Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Musashi: The Journey of A Warrior & The Book of Five Rings (11)

5 April 2016   21:40 Diperbarui: 2 Juni 2016   20:46 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Ah, Bennosuke, tidak berlatih pedang hari ini?” tanya Dorin. Bocah yang sedang sibuk memahat sebatang ranting itu menengok ke arah orang yang memanggilnya itu, lalu menggelengkan kepalanya.

Tumben.

Selama beberapa hari, Dorin memerhatikan bocah itu tekun berlatih dengan bokken-nya, tetapi hari ini Bennosuke tampaknya tidak berniat melakukan latihan yang menjadi kerutinannya itu.

“Kenapa?” tanya Dorin lagi sambil ikutan duduk di samping Bennosuke. Mereka berdua duduk di batu-batu berbentuk pipih yang banyak terdapat di pekarangan rumah Munisai.

“Ini,” Bennosuke memperlihatkan telapak tangannya. Kedua telapak tangan itu tampak dipenuhi bilur hingga ke jari-jemarinya.

“Aku terlalu banyak berlatih mengayunkan pedang,” katanya. “Padahal belum sampai sejuta kali.”

Bennosuke tersenyum dan mentertawakan dirinya sendiri. Dia tentu ingat apa yang dikatakan Dorin, sejuta kali itu hanyalah perumpamaan. Suatu pengandaian mengenai kekuatan tekad untuk mencapai kesempurnaan, di dalam mengerjakan sesuatu hal – apa pun itu, perlu latihan yang keras, dijalankan semaksimal dan sesering mungkin.

Anak ini terlalu banyak berlatih.

“Kalau sudah lecet-lecet begini, kamu tentunya sudah tidak bisa lagi memegang bokken-mu dengan benar.” Dorin turut merasa prihatin. Pastinya telapak tangan anak ini terasa sakit sekali.

“Bisa, kok,” dengan tangan kirinya Bennosuke mengangkat ranting yang sedang dipahatnya itu tinggi-tinggi – bagaikan mengangkat sebilah pedang.

“Eh?” Dorin terkejut. “Memangnya tanganmu tidak sakit?”

“Sedikit, tapi tidak kurasakan,” jawab si bocah – enteng. Walaupun bibirnya tersenyum, wajahnya terlihat serius, dan matanya bersinar tajam. “Aku berhenti latihan mengayunkan pedang karena kalau kuteruskan tanganku akan cedera.”

Memangnya bilur-bilur sebegitu belum cedera? Dorin memandang bocah itu – memerhatikan ekspresi wajahnya. Tidak ada tanda-tanda Bennosuke menahan sakit ketika tangannya mengangkat ranting itu tinggi-tinggi.

Ia benar-benar tidak merasakan luka-luka di telapak tangannya itu.

“Aku kan harus bersiap-siap, aku tidak boleh berlatih terlalu keras hingga tanganku cedera. Bagaimana kalau aku betul-betul mengalami cedera dan tidak bisa menggunakan pedangku, tiba-tiba musuh datang menyerang?”

Dia lalu mengayunkan ranting itu menghantam batang sebuah pohon.

“PRAK!” terdengar suara hantaman yang keras.

Dorin sedikit memundurkan badannya.

Tenaga anak ini kuat juga!

“Saat ini aku masih bisa membela diriku kalau diserang.” Bennosuke tersenyum. Ia tampak percaya diri kalau ia masih mampu mengayunkan ranting itu dengan kekuatan penuh. Luka-luka di tangannya betul-betul tidak memengaruhi kekuatan genggaman tangannya.

Setelah itu ia kembali melanjutkan pekerjaannya mengupas dan meluruskan ranting itu.

Ranting itu sudah mulai terbentuk seperti sebatang tongkat – lurus dan sedikit pipih. Ia sedang membuat sebuah bokken. Selama ini bokken yang dibuatnya tidak benar-benar pipih. Sepertinya tidak mudah bagi bocah seusianya membuat sebuah bokken yang cukup baik untuk digunakan berlatih pedang. Tetapi Bennosuke tidak berharap terlalu muluk – asalkan bentuknya lurus dan panjangnya memadai, serta tidak terlalu berat, bokken buatannya sudah memadai untuk digunakan berlatih pedang.

Dibandingkan pedang sungguhan, bokken memang lebih lurus sehingga mata pedangnya menjadi lebih panjang.

Nobutsuna juga menggunakan semacam pedang dari bambu yang dilapisi kulit sapi atau kuda – yang disebut fukuro shinai, untuk berlatih. Bentuknya tidak seperti pedang, tidak pipih, tetapi bisa digunakan untuk latihan bertarung tanpa khawatir akan melukai atau mencederai lawan berlatih.  

“Ini yang keberapa?” tanya Dorin.

“Kelima,” jawab Bennosuke. “Yang lainnya sudah hancur, patah, karena kugunakan untuk menghantam pohon-pohon di hutan.”

“Tentu saja bokken yang pipih itu tidak mungkin bisa mematahkan batang pohon yang jelas-jelas lebih tebal dan kuat,” ujar Dorin.

Bennosuke sepertinya tidak mendengarkan ucapan pamannya itu. Ia terus memahat, mengupas, dan menipiskan kayu itu dengan sebilah belati berukuran kecil.

“Latihanku sudah mulai menampakkan hasilnya. Ayunan pedangku semakin cepat dan kuat.” Bennosuke tampak penuh percaya diri ketika mengatakan hal itu.

“Paman harus melihatku berlatih di hutan.”

Dorin menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tidak, tidak perlu.”

Bennosuke menoleh ke arah pamannya. Ia terlihat sedikit kecewa.

“Memangnya sudah berapa lawan yang kaukalahkan?” tanya Dorin asal saja – sebenarnya dia bertanya untuk mengalihkan pembicaraan saja lantaran dia  malas diminta menonton latihan pedang keponakannya itu.

Bennosuke berhenti memahat. Dia terlihat seperti berpikir.

“Kurasa empat atau lima orang,” jawabnya kemudian.

“Eh?” Dorin terkejut.

Dia sudah mengalahkan empat-lima orang?

Dia membayangkan anak kecil itu memukuli anak lain dengan bokken-nya itu – bokken yang sudah hancur empat batang.

Jangan-jangan dia menggunakan bokken-nya untuk memukuli anak-anak, bukannya memukuli pohon di hutan.

“Kamu memukuli anak orang, Bennosuke? Anaknya siapa?” tanya Dorin sambil tangannya mengguncang-guncang bahu Bennosuke. Biksu itu terdengar seperti menahan amarah.

Capek-capek aku mengajarinya melatih diri, bersabar, dan bermeditasi, eh anak ini malah berkelahi dengan anak-anak lain!

Bennosuke melongo mendengar pertanyaan Dorin. Ia menatap Dorin dengan bingung.

“Apa maksud Paman?” tanyanya. “Aku tidak memukuli siapapun.”

Wajahnya menunjukkan kalau dia memang tidak berbuat seperti yang diduga Dorin.

Dorin menatap lurus ke arah Bennosuke. Dia memerhatikan ekspresi wajah bocah itu serta tatapan matanya.

Anak ini tidak berbohong.

Dorin jadi merasa tidak enak hati karena terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Ya, siapapun akan berpikiran seperti itu kalau melihat tampang anak ini. Romannya seperti anak bengal dan tatapan matanya tajam menakutkan seperti bandit atau penjahat. Eh, bukan, seperti Munisai yang sangar.

“Lalu, empat-lima orang itu siapa?” tanya Dorin lagi – kembali ke persoalan semula.

“Oh, itu …” sahut Bennosuke – seperti acuh tak acuh. “Mereka murid-murid Ayah.”

Apa? Dia bisa memukuli murid-murid Munisai? Yang benar saja?

Antara percaya dan tidak – tetapi Dorin sepertinya menjadi bingung sendiri menghadapi Bennosuke dan segala hal yang ada di pikiran bocah itu.

