Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Masih Ada Cinta #9 : Tears

30 April 2015   13:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:31 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1430375185475465162

Cerita Sebelumnya :

Angga berkenalan dengan seorang gadis bernama Rena, anak sang pemilik rumah tempat kakaknya ngekos.  Sementara itu di Rumah Sakit, Rei masih harus berjuang meski dokter mengatakan bahwa masa kritisnya sudah lewat.  Dalam perjuangannya untuk kembali, dirinya yang sedang berjalan dalam kegelapan menemukan satu gumpalan cahaya yang menjauh setiap kali didekati.  Dalam kebingungannya, terdengar suara-suara yang memintanya bernafas dengan tenang.  Berhasilkah Rei kembali?  Akankah ia siuman?

CHAPTER 9

Gumpalan cahaya itu bergerak maju.  Rei memejamkan mata dan terus bernafas dengan tenang hingga seluruh tubuhnya diselimuti cahaya menyilaukan tersebut.

Ayo, Rei,” terdengar suara mamanya entah dari mana.  “Teruslah bernafas.  Tenang, Rei.  Kamu bisa.  Ayo, sayang.

Kamu bisa, Rei,” kali ini terdengar suara Nay.  "Ayo, Rei.  Ayo!"

Rei terus bernafas dengan tenang.

Bernafaslah.

Tenanglah.

Ayo.

Biarkan gumpalan cahaya itu menyelimutiku.

Rei tak tahu berapa lama ia melakukan hal itu, yang jelas ia mulai merasakan adanya hawa hangat yang menjalari seluruh tubuhnya dimulai dari kaki.  Seiring rasa hangat tersebut, ia mulai tahu bahwa sebenarnya sedari tadi ia sedang berbaring.  Seluruh indera perasa di tubuhnya mulai bekerja.

Rasa hangat itu terus naik, naik, dan naik sementara intensitas gumpalan cahaya itu sedikit demi sedikit berkurang.

Kemudian semua kembali gelap.  Rei tersentak.

Ke mana semua cahaya tadi?

“Ayo, Rei.  Kamu bisa.”

Suara ini?

"Bangun, sayang."

Telinganya menangkap suara-suara yang sangat dikenalnya.

Aku...

Aku kembali?

Aku belum mati?

Pemuda tersebut membuka matanya.  Perlahan.

“Rei!” telinganya mendengar pekikan lirih.

Yang pertama dilihat Rei adalah wajah mamanya, wajah yang menampakkan kelelahan sekaligus kebahagiaan.

“Mam?” ujar Rei lirih.

“Rei, kamu… kamu sudah siuman,” ucap mamanya.  “Lana, Rei sudah sadar.”

Lana?

Dia di sini?

Beneran di sini?

Dengan susah payah Rei berusaha bangkit namun sepasang tangan lembut mencegahnya.

“Rei,” ucap si pemilik tangan.

Lana!

“Aku di sini,” lanjut Nay.  “Kamu baru sadar, jangan maksain diri.”

“Lana…”

Kesadaran Rei kini pulih sepenuhnya.

“Mam.  Lana,” ucapnya.

Mamanya memeluknya, melepas semua kecemasan yang selama ini ditahannya.

“Maafkan Rei, Ma,” ucap pemuda tersebut.

“Sstt sudahlah,” ujar mamanya.  “Kamu sekarang baik-baik aja, itu yang terpenting buat Mama”

Dilihatnya Nay yang tersenyum padanya, wajah gadis itu terlihat seperti habis menangis.

“Makasih, Lana,” ucap Rei lirih.

Dan mata gadis itu kembali mengeluarkan airmata sementara jemarinya menggenggam tangan Rei.

* * *

Angga baru mengunci pintu kamar kakaknya dan bermaksud keluar mencari makanan saat dirinya berpapasan dengan Rena.  Gadis itu mengangguk dan tersenyum tipis pada Angga yang segera dibalas oleh pemuda tersebut.

“Mau ke mana?” sapa Rena kemudian.  Ramah.

Mereka berdua kini jalan berdampingan.

“Mau ke depan cari makanan,” sahut Angga.

Ternyata dia nggak segalak itu...

Tanpa sadar Angga meringis mengingat betapa galaknya Rena sebelumnya.

“Kebetulan!” seru Rena.  “Aku juga lapar.  Ada rencana mau makan apa?”

Angga mengangkat bahu,

“Aku nggak tau, ya tergantung apa yang ada aja,” lanjutnya.

“Kalo gitu kamu ikut aku,” ujar Rena, “aku tau tempat makan yang rekomended di sekitar sini.”

“Oya?” tanya Angga, “Beneran?”

“Pasti!” Rena tersenyum.  “Yuk!”

* * *

Nay membaca satu demi satu pesan dari Angga.  Setelah tau bahwa Rei baik-baik saja, ia merasa tenang sekaligus menyesal karena mengabaikan pacarnya beberapa hari belakangan ini.

Oh, Angga nginep di rumah kakaknya.

Maaf, kemarin aku agak nyuekin kamu.

Ibu jarinya kemudian menyentuh tombol panggilan.

* * *

“Kenapa?” tanya Rena.  “Ada yang ketinggalan?”

“Handphone-ku…,” jawab Angga sembari tangannya terus menelusuri seluruh kantong celananya, “…sepertinya aku nggak bawa handphone.”

“Mau balik dulu atau gimana?” tanya Rena lagi.

