Dorin menoleh ke arah asal suara tersebut.
“Oh, Munisai, silakan,” katanya mempersilakan Munisai duduk di salah satu batu pipih di sampingnya. Tumben. Dan panjang umur – baru dipikirkan, tiba-tiba muncul.
“Anda tahu kejadian yang melibatkan Bennosuke beberapa waktu yang lalu?” tanya Munisai yang kini sudah duduk di samping Dorin. Walaupun mereka berdua berkerabat, keduanya menggunakan bahasa formal ketika bercakap-cakap. Status Dorin sebagai seorang biksu dan Munisai – seorang samurai yang kini menjadi pelatih pedang, menempatkan keduanya dalam strata yang lebih tinggi dari masyarakat umum yang lain (seniman, petani, pedagang, dan lain-lain).
Dorin sepertinya tahu ke mana arah pertanyaan Munisai.
“Mengenai dua orang penjahat kampung itu?”
Munisai menganggukkan kepala.
‘Kukira kasusnya sudah selesai. Bukankah mereka berdua telah mendatangi Anda untuk meminta maaf?”
Sekali lagi Munisai mengangguk – kali ini sambil menghela napas sedikit.
“Ketika menemuiku, kedua orang itu terus membungkuk, seperti menyembah, di hadapanku sambil memohon maaf berulang-ulang.” Munisai berkata dengan suara berat seperti ada yang membebani pikirannya.
Semenjak mengalahkan Madajiro dan Fukube, dua orang bandit kampung itu, Bennosuke menjadi ‘terkenal’. Ia menjadi bahan pembicaraan warga desa selama berhari-hari. Walaupun demikian, tetap saja orang-orang selalu menghubungkan Bennosuke dengan dirinya.
“Dia itu anak Munisai.” Begitulah yang dikatakan orang-orang ketika menceritakan peristiwa pertarungan tersebut.