“Menurutku, sih …” kata Bennosuke lagi.

Dorin langsung merasa lega.

Hah! Sudah kuduga, ia cuma asal omong saja. Anak ini cuma mengira-ngira saja.

“Sannosuke, Madaemon, Yanabe, Matachiro … “ Bennosuke menyebutkan sejumlah nama sambil menggunakan jarinya menghitung – empat orang, sebanyak jumlah jari dari telapak tangan yang dibukanya.

Siapa itu?  Tak seorang pun dari yang disebutkan itu kukenal.

Tidak mengherankan sebenarnya. Dorin memang tidak mengenal satu pun murid Munisai. Ia tidak tertarik dengan praktik ilmu pedang ataupun seni bela diri lainnya. Kehadirannya di kediaman Munisai semata-mata untuk membimbing Bennosuke dalam berperilaku, serta mengajarinya membaca dan menulis.

“Kau sungguh-sungguh mampu mengalahkan mereka?” tanya Dorin – nada suaranya acuh tak acuh, tetapi menunjukkan kesan meragukan atau bahkan meremehkan.

“Ehm,” Bennosuke mengangguk mantap.

Dorin bersikap seolah-olah anak itu cuma sedang memongahkan dirinya saja.

“Akan kuperlihatkan,” katanya. Ia lalu bangkit berdiri.

“Eh?” si biksu terkejut.

“Sannosuke, dia lebih tinggi sejengkal daripadaku,” Bennosuke menaruh telapak tangan kanannya dengan jari-jari terbuka di atas kepalanya untuk menunjukkan tinggi badan Sannosuke.

“Dia biasanya menunggu lawan menyerangnya terlebih dahulu. Ketika diserang, dia selalu menghindar dengan melangkah mundur,” Bennosuke – memposisikan dirinya sebagai lawan Sannosuke, bergerak maju mengayunkan ranting kayu itu ke depan. Ia mencontohkan gerakan menyerang lurus ke depan. “Seperti ini.”

Bennosuke lalu mengarahkan ranting itu, menunjuk ke sisi kanannya. “Lalu Sannosuke akan bergerak ke samping kirinya untuk kemudian balas menyerang.”

Dorin terus memerhatikan.

“Tetapi, kalau ketika ia mundur aku terus maju, mengejarnya, dan mengayunkan pedangku seperti ini.” Bennosuke bergerak ke kiri – berlawanan dengan arah gerak Sannosuke, lalu mengayunkan pedangnya dengan cepat ke posisi di mana Sannosuke seolah-olah berada. “Dia akan kalah.”

Dorin terperanjat. Ia mengakui gerakan Bennosuke betul-betul cepat dan ayunan tangannya kuat.

“Tetapi bagaimana kalau ia bergerak ke samping kirimu dan bukannya ke kananmu?” tanya Dorin.

Bennosuke menghentikan gerakannya dan menghampiri Dorin. Ia lalu berjongkok di hadapan biksu itu dan mengambil serpihan ranting yang ukurannya lebih kecil sedikit dari sebuah sumpit. Ia  menggunakan serpihan ranting itu untuk menggores tanah, menggambarkan posisi dua orang yang sedang bertarung itu.

“Sannosuke,” katanya sambil menggambarkan sebuah tanda silang.

“Bennosuke,” katanya lagi sembari menggambarkan tanda silang yang lain di hadapan tanda silang yang pertama.

“Bennosuke maju menyerang,” Bennosuke menggambarkan garis lurus dari tanda silang kedua menuju tanda silang pertama. “Sannosuke mundur untuk menghindari serangan Bennosuke.”

Bocah itu terus menggambar garis-garis di antara kedua tanda silang itu. Ke kiri atau ke kanan gerak mundur Sannosuke, tanda silang yang merepresentasikan Bennosuke terus  mengejarnya.

“Dari mana kamu bisa menduga kalau ia akan mundur ke kiri atau ke kanan?” tanya Dorin.