“Nggak usahlah,” sahut Angga.  “Urusan perut lebih penting.  Tapi kalo dompet yang ketinggalan, ya kita harus balik lagi.”

Keduanya tertawa.

* * *

Sekali lagi, pikir Nay saat menekan tombol panggil untuk yang ke sekian kalinya.  Ditempelkannya ponselnya ke telinga, namun yang terdengar di seberang sana hanya nada panggil.

Nay mendesah – kecewa.

Ia lalu mematikan ponselnya dan kembali memasuki kamar tempat Rei dirawat.

* * *

“Kita duduk di sana!” seru Rena.  “Masih ada tempat kosong!”

Tanpa sadar, gadis itu menggamit lengan Angga dan menarik pemuda tersebut agar mengikuti langkahnya.

“Nah,” tukas Rena setelah mereka berdua berhasil mendapatkan tempat duduk, “kita liat daftar menunya.”

Rasanya aku pernah liat Angga, pikir Rena.

Tapi… masa’ sih?

Aku 'kan baru kali ini ngeliat dia...

Lewat ekor matanya, gadis itu menatap Angga dan berusaha mengingat di mana ia pernah melihat pemuda tersebut.

* * *

Nay menghampiri Rei yang saat ini duduk di tempat tidurnya.

”Gimana kondisimu sekarang?” tanyanya.

"Overall baik, cuma masih agak pusing aja," jawab Rei.

"Mau minum?"

Mendengar ucapan Nay barusan, Rei hanya menggeleng pelan.  Ia memperbaiki posisi duduknya yang sedikit merosot.

"Hati-hati," ucap Nay seraya membantu Rei.

"Makasih, Lana," ujar Rei lirih.

Nay tersenyum.

Rei memandang wajah Nay lekat dan ini membuat gadis itu tersipu.

"Rei, kamu ngapain ngeliatin aku segitunya?"

Pemuda yang usianya 2 tahun lebih tua dari Nay itu tersenyum,

"Makasih ya," katanya.  "Kalo nggak ada kamu sama Mama, mungkin aku nggak di sini ngeliat kamu dan denger suara kamu."

"Lebay kamu," Nay tertawa kecil.

"Aku serius," sergah Rei.  Ia kemudian bercerita tentang kegelapan yang menyelimutinya, tentang gumpalan cahaya yang menjauhinya, hingga suara-suara yang menyuruhnya bernafas dengan tenang.

Nay hanya mendengarkan dengan seksama.

"Dan, itu suara kamu sama Mama," pungkas Rei.  "Kalo aku nggak denger suara kamu, aku pasti nggak tau apa yang harus kulakukan."

Rei kembali memandang wajah Nay.

"Makasih, ya," ujarnya lagi.

Lagi-lagi gadis cantik berambut panjang itu tertawa kecil,

"Iyaaa, mau berapa kali lagi kamu ngucapin terimakasih?  Orang aku cuma manggil-manggil kamu, kok.  Aku, mama, sama adikmu kuatir sama kamu."

"Yah, maaf aku kalo sudah bikin kalian semua kuatir," tukas Rei.

Pada saat itu ia akhirnya menyadari bahwa mata Nay terlihat sembab.

"Matamu sembab, Lana.  Kamu habis nangis?" tanyanya.

Nay tersipu.

"Semuanya kali yang nangis.  Bukan aku aja," jawabnya.  "Cepet sehat, ya," lanjutnya sembari menggenggam tangan Rei.

Genggaman tangan Nay membuat Rei merasa nyaman.  Ia pun membalas genggaman itu.

"Lana," panggilnya.

Kembali ditatapnya wajah Nay yang juga memandangnya.

"Ya?"

Rei tak langsung menjawab pertanyaan Nay barusan.

Haruskah aku mengatakannya?

Sekarang?

Apa waktunya tepat?

Rei mendadak bimbang.  Sebaris kalimat yang ingin diucapkannya mendadak tertahan.  Saat ini yang bisa dilakukannya hanya diam.

Suasana hening.

Nay dan Rei bertatapan dalam diam.

Kemudian entah kenapa, Nay merasa darahnya berdesir dan jantungnya berdegup kencang.  Entah kenapa ia mempunyai firasat bahwa pemuda di hadapannya ini akan mengucapkan satu hal yang tak diduganya.

Dan firasatnya terbukti.

Keheningan itu akhirnya pecah.

"Lana," ucap Rei, "sejujurnya... aku suka kamu."

Deg!

"Aku suka kamu, Lana.  Aku suka kamu dari dasar hatiku yang terdalam."

Rei memandang Lana.

"Jadilah pacarku."

Nay terpana.

Ia sungguh tak menyangka Rei akan mengucapkan kalimat seperti itu.

Rei...

Aku...

Angga...

Angga!

Jemarinya masih menggenggam tangan Rei.

(Bersambung)

Di Rumah Sakit, Rei akhirnya menyatakan perasaan cintanya pada Nay.  Apa yang akan dilakukan Nay?  Menerima atau menolak?  Bagaimana hubungannya dengan Angga?  Sementara itu, Rena merasa pernah melihat Angga sebelumnya, tapi di mana?  Apakah perasaan Rena benar?  Ikuti "Masih Ada Cinta" chapter berikutnya!

“Masih Ada Cinta”, terbit seminggu sekali setiap hari Kamis…

Masih Ada Cinta #10 : Setitik Keraguan |   Masih Ada Cinta #1 : Kembali ke Kotaku

Sumber gambar : puckermob.com
Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun