Hal yang diyakininya tidak disukai Bennosuke. Walaupun ia tidak begitu akrab dengan putranya, ia tahu Bennosuke memiliki kepercayaan diri yang kuat. Bocah itu bukan anak kecil yang cengeng dan tentunya tidak suka mengandalkan nama besar ayahnya.
“Aku sudah memeriksa tangan orang itu – Madajiro, maksudku. Jari-jari tangan kanannya bengkak semua tetapi tidak parah,” kata Munisai. “Persis seperti yang dikatakan Bennosuke kepada orang itu, kalau saja ia menggunakan mata pedang bokken-nya, tangan kanan orang itu mungkin sekarang sudah tidak bisa digunakan lagi. Tulang-tulang jari tangan orang itu bisa remuk dan tangannya menjadi cacat.”
Ekspresi wajah Munisai menunjukkan ia merasa lega. Seandainya saja Madajiro lebih cepat menyadari kemampuan Bennosuke …
“Seharusnya ia sudah harus langsung berhenti ketika ibu jarinya dihantam bokken Bennosuke,” ia menambahkan.
Dorin juga mengerti mengapa Bennosuke memilih untuk langsung menghantam ibu jari Madajiro. Anak itu tidak ingin berlama-lama bertarung. Ia ingin lawannya mengetahui kemampuannya menggunakan bokkendan segera menyerah.
Tetapi ia enggan berkomentar dan memilih menunggu mendengarkan penjelasan Munisai.
Munisai memerhatikan ekspresi wajah Dorin, seolah-olah ingin mengetahui apa yang ada di benak biksu itu.
“Jika seseorang tidak memiliki ibu jari atau ibu jarinya patah, bagaimana menurut Anda?” tanyanya.
“Tangan orang itu menjadi tidak berguna,” Dorin langsung menjawab. Ia memperlihatkan telapak tangannya yang terbuka dengan empat jari, sementara ibu jarinya ditekuk ke arah dalam. Dorin lalu menggerak-gerakkan keempat jari itu.
“Benar,” Munisai mengangguk setuju. “Orang itu tidak akan bisa memegang cawan atau piring, menggunakan sumpit, apa lagi memegang pedang – dengan benar. Seharusnya Madajiro memahami hal itu.”
“Dan tentunya ia harus menggunakan tangan kirinya untuk menggantikan fungsi tangan kanannya yang sudah ‘tidak memiliki’ ibu jari itu,” Dorin menambahkan.