Mandela menyadari bahwa dendam hanya akan menciptakan siklus kekerasan yang tak berujung. Dalam pidatonya setelah dibebaskan, ia menegaskan:
"Saat saya berjalan keluar menuju gerbang penjara, saya tahu bahwa jika saya tidak meninggalkan kepahitan dan kebencian saya di belakang, maka saya masih tetap terpenjara."
Sikap ini tidak hanya mencerminkan kebesaran jiwanya tetapi juga strategi politik yang cerdas. Afrika Selatan, yang selama puluhan tahun berada dalam sistem segregasi brutal, sangat rentan terhadap perang saudara antara mayoritas kulit hitam dan minoritas kulit putih yang selama ini memegang kekuasaan. Jika Mandela memilih jalur konfrontasi, negara itu bisa jatuh dalam kekacauan seperti yang terjadi di beberapa negara lain pasca-rezim otoriter.
Paus Yohanes Paulus II pernah mengomentari pendekatan Mandela ini dengan mengatakan:
“Pengampunan bukanlah tanda kelemahan, melainkan ekspresi keberanian dan kekuatan sejati.”
Mandela memahami bahwa perdamaian hanya bisa dicapai dengan mengatasi kebencian, bukan memperpanjangnya.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Salah satu langkah konkret Mandela untuk mencegah perpecahan adalah mendirikan Truth and Reconciliation Commission (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) pada 1995. Alih-alih memburu dan menghukum semua pejabat rezim apartheid, Mandela mendukung gagasan Desmond Tutu untuk memberikan kesempatan kepada pelaku kejahatan apartheid mengakui kesalahannya di hadapan publik dan meminta pengampunan.
Dalam sesi-sesi pengakuan ini, banyak korban apartheid yang berhadapan langsung dengan orang-orang yang dulu menyiksa mereka. Proses ini sulit dan menyakitkan, tetapi menjadi fondasi bagi rekonsiliasi nasional. Desmond Tutu, yang memimpin komisi ini, berkata:
“Tidak ada masa depan tanpa pengampunan.”
Pendekatan ini mendapat pujian luas dari berbagai pemimpin dunia, termasuk mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, yang menyebutnya sebagai "salah satu eksperimen paling berani dalam keadilan transisi."