Menjadi anak seorang wartawan berarti harus siap berbagi ayah dengan publik. Saya masih ingat hari kelulusna SD, ketika ayah harus melipt bencana banjir di pelosok daerah. Atau saat ulang tahun ke-17 saya, dia terpaksa absen karena meliput kasus korupsi besar yang sedang dia investigasi.Â
"Maafkan ayah, Sayang," katanya di telepon. "Tapi ingat kita berkorban hari ini agar besok ada yang membaca kebenaran."
Ancaman dan Tekanan
Pernah satu malam, motor kami diikuti orang tak dikenal setelah ayah menerbitkan artikel investigasi tentang pencemaran lingkungan oleh perusahaan besar. Selama seminggu, kami harus tidur di rumah nenek. Tapi ayah tetap teguh, "Ketakutan adalah musuh terbesar kebenaran," katanya menenangkan kami.
Menemukan Jalan Sendiri dalam Dunia Literasi
Pengaruh ayah dalam dunia literasi mulai membuahkan hasil ketika saya mulai menulis catatan harian di usi 13 tahun. Dari catatan-catatan sederhana tentang keseharian, berkembang menjadi puisi-puisi kecil, hingga akhirnya cerpen-cerpen yang mulai berani saya ikutkan dalam berbagai lomba.Â
Aku Akan Tetap Menjadi Puteri Kecilmu
Puncak kebahagiaan datang ketika di usia 17 tahun, saya berhasil menulis buku pertama saya. "Aku Akan Tetap Menjadi Puteri Kecilmu"- sebuah kumpulan cerita mencari jati dirinya. saat memberikan tulisan pertama saya kepada ayah, air matanya menetes. Â "Kau tidak hanya mewarisi darah wartawanku," katanya terharus. "Tapi kau telah menemukan jati dirimu."
Puisi: Melukis kebenaran dengan Keindahan
Ajang demi ajang lomba puisi saya ikuti, dari tingkat sekolah hingga nasional. Berbekal teknik penulisan yang saya pelajari dari ayah dan sensitifitas pada isu sosial yang dia tanamkan, puisi-puisi saya mulai mendapat penfakuan.
- Juara Favorit Cipta Puisi tingkat Provinsi NTB 2018