Mohon tunggu...
Seca Faleesha
Seca Faleesha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Program pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia

Nim: 190402080005

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kucin(g)ta Padamu

10 Juni 2021   09:04 Diperbarui: 10 Juni 2021   09:14 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gadis dengan rambut panjang terkepang dua itu makin mempercepat langkah kaki jenjangnya. Suara deru klakson kendaraan bermesin berpacu dengan suara nafas gadis yang nampak lelah setengah mati. 

Seolah baru saja membangun candi dalam waktu satu malam. Keringat mengalir bebas di wajah gadis berkulit kuning langsat yang kini berhenti tepat di depan lampu merah, tempat bis biasa berhenti. Tubuhnya membungkuk dengan kedua tangan mencekal lutut. Sejenak ia berusaha mengatur nafas dan detak jantungnya yang masih tak karuan. 

Sayangnya, ketika kepala gadis itu terangkat, keadaan kembali memaksanya melangkahkan kaki dengan lebih cepat karena bis yang ia tunggu sudah merangkak beberapa meter lebih jauh darinya. 

Untunglah, kernet bis itu cukup peka hingga bisa menyadari ada penumpang yang tertinggal. Dengan kecepatan cahaya kernet itu memukul pintu bis dengan uang koin. Membuat sopir menginjak pedal rem dengan sekali sentak. Juga membuat penumpang yang berdiri hampir tersungkur ke bekalang. 

Beberapa dari mereka lantas memberikan tatapan mata yang nampak seperti malaikat jika dilihat dari sisi iblis ketika gadis itu menaiki bis yang hampir penuh itu. 

Gadis yang nampak sangat lelah itu menundukkan kepalanya sebagai tanda maaf. Akhirnya, ia bisa bernafas lega. Telat sedetik saja, maka dapat dipastikan jika ia akan berakhir dengan menghabiskan waktu 30 menit untuk hormat pada bendera dengan bertemankan sinar matahari pagi.

Ah, karena terlalu sibuk dengan drama pagi ini, aku kadi lupa untuk memperkenalkan tokoh utama cerita ini. Baiklah, perkenalkan, namanya Aurora. 

Bertolak belakang dengan namanya yang seperti tokoh putri dalam kartun. Lora, nama panggilang gadis itu, adalah gadis yang ceroboh, pendiam, dan pecinta kucing sejati. 

Dilihat dari sifatnya saja, aku yakin kalian pasti tau apa yang membuat gadis itu terlambat di hari ketiganya sebagai siswi baru SMA Awan Pelangi. Yap, tepat sekali. Apalagi kalau bukan pemberian sarapan pada kucing liar di sekitar komplek rumahnya. Bahkan, isi tas Lora pun sebagian besar diisi makanan kucing dari usia 0 sampai belasan tahun. Bahkan, tak jarang Lora membawa termos ke sekolah agar bisa memberikan susu hangat pada bayi kucing yang ditinggalkan orang tuanya. 

Argh, entah apa yang salah dengan gadis itu. Parahnya lagi, semua barang yang Lora kenakan dari ujung kuku kaki hingga rambut di kepala pun selalu bergambar kucing. Hanya seragam dan sepatunya saja yang normal. Baiklah, sudah cukup perkenalannya. Kembali ke masa sekarang dimana Lora tengah sibuk mencari tempat yang cocok untuk berdiri. 

Tempat yang bisa memudahkannya keluar begitu bis berhenti di depan gerbang sekolahnya 15 menit lagi. Ah, sepertinya berdiri di samping pria yang memakai jaket hingga menutupi kepala itu cocok. Lora langsung menempatkan diri. Tangannya memegang cincin yang bergantung di atas kepalanya.

Pria berjaket itu terbangun dari tidurnya setelah hidungnya menangkap bau yang ia kenal. Seperti bau ikan tuna. Eh, bau susu. Bukan, ini bau daging ayam giling. Ah, ini bau....makanan kucing?!?!?! Pria itu tersentak dan langsung berdiri. Membuat sebagian penumpang bis menatapnya heran. 

Tak terkecuali Lora. Pria itu ganti menatap Lora dari ujung kaki hingga kepala. Matanya berkedut ketika melihat tubuh gadis itu hampir dipenuhi gambar kucing. 

Dengan berjalan menyamping layaknya kepiting, pria itu pergi dari tempat duduknya dan menjauh dari Lora. Lora tersenyum lantas duduk di tempat pria yang kini berdiri di dekat kernet bis. Pria itu baik sekali hingga mau memberikan kursinya pada gadis yang nampak sangat kelelahan ini. 