“Ia kuarahkan,” jawab bocah itu tersenyum. “Jika kubuat seolah-olah bagian kiriku terbuka dan bisa diserang, Sannosuke akan bergerak ke kanan untuk menyerang dari sisi kiriku. Begitu juga sebaliknya.”

Dia memancing lawan menyerang bagian yang dibiarkannya terbuka.

“Sonshi?” tanya Dorin – nada suaranya terdengar sedikit bergetar.

Bocah ini mengaplikasikan seni perang Sonshi!

Bennosuke mengangguk dan tersenyum.

“Jika kau kuat, berbuatlah seolah-olah kau lemah. Jika kau lemah, bersikaplah seolah-olah kau kuat.”

Jadi bocah ini bermaksud menggiring lawannya menyerang sisi tubuhnya yang seolah-olah tidak terjaga itu.

“Bennosuke, Sonshi itu menulis kitab Seni Perang sebagai panduan bagi para komandan dan panglima militer untuk mengatur siasat ketika berperang ...”

Dorin bermaksud mengatakan Seni Perang Sonshi lebih efektif digunakan untuk berperang bukan untuk bertarung.

“Mengalahkan seorang musuh atau sepuluh ribu musuh, caranya sama saja kan?” bocah itu memotong kata-kata Dorin. “Yang beda hanya sumber daya yang digunakan.”

“Kamu bisa membuktikan kata-katamu?” tanya Dorin.

“Maksud Paman?” tanya Bennosuke. Ia merasa bingung dengan maksud dari kata-kata ‘membuktikan’ itu. Bukankah barusan sudah kugambarkan dengan jelas?

Tanpa sengaja tangan bocah itu menunjuk skema pertarungan yang barusan digambarnya di tanah.

“Kau berani menghadapi Sannosuke?” tanya Dorin lagi sambil menatap tajam bocah itu. Dia sepertinya tidak melihat gambar di tanah yang ditunjuk Bennosuke. “Itu pembuktian yang kumaksud.”

Bennosuke menggelengkan kepalanya.

“Itu tidak mungkin,” katanya. “Ayah akan menghajarku.”

Bagus! Kalau anak ini benar-benar menantang Sannosuke, Munisai pasti melabrakku – bukan cuma menghajarnya.

Dorin tersenyum. “Lalu bagaimana aku bisa memercayai kata-katamu dan caramu mengalahkan Sannosuke?” Biksu itu sebenarnya hanya bermaksud menguji keyakinan Bennosuke.

Bennosuke kembali berdiri.

“Kumohon Paman mau memerhatikan apa yang kuperagakan,” katanya sambil menundukkan kepala.

Ia lalu berjalan beberapa langkah ke depan.

“Aku akan bergerak maju menyerang,” katanya. Begitu selesai berucap, Bennosuke sudah langsung maju ke depan sambil mengayunkan ranting di tangannya.

Dorin memerhatikan. Diam-diam ia kembali terkejut melihat kecepatan gerakan Bennosuke.

Gerakannya lebih cepat dari sebelumnya!

Bennosuke sedikit memiringkan tubuhnya ke kiri, membiarkan pundak kanannya terbuka.

Ia memancing lawan menyerang dari sisi kanannya!

Kurang dari sedetik kemudian Bennosuke sudah berpindah tempat sekitar dua langkah dari posisi ia terakhir berdiri. Dan ia sudah berada di sisi kanan – menghadap lawannya yang diperkirakan berada di posisi tersebut.

Dorin tercengang. Kapan berpindahnya anak ini?

Gerakan Bennosuke sepertinya bertambah cepat dan terus-menerus membuat Dorin terkejut.

Dia mengakui jika melihat jarak yang ditempuh Bennosuke itu, sekitar lima kaki dalam waktu satu detik, kemungkinan besar lawannya memang sudah terkena serangan bocah itu.

Bennosuke lalu berbalik menghadap pamannya.

“Kalau kubiarkan sisi kiriku yang terbuka, ia akan menyerangku di bagian itu.”

Anak ini sudah berhasil melatih gerakan langkahnya. Pengamatannya terhadap pertarungan yang dilakukan Munisai selama ini rupanya tidak sia-sia.

Bennosuke sudah memerhatikan puluhan kali pertarungan antara Munisai dan para penantangnya. Ia juga sungguh-sungguh memerhatikan bagaimana Munisai melangkah dengan cepat, menggerakkan kakinya maju ke depan, mundur selangkah, memutari lawannya, ataupun melompat dengan cepat ke sisi lain – kiri ataupun kanan.

Selama berbulan-bulan Bennosuke melatih kecepatan gerak kakinya, bergerak maju-mundur, menyamping, melompat, dan sebagainya – meniru gerakan kaki Munisai.

Kelincahan dan kecepatan gerak kaki Bennosuke betul-betul membuat Dorin terperangah.

Dan anak ini baru berumur delapan tahun …

Bennosuke lalu kembali duduk bersila di hadapan Dorin. Ia terus menjabarkan hal-hal yang diketahuinya tentang “musuh-musuh”nya itu.

“Madaemon selalu menyerang lebih dulu. Serangan andalannya adalah menebas dari kanan atas ke kiri bawah.” Bennosuke menjelaskan. “Sebelum menyerang, dia akan melangkah maju dengan kaki kanan diangkat seperti hendak melompat.”

Bennosuke menggambarkan posisi Madaemon di tanah – sama seperti ketika ia menggambarkan posisi Sannosuke.

“Biasanya lawan akan menghindar – mundur ke belakang.”

Ia menggambarkan garis lurus – dari posisi awal Madaemon, maju ke depan.

“Tetapi, kalau lawannya bergerak seperti ini, Madaemon akan kalah.”

Tanda silang – yang mewakili lawan Madaemon, digambarkan Bennosuke tidak mundur ke belakang, melainkan bergerak ke sisi kanan Madaemon.

“Itu semua kan teori, Bennosuke,” kata Dorin seperti memprotes. Jelas sekali ia menganggap Bennosuke terlalu yakin dengan apa yang sedang diperagakannya itu.

“Tidak,” kata si bocah. “Paman bisa melihat gerakan pedang Madaemon ke sisi kanannya itu begitu lambat.”

Bennosuke berdiri lagi, lalu melakukan gerakan seperti yang dikatakannya.

“Begitu lawannya bergerak ke samping kanannya, Madaemon terpaksa harus menarik pedangnya dulu sebelum bisa diayunkan lagi ke sisi kanan.”

Itulah salah satu kelemahan memegang pedang dengan dua tangan. Jika ia memegang pedang dengan satu tangan, ia bahkan tidak perlu memutar badannya ke kanan, cukup tangan kanannya saja yang diayunkan ke sisi tersebut – mengejar, mengikuti gerakan lawan.

Ia memperagakan gerakan menarik pedang lalu memutar badannya menghadap ke sisi kanan.

“Jika lawan bisa memanfaatkan waktu yang singkat itu, Madaemon akan kalah.”

Dorin terdiam. Dia tahu Bennosuke sering memerhatikan murid-murid Munisai berlatih tanding.

Kenapa hanya empat orang itu yang dibahas? Apa cuma mereka yang dia kenal?

“Yanabe,” kata bocah itu melanjutkan.

“Sebentar, Bennosuke,” Dorin memotong perkataan bocah itu. “Kenapa cuma empat orang itu yang kamu bahas?”

“Oh, karena kupikir aku bisa mengalahkan mereka,” jawab Bennosuke setelah berpikir sejenak.

“Maksudmu, dari sekian banyak murid ayahmu, mereka berempat yang paling lemah?” tanya Dorin lagi.

Bennosuke menggelengkan kepalanya.

“Tidak. Yang lebih lemah dari mereka banyak,” katanya perlahan. “Hanya saja … aku sepertinya melihat keempat orang itu memiliki kelemahan yang mencolok. Mereka kuat tetapi sekaligus lemah. Kuat dalam hal tenaga, lemah dalam hal teknik dan kecepatan. Tetapi aku juga tidak mengerti mengapa murid-murid yang lain kebanyakan tidak mampu mengalahkan mereka?”

Dorin terus menyimak.

“Aku tidak bermaksud mengatakan kalau teknik berpedangku lebih baik dari keempat orang itu, tetapi aku yakin analisisku tepat. Aku tahu cara menghadapi mereka. Kecepatan gerakanku juga mampu menyaingi kecepatan gerakan mereka. Kalau membandingkan kekuatan ayunan pedang, tentunya tenaga mereka lebih kuat dari tenagaku.”

Lagak bicaranya seperti orang dewasa saja.

Selama ini Bennosuke memang lebih sering mengikuti dan menyimak pembicaraan orang dewasa. Dorin pun sering kali menggunakan kata-kata yang rumit ketika membahas tentang kisah kepahlawanan di Chuugoku, menerangkan tentang ajaran Koushi, menjelaskan seni perang Sonshi, dan lain sebagainya. Tidak mengherankan bocah itu menjadi terbiasa menggunakan kata-kata yang terdengar formal ketika ia berbicara. Bennosuke tidak merasa ada yang aneh ketika ia mengatakan hal-hal seperti itu. Dari apa yang didengarnya, banyak tokoh terkemuka di Chuugoku sudah memperlihatkan bakat dan kepandaian mereka di usia yang kurang lebih sama dengan usianya saat ini.

Sousou (Cao Cao), salah seorang penguasa dalam Sangoku Engi, memiliki seorang putra yang sangat cerdas, bernama Souchuu (Cao Chong). Kecerdasan Souchuu sudah terlihat semenjak ia masih anak-anak. Dikisahkan Sousou menerima pemberian seekor gajah dari Sonken (Sun Quan) – seorang panglima perang wilayah selatan. Sousou ingin mengetahui berapa berat binatang yang sangat besar itu. Tetapi tak seorang pun pejabat yang tahu bagaimana cara menimbang gajah itu. Souchuu kemudian menyarankan agar gajah tersebut ditempatkan di sebuah kapal, kemudian di bagian lambung kapal yang terbenam itu diberi tanda. Setelah itu gajah tersebut dipindahkan ke daratan dan kapal dimuati dengan beban yang terukur hingga bagian lambung kapal terbenam persis di bagian yang sebelumnya diberi tanda. Dengan demikian berat gajah tersebut dapat diketahui. Sousou begitu gembira mendengar apa yang dikatakan putranya itu. Ia memuji kecerdasan putranya di hadapan para pejabat yang tidak bisa menemukan cara untuk menimbang gajah itu.

Cerita tentang anak-anak yang cerdas dan berbakat tentu menginspirasi Bennosuke. Tetapi ia tidak pernah menganggap dirinya memiliki kecakapan atau talenta seperti anak-anak tersebut. Ia lebih memilih berlatih ilmu pedang ketimbang belajar sejarah.

Walaupun Bennosuke berkata dengan penuh percaya diri, tidak terdengar kesombongan dalam nada bicaranya. Ia berkata apa adanya berdasarkan pandangannya yang objektif. Ia tidak menganggap kemampuannya menang atas lawan karena tekniknya lebih baik dari mereka. Ia merasa kemampuannya masih jauh dari sempurna. Logika berpikir yang sederhana dari seorang bocah, tanpa prasangka, tanpa keinginan untuk dianggap hebat, tetapi semata-mata hanya untuk membuktikan kemampuannya dan apa yang diyakininya.

“Nanti sore, aku mau melihat latihan pedang murid-murid Ayah,” kata Bennosuke.

Lalu ia membungkukkan badannya sedikit. “Kuharap Paman bersedia menemaniku melihat latihan mereka.”

Bersambung

Bagian (20), (19), (18), (17), (16), (15), (14), (13), (12), (11) dan sebelumnya

#‎Tantangan100HariMenulisNovel

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun