"Nak, tolong buatkan Ayah kopi," pintamu dengan suara yang lebih lemah dari biasanya. Aku tak tahu itu akan menjadi kopi terakhir yang kubuat untukmu. Kopi yang bahkan tak sempat kau habiskan, yang kini membeku dalam kenangan bersama dengan nafas terakhirmu. Seandainya aku tahu itu adalah malam terakhir kita berdua di ruang kerja ini, mungkin aku akan merekam setiap detiknya. Suara ketikanmu yang selalu berirama seperti musik pengantar tidur. Caramu mengerutkan dahi saat mencari kata yang tepat. Bahkan aroma tembakau dari pipa yang selalu menemani setiap artikel pentingmu.
Kau pergi di tengah berita yang belum selesai, Ayah. Ada naskah setengah jadi di mejamu, dengan judul yang masih menunggu untuk disempurnakan. "Suara Mereka yang Terlupakan" – begitu judulnya. Ironis bagaimana kini aku merasa menjadi salah satu dari mereka, terlupakan oleh waktu yang terlalu cepat merenggutmu.
Ingatkah kau saat pertama kali mengajariku menulis? Bukan sekadar menulis huruf dan kata, tapi menulis dengan hati. "Jari-jarimu adalah jembatan antara hati dan kertas," begitu pesanmu yang tak pernah kulupa. Kau mengajariku bahwa setiap kata yang kita tulis bisa menjadi pelita bagi seseorang di luar sana.
Buku pertamaku, "Aku Akan Tetap Menjadi Puteri Kecilmu", seharusnya diluncurkan tahun depan. Aku bahkan sudah menyiapkan kursi khusus untukmu di barisan terdepan. Tapi Tuhan punya rencana lain. Kini buku itu akan kuluncurkan dengan kursi kosong dan setangkai mawar putih – warna kesukaanmu.
Ayah, tahukah engkau?
Setiap malam aku masih menunggu suara langkahmu yang khas di tangga.
Suara yang selalu kudengar saat kau pulang larut setelah mengejar berita.
Kadang aku masih terbangun di tengah malam,
Berharap mendengar dentingan sendok mengaduk kopi dari ruang kerjamu.
Kau ingat saat aku menjadi Puteri Duta Buku NTB? Saat itu kau menangis, Ayah. Untuk pertama kalinya aku melihat wartawan tangguh ini meneteskan air mata. "Ini bukan tangis sedih, Nak," katamu sambil tersenyum. "Ini tangis bangga, karena puteri kecilku telah menemukan suaranya sendiri."
Prestasi demi prestasi yang kuraih dalam menulis puisi dan cerpen, semua berkat dirimu yang tak pernah lelah membimbingku. Bahkan saat tubuhmu mulai lemah, kau masih menyempatkan diri membaca setiap tulisanku, memberikan kritik dengan kelembutan yang hanya dimiliki seorang ayah.