas dari yang kukira.

Ah, ternyata cuma “Hm”. Itu saja. Dorin menarik napas lega.

“Oh, ya, Dorin, sepertinya aku kurang memahami apa yang selama ini Anda ajarkan pada Bennosuke?” Dari nada suaranya, Munisai terdengar seperti menyalahkan Dorin.

Dorin tersentak mendengar pertanyaan itu – yang menurutnya lebih terdengar seperti sebuah teguran. Apa maksudnya?

Namun ia tidak memperlihatkan ekspresi wajah yang terkejut. Ia tetap bersikap biasa saja. Seorang biksu terbiasa melatih diri agar mampu mengendalikan perasaannya, seperti perasaan sedih, marah, kecewa, dan sebagainya.

Senyum tersungging di bibir Dorin. Apakah hal ini terkait dengan perkelahian antara Bennosuke dan Madajiro? Apakah Munisai menuduhnya telah lalai mendidik putranya itu? Apa pun itu, sudah menjadi kewajibannya untuk mengambil alih tanggung jawab atas perbuatan Bennosuke – jika anak itu telah bertindak bodoh, melakukan suatu perbuatan yang tidak berkenan di hati ayahnya. Dorin siap menerima teguran Munisai.

Munisai sepertinya tidak menunggu jawaban Dorin. Rupanya ia memang tidak bermaksud menegur, ia hanya ingin tahu.

Ia menoleh ke arah biksu itu, “Kudengar, dia tidak sedikit pun gugup atau takut ketika berhadapan dengan dua bandit kampung itu.”

Dorin merasa lega. Ia tidak perlu mencari-cari alasan untuk menjelaskan hal ini.

“Itu bukanlah hal yang biasa terjadi. Tidak gugup? Agak aneh kedengarannya, kecuali untuk orang yang sering berkelahi. Atau memang dia sering berkelahi? Aku kok tidak tahu?” Munisai kembali bertanya – dan sepertinya ia tidak memerlukan penjelasan secara detail.

Sebenarnya latihan meditasi yang dijalani Bennosuke mampu membuatnya berkonsentrasi penuh pada hal-hal yang sedang dilakukannya. Apakah sedang menulis, membaca, berlatih pedang, dan lain sebagainya, sehingga pikiran negatif yang tidak dikehendaki – seperti rasa takut, cemas, ataupun ragu-ragu, tidak akan muncul. Jadi kondisi itu terjadi bukan karena ia tidak punya rasa takut atau tidak bisa merasakan ketakutan. Ia hanya menyingkirkan perasaan itu. Bukankah orang tidak bisa memikirkan dua hal yang berbeda pada waktu yang bersamaan?

Ketika Bennosuke fokus pada lawan yang ada di hadapannya, pikirannya hanya tertuju pada lawannya itu. Tidak ada hal lain lagi yang dipikirkannya. Ia telah menyingkirkan semuanya saat itu.

“Kurasa jawabannya adalah latihan meditasi yang ditekuni putra Anda,” Dorin menjawab dengan  perlahan namun tegas.

Zen, ya? Jadi Dorin mengajarkan Zen pada putraku. Tidak mengherankan, dia kan seorang biksu. Tetapi apakah dia mengarahkan Bennosuke untuk menjadi seorang biksu juga?

Munisai tertawa dalam hati ketika ia membayangkan hal itu. Bennosuke menjadi seorang biksu? Lebih mungkin Gunung Fuji meletus ketimbang Bennosuke menjadi seorang biksu.

“Kukira Anda pernah menceritakan bagaimana dia cenderung untuk menghindari konflik selama dia bisa mengambil keuntungan dari situasi yang ada,” Munisai sepertinya ingin tahu apakah Bennosuke memang lebih suka memilih jalan damai ketimbang lewat cara kekerasan. Ia sendiri lebih menginginkan Bennosuke untuk tidak terlibat dalam kontak fisik dengan orang lain – untuk saat ini. Ia menganggap bocah itu belum seharusnya menggunakan bokken untuk pertarungan yang sesungguhnya – di luar latihan. Bagaimanapun juga, bokken merupakan senjata mematikan yang dapat digunakan untuk membunuh jika digunakan oleh orang yang menguasai ilmu pedang.

Apa benar Bennosuke seperti itu? Dorin merasa ragu-ragu untuk menjawab. Setahuku, dia selalu melihat keadaan terlebih dahulu sebelum memutuskan apa yang akan dilakukannya. Tidak selalu menempuh jalan damai dan tidak selalu menggunakan kekerasaan. Anak itu bersikap fleksibel, menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapinya. Dalam peristiwa pertarungan dengan Madajiro, bocah itu pasti memahami tidak ada jalan lain selain dengan cara kekerasan. Madajiro bukanlah tipe orang yang bisa diajak berbicara baik-baik – kecuali jika ia diancam dengan hal yang ditakutinya. Dan Bennosuke menganggap menunjukkan dirinya sebagai anak seorang master pedang – sebelum bertarung, adalah tindakan yang menunjukkan tidak adanya kepercayaan diri dan sikap yang mengandalkan orang lain. Bisa dibilang Bennosuke menganggap hal itu sebagai sesuatu yang memalukan.

“Menghindari konflik maksudku menaklukkan musuh tanpa bertarung.” Munisai mengutip salah strategi pamungkas Sonshi – menang tanpa berperang. “Bukan melarikan diri dari arena pertarungan.”

Dorin jadi ingin tertawa mendengar Munisai mengatakan strategi tersebut. Ia teringat Bennosuke yang langsung berlari dengan kencang ketika ia menggunakan taktik itu – menyebut nama Munisai ketika bocah itu menantangnya bertarung. Apa yang dilakukannya ketika itu juga bisa disebut sebagai taktik meminjam belati untuk menghabisi lawan. Ia meminjam nama Munisai dan membuat Bennosuke kabur – mengambil langkah seribu. Sebenarnya Dorin tidak bermaksud menipu anak itu karena biksu memang tidak boleh berbohong, tetapi bagaimana jika ia hanya bercanda? Atau ia memang benar-benar memanggil Munisai, tetapi yang bersangkutan tidak mendengarnya?

“Jika Bennosuke terus berperilaku seperti ini, ketika dia beranjak dewasa, orang-orang akan mencarinya untuk menantangnya bertarung.” Munisai menceritakan kerisauannya. “Dia tidak akan bisa menikmati hidupnya dengan tenang. Anak seusianya seharusnya fokus pada bermain dan belajar.” Belajar yang dimaksud Munisai adalah menulis dan membaca.

Munisai berpikir, apa yang dilakukan anaknya saat ini, jika terus dilakukan hingga ia sudah beranjak dewasa – berumur tiga belas atau empat belas tahun, maka tindakan itu seperti mencari dan mengumpulkan musuh. Jika dia terus bertingkah seperti ini, sebentar saja jumlah musuhnya akan menyaingi jumlah orang-orang yang menantangku. Orang yang tidak mengenalnya pun akan mencarinya dan menantangnya untuk sekadar mencari nama ataupun untuk mendapatkan pengakuan. Bagaimana jika dia sampai terbunuh?

“Saat ini orang-orang memang belum menganggapnya serius karena ia masih kecil,” Munisai melanjutkan.

Dalam hal ini Dorin sependapat dengan apa yang dikatakan Munisai.

“Jika dia tinggal di kuil, dia akan aman. Seorang anak ketika bertumbuh, perkembangan karakternya dipengaruhi oleh lingkungan di mana dia tinggal. Jika seorang anak dibesarkan di daerah yang dekat dengan tempat pemakaman umum, maka dia akan mengikuti perilaku orang-orang yang berkunjung ke tempat itu, melakukan upacara, bersembahyang, dan sebagainya. Jika dia dibesarkan di daerah yang dekat dengan pasar, dia akan meniru tingkah laku pedagang di sana. Dan jika dia dibesarkan di rumah yang dekat dengan sekolah, dia akan meniru murid-murid sekolah itu belajar. Bukan begitu?”

Dorin menganggukkan kepalanya.

“Benar. Yang Anda maksudkan tentu kisah tentang ibu dari Moushi yang berpindah rumah sebanyak tiga kali demi anaknya. Ia menginginkan Moushi  mendapatkan pengaruh yang baik dari lingkungan tempat tinggalnya.”

Moushi (Mengzi) adalah Mencius – seorang filsuf terkenal di Chuugoku, ia merupakan seorang penganut ajaran Koushi dan dianggap sebagai penerus Koushi yang paling berbakat.  

Munisai mengangguk.

“Aku percaya kuil merupakan tempat yang aman bagi anak itu,” Munisai mengulangi perkataanya.

Ia kembali menyatakan keinginannya agar Bennosuke bisa dididik di kuil. “Mana ada orang yang datang ke kuil untuk menantangnya bertarung?” Munisai menambahkan – alasan yang terdengar masuk di akal.

Sebenarnya saat itu ada kelompok biksu yudhaka yang berlatih ilmu bela diri dan menggunakan berbagai macam senjata – dan mereka semuanya tinggal di kuil.

Dorin tidak bisa membaca apa yang ada di benak Munisai.

Seorang master pedang pikirannya memang tidak dapat diduga. Ketika ia menyerang pun, musuh tidak tahu kapan dan bagaimana serangan itu dilancarkan.

Apakah itu yang sebenarnya diinginkan Munisai? Dia ingin aku mengasuh dan membesarkan Bennosuke atau dia ingin Bennosuke dienyahkan secara halus?

“Jika dia berdiam sementara waktu di kuil dan melupakan latihan pedang, mungkin sikap dan cara berpikirnya akan lebih matang. Seandainya memang ia tetap berlatih pedang dan bertekad menjadi seorang pendekar pedang, aku tidak bisa melarang. Kuharap Anda pun tidak melarangnya. Biarlah nasib dan masa depan ditentukan oleh dirinya sendiri.”

Apa yang dikatakan Munisai sepertinya hal yang wajar, tetapi sementara waktu itu batasannya sampai kapan? Berapa lama? Setahun, dua tahun, atau hingga anak itu beranjak dewasa?

Dorin terdiam memikirkan apa yang akan diputuskannya ketika ia mendengar suara Munisai melanjutkan apa yang dikatakannya.

“Bennosuke boleh pergi dari rumah ini kapan pun dia mau,” kata Munisai. “Asalkan tidak lewat tahun ini.”

Bersambung

Bagian (20), (19), (18), (17), (16), (15), (14), (13), (12), (11) dan sebelumnya

#‎Tantangan100HariMenulisNovel

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun