Kini, setiap kali saya menulis, baik itu puisi, cerpen, atau artikel, saya selalu teringat pada pria yang setiap pagi setia dengan kopi dan notes-nya. Yang mengajarkan bahwa menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi menyuarakan perubahan.
Epilog: Merajut Masa Depan dengan Kata-kata
Delapan belas tahun bukanlah waktu yang singkat, tapi terasa begitu cepat berlalu dalam pembelajaran yang tak pernah berhenti. Dari seorang gadis kecil yang hanya bisa mengagumi ayahnya menulis berita, kini saya telah menemukan suara saya sendiri dalam dunia literasi. Setiap penghargaan yang saya raih, setiap karya yang saya hasilkan, adalah bentuk terima kasih pada sang guru pertama dalam dunia kata-kata. Meski jalan yang saya pilih berbeda – ayah dengan jurnalistiknya dan saya dengan karya-karya kreatif – tapi fondasi yang dia tanamkan tetap sama: kejujuran, keberanian, dan cinta pada kebenaran.
Untuk ayahku tercinta, sang penutur cerita yang mengajarkanku bahwa kata-kata bisa mengubah dunia.
Ketika Pena Ayah Berhenti Menulis: Sebuah Surat untuk Wartawan Tangguhku
Ditulis di meja kerja ayah, tempat di mana ribuan berita pernah lahir dari jemarinya
Kini, ketika saya memandang rak buku di kamar yang dipenuhi piala dan piagam penghargaan, saya tahu bahwa ini bukan akhir dari perjalanan. Ini adalah awal dari sebuah warisan yang akan terus berkembang. Karena seperti kata ayah, "Menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi merajut masa depan dengan tinta kebenaran dan keindahan."
Ayah tersayang,
Hari ini aku duduk di kursi kesayanganmu, memandangi meja kerja yang kini terasa begitu sunyi. Cangkir kopimu masih di sana, dengan bekas bibirmu yang tak akan pernah hilang di tepiannya. Mesin ketik tuamu masih setia menunggu, seolah berharap jemarimu akan kembali menari di atasnya. Ada debu tipis yang mulai menyelimuti, tapi aku tak berani membersihkannya – takut menghapus jejak terakhirmu di sana.
Masih kuingat jelas malam itu, deadline terakhirmu...