"Bisa-bisa gue kena serangan jantung kalau deket dia. Dasar cewek aneh!"

Bis berhenti di depan gerbang sekolah 5 menit lebih cepat dibanding dugaan Lora. Pria baik hati itu turun lebih dahulu. Ah, sepertinya dia siswa SMA Awan Pelangi juga. Tapi, baru kali ini Lora melihatnya. Heh? Pria itu malah melangkah meninggalkan gerbang dan berjalan menuju rumah makan yang berada tak jauh dari sekolah. Padahal bel akan berdenting 5 menit lagi. Dan, makhluk itu dengan santainya pergi ke rumah makan? Apa mungkin syarafnya terganggu? Huh! Bodo amatlah. Toh, itu bukan urusan Lora.  

*****

Lora berjalan dengan santai menuju ruang guru. Hari ini adalah jadwal Lora untuk menjemput guru yang terlambat datang.

"Lora!!!"

Lora memutar kepalanya ketika gendang telinganya menangkap suara yang memanggil namanya.

Bu Handa, ibu kepala sekolah berjalan dengan anggun menghampirinya

"Ibu boleh minta tolong?"

Lora melempar senyum. Lantas mengangguk.

"Tolong minta kunci ruang musik ke Pak Sarmin, ya."

"Baik, Bu Handa!"

Lora lantas melangkah pergi menuju pos satpam tempat Pak Sarmin biasa menghabiskan waktu kerjanya.

"Makasih Lora." Teriak Bu Handa pelan.

Lora memutar kepalanya dan kembali melempar senyum. Tidak perlu terlalu formal dengan ibu kepala sekolah karena beliau adalah bibi Lora. Ah iya, kedua orang tua Lora meninggal dalam kecelakaan pesawat 10 tahun lalu yang menewaskan 102 orang termasuk pilotnya. Lora sendiri tergolong beruntung karena masih bisa selamat. Lora kecil yang berusia 6 tahun dirawat oleh Bibinya yang belum mempunyai keturunan setelah 8 tahun menikah. 

Selama itu, Lora hanya ditemani kucing karena gadis itu terbilang sulit untuk memulai interaksi. Mungkin itu adalah alasan mengapa Lora lebih suka dengan kucing daripada manusia. Karena bagi Lora, kucing bukan hanya sebatas hewan. Lora hanya punya satu teman manusia saat masih kecil. 

Tapi, sayangnya satu-satunya temannya itu pergi dan tak kembali sampai sekarang. Dan, alasan Lora pindah sekolah adalah karena dia ingin mandiri. Tapi, sayangnya sepertinya usaha untuk mandiri itu tak semudah yang ia pikirkan. Baru 5 hari berada di rumah lama bibinya yang ada di luar kota dan Lora sudah hampir membakarnya karena tidak bisa memasang gas.

Lora berjalan pelan melintasi halaman depan sekolah yang seluas jidatnya.

"Pak Sarmin!!!" Lora berteriak kencang. Bukan karena ia tidak menghormati satpam sekolah yang sudah bekerja sejak masih bujang itu. Hanya saja, Pak Sarmin punya sedikit masalah dengan indra pendengarannya.

Hening. Lora berteriak sekali lagi. Masih belum ada balasan. Lora akhirnya memutuskan langsung masuk ke pos satpam dan mengambil kunci yang digabung menjadi satu dengan tali. Tak lupa ia menulis catatan di kertas jika kunci itu kini ada di genggaman Bu Handa. Ah iya, tidak ada seorang pun di sekolah ini yang tau tentang hubungan keluarga antara Lora dan Bu Handa kecuali para staff sekolah.

Lora langsung ke luar dari pos satpam sembari memainkan kumpulan kunci itu. Bruak!!!!!!! Sebuah bunyi benda yang terjatuh membuat Lora memutar kepalanya. Beberapa pot kesayangan Bibinya yang tergeletak di pinggir tembok sekolah kini patah menjadi beberapa keping dengan bunga yang gepeng. Pelaku penggepengan bunga itu.... ah, ternyata si pria jaket. Pria itu sepertinya sudah puas memberi makan cacing dalam perutnya. Yang itu berarti dia terlambat masuk sekolah karema gerbangnya sudah ditutup. Lora yakin, hanya butuh waktu sampai bibinya itu mengumpulkan seluruh siswa di sekolah untuk diinterogasi.

*****

Heh??? Apa yang pria jaket itu lakukan di bangkunya? Dan tasnya? Kenapa bisa ada di pojok kelas?

"Hey!!! Kamu!!! Ini bangku Lora!!! Apa yang kamu lakuin disini!!!" Lora langsung menarik tas pria itu. Membuat pria yang tertidur itu bangkit dari pulau kapuk.

Pria itu menatap Lora galak lantas berdiri. Kenapa dunia ini sangat sempit hingga dia bisa bertemu dengan gadis aneh ini? Sebenarnya dosa apa yang sudah ia lakukan selama ini hingga harus sekelas dengannya?

"Ini bangku gue!!"

"Bangku Lora!!!!"

Semua siswa hanya menatap pertengakaran kecil itu. Bukan karena tidak mau membantu Lora. Hanya saja, makhluk yang sedang dihadapi Lora itu adalah berandal sekolah.

"Lora!!! Ada apa?" Bu Nindar, guru fisika yang tengah melintasi kelas itu langsung masuk begitu mendengar Lora berteriak. Gadis yang biasanya selalu pendiam dan kalem tiba-tiba berteriak seperti gajah yang terluka tentu saja merupakan fenomena aneh yang langka.

"Bu Nindar, cowok ini ngambil meja Lora." Lora menunjuk pria yang 10 cm lebih tinggi darinya.

Bu Nindar meneguk ludah. Lantas tersenyum sembari menatap Lora lembut.

"lora pindah ke bangku lain aja, ya."

"ta-ta-tapi....."

bu nindar tersenyum. lora lantas mengangguk dan melangkah mengambil tasnya. gadis itu akhirnya duduk di bangku depan.

"lora!!" lo nggak tau dia siapa?" tanya amel.

lora menggeleng kencang. dia sedang marah sekarang.

"dia itu gama, berandal sekolah ini. beberapa hari lalu pas lo pindah ke sekolah ini, gama lagi di skors karena udah suka 1 minggu bolos. makanya lo nggak ketemu dia."

lora langsung menenggelamkan kepalanya di atas meja. gadis itu melintas sepintas ke arah pria yang melanjutkan tidurnya. padahal, pria itu sangat baik waktu di bis. kenapa saat di kelas dia menjadi seperti iblis? wajah tampan memang bukan jaminan sikap yang baik. hah! kenapa juga lora harus peduli dengannya.

mulai sekarang, kehidupan lora di kelas akan berubah total.

*****

"bibi! lora mau pergi ke taman dulu, ya!" lora mengambil sepatu di atas rak.

bu handa yang merubah menjadi bibi super ramah di rumah lantas berteriak dari dapur, "hati-hati lora!! dan jangan pulang kemaleman!"

lora mengangguk dan melangkah pergi ke tempat ia biasa menghabiskan waktu. para kucing yang sudah menunggu kehadiran lora lantas segera berlari menghampirinya. lora tersenyum. segera mengambil makanan kucing dari dalam tasnya dan menuangkannya di atas mangkok yang sudah ia siapkan. lora menggendong satu anak kucing yang terlihat asing.

"ah, kasihan. kamu luka, ya?"

kucing itu mengeong lirih sebagai balasan. lora mengusap kepala anak kucing itu dengan lembut. anak kucing itu kembali mengeong.

"ikut lora ke klinik hewan, ya!" lora memutar tubuhnya dan mengayunkan kakinya sembari mengajak bicara anak kucing yang terus mengeong di akhir ucapan lora. sepertinya, ada yang mulai memahami satu sama lain.

brukkk!!! kepala lora menyundul sesuatu yang keras dan tinggi. lora mengangkat kepalanya. matanya langsung menatap tajam sosok di depannya. siapa lagi kalau bukan gama!

"Lo tuh buta, ya? Udah tau....." Gama terdiam ketika menatap sosok mungil berbulu di tangan Lora. Tubuh pria setinggi 170 cm itu membeku. Bibir tipisnya nampak pucat. Terlihat dengan jelas ekspresi ketakutan dari wajahnya. Lora menatapnya bingung. Kenapa pria menyebalkan ini tiba-tiba terdiam? 5 menit lamanya pria itu masih membeku. Lora menghembuskan nafas panjang.

"Gama! Nggak jadi nyerocos? Lora mau pergi ke klinik hewan. Maaf, Lora nggak sengaja nabrak." Lora pergi meninggalkan Gama yang masih membeku.

"Makhluk aneh!"

*****

Benar saja, semua siswa langsung dikumpulkan di lapangan sekolah saat jam pelajaran berlangsung. Sepertinya, bibi Lora tidak tahan lagi jika harus menunggu sampai waktu upacara tiba.

"Siapa yang merusak pot dan bunga di pinggir tembok sekolah?!?!?!" Bu Handa berteriak kencang di depan microphone yang sudah jelas tanpa harus berteriak pun suaranya bisa terdengar hingga penjuru sekolah. Semua siswa menutup telinganya lantas berbisik. Lora menatap Gama yang bersiul dengan santai. Sama sekali tidak ada rasa penyesalan dalam wajahnya. Tentu saja, karena dia berpikir tidak ada orang yang mengetahuinya. Lora tersenyum licik. Cara terbaik mengalahkan musuh adalah dengan menggunakan kelemahannya.

"Gama!!!" Bisik Lora lembut di telinga Gama yang lagi-lagi menjelajah pulau kapuk. Gama langsung tersontak ketika telinganya menangkap suara makhluk halus.

"Lo lagi!! Mau apa lagi, sih? Gue nggak nerima sumbangan!" Ucap Gama ketus.

"Lora tau rahasia Gama, lho." Lora kembali berbisik. Gadis itu melempar senyum penuh kemenangan ketika melihat Gama yang terdiam.

"Sialan! Gue lupa kalau kemarin gue ketemu nih cewek di taman!"

Gama menatap Lora sedikit lebih lama. Bisa gawat kalau Lora bilang ke semua orang kalau Gama ternyata takut pada kucing. Bisa-bisa semua orang akan menguncinya dalam ruangan penuh kucing. Ini bisa membahayakan jabatannya sebagai berandal sekolah juga nyawanya.

"Lora, gue pengen bilang sesuatu sama lo. Mari kita buat perjanjian."

Bibir Lora masih melengkungkan senyum penuh kemenangan. Ini dia yang Lora tunggu sedari tadi. Lora langsung menyerahkan sebuah kertas yang ia simpan dalam saku roknya pada Gama yang menatap Lora sekilas sebelum membacanya. Gama menatap Lora datar. Tapi, senyum licik gadis itu membuat Gama mau tak mau harus menandatangani kertas itu. 

Tak lama kemudian Gama langsung memgambil tasnya dan pindah ke bangku Lora. Makhluk seisi kelas langsung menatap ke arah Lora dan Gama bergantian dengan wajah heran. Seolah baru saja melihat alien turun dari pesawat luar angkasa. Entah sihir apa yang dilakukan Lora hingga bisa membuat si berandal sekolah menuruti perkataannya.

Bahkan, satu minggu ke depan makin banyak hal aneh yang terjadi seperti Gama yang membelikan Lora beberapa makanan ringan. Gama yang menggantikan jadwal piket Lora. Atau, Gama yang mau memberikan topi pada Lora ketika upacara tiba hingga membuat pria itu yang harus menerima hukuman. Lora sendiri merasa sangat senang dengan hal itu. Tapi, jujur saja, dia merasa sangat bersalah pada Gama.

"Gama!!!" Panggil Lora dengan nada lembut yang membuat tubuh Gama merinding.

"Mau apa lagi Yang Mulia Aurora?" Gama menjawab malas.

"Temenin Lora ke kantin, ya!" Lora mencekal tangan Gama.

"Nggak mau!! Ngapain harus gue!!" Gama langsung menarik tangannya. Lora menatap galak Gama.

"Teman-teman kalian tau nggak kalau Gama...."

"Iya, iya!!! Gue temenin!!!" Gama langsung berjalan malas menuju kantin disusuk Lora yang mengekor di belakangnya seperti anak kucing.

"Gama pesen aja semua makanan yang Gama mau! Biar Lora yang bayar!"

Gama tersenyum miring. Dengan cepat dia langsung berjalan menghampiri setiap stand di kantin. Lora tersenyum sembari menatap pria itu datar. Sepertinya ada yang mau balas dendam.

30 menit kemudian meja kantin itu dipenuhi dengan makanan dan minuman. Lora menghembuskan nafas sembari menatap dompetnya yang hampir kosong. Hah, setidaknya dengan begini ia bisa sedikit mengurangi rasa bersalahnya pada Gama.

"Heh, kalian berlima!! Ambil satu makanan dan minuman dari meja ini terus pergi!" Gama berseru pada lima makhluk yang duduk tak jauh dari mereka. Lora menatap Gama kejam. Entah mengapa Lora merasa menyesal karena sudah berbuat baik pada makhluk tidak tahu diri ini. Kelima makhluk itu berjalan dengan tubuh gemetar dan menjalankan perintah Gama. Meja itu akhirnya hanya berisi dua piring dan dua gelas.

"Gue boleh pesen makanan penutup, kan?"

Lora menatap Gama galak. Tapi, akhirnya gadis itu mengangguk. Gama langsung berjalan menuju stand salah di pojok kantin.

Bruak!!! Lora tersentak begitu sebuah tangan menggebrak mejanya. Bahkan, piring dan gelas pun ukut tersentak. Lora mengangkat kepalanya. Nampak, Sisil dan gengnya sedang menatapnya tajam. Lora menatap sepintas makhluk itu sebelum akhirnya kembali makan dengan santai.

"Heh!! Cewek sialan!!!"

Lora acuh. Sama sekali tak peduli. Gadis itu tetap fokus pada makanannya.

"Lo tuh udah jelek. Nggak tau diri lagi!!" teriak Sisil kencang.

"Maaf, tapi, Lora bukan cermin!"

Beberapa makhluk yang mendengar itu terlihat menahan tawa. Baru kali ini mereka melihat Sisil dipermalukan seperti itu.

"Berani ya, lo! Dasar cewek murahan perebut cowok orang!!"

"Hah? Apa? Lora nggak denger! Coba ulangin lagi!"

"Dasar cewek murahan perebut cowok orang!"

"Wuah, anjingnya pinter! Nurut banget pas disuruh!"

Suara tawa di kantin itu pecah. Wajah Sisil merah padam ketika melihat Lora yang tersenyum licik sembari menatap jijik ke arahnya. Sisil langsung mengambil gelas dan ketika gelas itu hampir melayang di atas kepala Lora. Sebuah tangan mencekalnya. Itu tangan Gama.

"Sejak kapan gue jadi cowok lo? Gue cowoknya Lora!" Ucap Gama membuat Sisil menjadi semakin merah karena malu dan juga marah. Gadis itu langsung pergi disusul dengan beberapa temannya yang mengekor di belakang.

Lora menatap kepergian Sisil dengan wajah penuh kemenangan. Tapi, beberapa saat kemudian wajah itu berubah menjadi merah ketika matanya menangkap sosok Gama. Lora menampar pipinya pelan! Apa sih yang baru saja dia pikirkan?!?!?!

"Makasih Gama!"

"Nggak usah GR!!" Ucap Gama ketus sembari menyuap salad buah ke dalam mulutnya.

"Siapa juga yang GR dasar perusak pot kepala sekolah!" Lora langsung menutup mulutnya.

"Lora! Gama! Ikut Ibu ke kantor!"

Kedua makhluk itu menoleh. Wajah Lora menjadi pucat pasi begitu melihat Bibinya menatapnya galak. Sedangkan, Gama nampak santai karena sudah teebiasa dengan keadaan ini.

*****

Dan, di sinilah kedua makhluk itu berada sekarang. Di gudang sekolah yang penuh dengan debu. Bu Handa menghukum mereka berdua untuk membersihkan gudang selama seminggu penuh. Lora mengelap kaca gudang itu dengan setengah hati. Sedangkan, Gama menata kursi dan meja yang berada di dalam dengan wajah santai. Ini sudah menjadi makanannya sehari-hari. Bedanya,.kali ini dia punya teman yang membantunya. Atau mungkin sebenarnya lebih dari teman.

"Kenapa Lora ikutan dihukum coba!"

"Siapa suruh lo teriak kaya begitu di kantin! Jadi, selama ini lo tau kalau gue yang mecahin pot bunga?"

Lora mengangguk kencang. Kenapa pula makhluk itu bertanya seperti itu di saat dia sudah tau jawabannya.

"Kan Lora udah bilang kalau Lora tau rahasinya Gama."

"Bentar, jadi maksud lo rahasia itu bukan takut kucing?"

Lora menggeleng pelan.

"Lho? Emangnya Gama takut kucing?"

Gama menepuk jidatnya. Argh, jika tau yang dimaksut rahasia hanyalah tragedi penggecetan pot bunga, Gama tidak akan mau menjadi babu gadis ini selama seminggu.

"Lora!!!! Lo tuh emang hobi banget nyusahin gue, ya?!?!?! Dari kecil sampe udah sebongsor ini!!!"

"Dari kecil? Lora baru pertama kali ketemu Gama." Lora menatap wajah Gama lamat-lamat. Ah, kalau dilihat sedekat ini. Rasanya Gama memang tidak asing.

"Pertama kali mata mu. Lo pikir siapa yang bikin gue takut sama kucing?"

"Kucingnyalah"

"Itu elo, dodol!" Gama menjambak rambutnya. Frustasi.

"Lora? Kenapa bisa?" Lora menatap Gama setengah bingung.

"Perasaan Lora nggak pernah melakukan hal tidak senonoh pada Gama." Ucap Lora dengan wajah polosnya.

"Lo sebenarnya ngerti arti dari tidak senonoh kagak, sih. Otak lo cetek banget kaya selokan."

Lora menatap Gama galak.

"Gue masih inget ada anak cewek yang godain papa kucing. Tapi, yang dikejar malah anak cowok. Si anak cowok lari sampai kecebur ke dalam selokan yang itemnya kaya pantat panci."

"Eh!!! Gama itu..... siapa ya?"

"Dahlah, gue pergi dulu." Gama mendorong pintu gudang dan melangkah pergi.

"Heh!!! Jangan pergi dulu! Jawab pertanyaan Lora dulu!" Lora melempar kain lap itu sembarangan lantas mengejar Gama.

"Berisik! Daaar Munchkin!"

Lora terdiam. Munchkin? Itu kan, nama panggilan yang diberikan Liel, teman masa kecil Lora sekaligus satu-satunya teman manusia yang Lora punya. Nama itu diberikan pada Liel karena Lora kecil sangat pendek. Jadi, Gama itu adalah Liel? Dan Liel adalah Gama? Kalau begitu, cinta pertama Lora adalah Gama? Hah!!! Yang benar saja! Sejak kapan Liel yang manis dan menyenangkan berubah menjadi makhluk kejam dan menyebalkan itu? Tapi, bagaimana mungkin Gama bisa tau nama panggilan itu? Argh, kepala Lora rasanya mau pecah.

"Jerapah!!" teriak Lora kencang.

Gama menoleh. Pria itu tersenyum.

"Akhirnya lo inget juga sama gue, Munchkin. Jadi, kapan kita nikah?"

Wajah Lora memerah ketika mendengar ucapan terakhir Gama. Kenapa makhluk itu masih ingat dengan janji kekanakan yang Lora buat?

*****

Lora dan Gama berjalan beriringan di taman. Hari ini Gama bilang jika dia akan menghadapi ketakutannya pada kucing. Dan, Lora berjanji akan membantunya mengatasi rasa takutnya. Hubungan mereka menjadi lebih erat. Apalagi ketika Lora akhirnya sadar siapa Gama di masa lalunya.

"Hua!!! Kucingnya mau nyakar. Kucingnya nyakar." Gama berteriak seoerti orang kesetanan ketika Lora memapah tangannya untuk menyentuh kucing belang yang sangat jinak. Beberapa pengunjung taman menatap mereka berdua. Satu dua tertawa kecil. Lucu sekali rasanya melihat seorang pria dewasa berteriak ketakutan menghadapi kucing yang hanya diam.

"Gama!! Jangan teriak! Nanti kucingnya nyakar beneran!"

"Ini semua salah lo, woy!"

"Coba usap perutnya pelan-pelan!" Lora meletakkan tangan Gama di perut kucing yang mengeong pelan itu.

"Hua!!! Perutnya kaya jeli!! Gue takut isi perutnya keluar!!" Gama langsung beranjak dan pergi menjauh dari kumpulan kucing yang mengelilinginya. Lora tertawa kencang. Begitu pula beberapa pengunjung taman yang memperhatikan keduanya sedari tadi. Lora berjalan menghampiri Gama yang duduk di bangku taman. Wajah pria itu sangat pucat dengan keringat yang mengucur di dahinya.

"Gama lucu banget! Padahalkan kucing tuh lucu. Sama sekali nggak serem!"

"Lo tau nggak? Cuman ada satu kucing di dunia ini yang nggak gue takuti!" ucap Gama sembari mengatur nafasnya yang masih memburu.

"Apa?" tanya Lora semangat.

"Kucingta padamu!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun