Hah! Sudah kuduga, ia cuma asal omong saja. Anak ini cuma mengira-ngira saja.
“Sannosuke, Madaemon, Yanabe, Matachiro … “ Bennosuke menyebutkan sejumlah nama sambil menggunakan jarinya menghitung – empat orang, sebanyak jumlah jari dari telapak tangan yang dibukanya.
Siapa itu? Tak seorang pun dari yang disebutkan itu kukenal.
Tidak mengherankan sebenarnya. Dorin memang tidak mengenal satu pun murid Munisai. Ia tidak tertarik dengan praktik ilmu pedang ataupun seni bela diri lainnya. Kehadirannya di kediaman Munisai semata-mata untuk membimbing Bennosuke dalam berperilaku, serta mengajarinya membaca dan menulis.
“Kau sungguh-sungguh mampu mengalahkan mereka?” tanya Dorin – nada suaranya acuh tak acuh, tetapi menunjukkan kesan meragukan atau bahkan meremehkan.
“Ehm,” Bennosuke mengangguk mantap.
Dorin bersikap seolah-olah anak itu cuma sedang memongahkan dirinya saja.
“Akan kuperlihatkan,” katanya. Ia lalu bangkit berdiri.
“Eh?” si biksu terkejut.
“Sannosuke, dia lebih tinggi sejengkal daripadaku,” Bennosuke menaruh telapak tangan kanannya dengan jari-jari terbuka di atas kepalanya untuk menunjukkan tinggi badan Sannosuke.
“Dia biasanya menunggu lawan menyerangnya terlebih dahulu. Ketika diserang, dia selalu menghindar dengan melangkah mundur,” Bennosuke – memposisikan dirinya sebagai lawan Sannosuke, bergerak maju mengayunkan ranting kayu itu ke depan. Ia mencontohkan gerakan menyerang lurus ke depan. “Seperti ini.”