Mohon tunggu...
Rizky MustikaAmelia
Rizky MustikaAmelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi di STAI SADRA Jakarta Selatan

Halo! Saya Rizky Mustika Amelia, dengan sapaan akrab Amel. Saya sangat ingin mendalami dunia menulis, menjadi seorang penulis adalah impian terbesar saya, saya juga tertarik pada dunia literasi, pendidikan, dan isu-isu sosial. Melalui tulisan di Kompasiana, saya ingin berbagi pandangan, pengalaman, dan inspirasi yang bisa bermanfaat bagi pembaca. Saya percaya bahwa menulis adalah cara untuk memperkaya wawasan dan mempererat hubungan antarmanusia. Ayo berdiskusi dan saling berbagi cerita! <3

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

18 Tahun Bersama Seorang Wartawan Tangguh (Ayah), Kisah Perjalanan Literasi Puteri Seorang Jurnalis

26 Oktober 2024   21:05 Diperbarui: 26 Oktober 2024   21:05 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara mesin ketik typographer menggema memenuhi ruangan kerja ayah. Pagi-pagi sekali, aroma kopi Rinbo (Rinjani dan Tambora) khas Nusa Tenggara Barat mengebul dari cangkir cokelat kesayangan ayah. di sudut ruang kerja yang di tumpuki oleh banyak sekali lembaran koran dan juga majalah, sesosok pria dengan kemeja khas kotak-kotaknya tengan menekuni layar laptop, sesekali tangannya dengan cepat menggoreskan pena di notes cokelat yang selalu setia di sakunya. inilah pemandangan yang menemani 18 tahun kehidupanku. Tumbuh bersama wartawan yang mendedikasikan hidupnya pada kebenaran dan kata-kata. 

Warisan Pagi yang Berbeda

Pukul 4 pagi, ketika sebagian besar orang masih terlelap, rumah kami sudah hidup dengan ritme yang berbeda. Radio tua di sudut ruangan melantunkan berita-berita terkini, sementara ayah dengan teliti membaca koran-koran dari berbagai penerbit. "Wartawan harus update sebelum orang lain bangun," begitu prinsipnya yang selalu dia sampaikan sambil tersenyum.

Berbeda dengan teman-teman sekolahku yang sarapan di temani cerita-cerita ringan, sarapan rumah kami selalu diwarnai dengan isu-isu terkini. Dari kasus korupsi hingga prestasi anak bangsa, dari politik hingga kisah-kisah kemanusiaan, semua menjadi santapan pagi yang mengasah pikiran. 

Ruang Redaksi: Sekolah keduaku

Pembelajaran di balik meja berita kantor tempat ayah bekerja menjadi rumah kedua bagiku. Sejak kecil, ayah sering membawaku ke sana, memperkenalkanku pada dunia yang kemudian akan sangat mempengaruhi jalan hidupku. Ruang redaksi yang hiruk pikuk dengan detak keyboard dan disuksi hangat antar wartawan menjadi tempat belajar yang tak ternilai. 

"Di sini, Nak, berita dilahirkan," kata ayah suatu hari. "Tapi ingat, setiap berita punya tanggungjawab moral. Satu kata bisa mengubah hidup seseorang."

Mentor-mentor Tak Terduga

Di kantor ayah, saya bertemu dengan berbagai karakter yang menginspirasi. Ada pak Vino, fotografer senior yang mengajarkan bahwa satu gambar mbisa mewakili seribu kata. Pak Didik, kepala redaksi yang tajam dalam menganalisis setiap sudut berita. Pak Ketoh, wartawaninvestigasi yang tekun membongkar kasus-kasus besar. Mereka semua menjadi guru tidak langsung yang memperkaya perspektif saya tentang dunia tulis menulis.

Ketika Tugas Mengalahkan Momen Keluarga

Menjadi anak seorang wartawan berarti harus siap berbagi ayah dengan publik. Saya masih ingat hari kelulusna SD, ketika ayah harus melipt bencana banjir di pelosok daerah. Atau saat ulang tahun ke-17 saya, dia terpaksa absen karena meliput kasus korupsi besar yang sedang dia investigasi. 

"Maafkan ayah, Sayang," katanya di telepon. "Tapi ingat kita berkorban hari ini agar besok ada yang membaca kebenaran."

Ancaman dan Tekanan

Pernah satu malam, motor kami diikuti orang tak dikenal setelah ayah menerbitkan artikel investigasi tentang pencemaran lingkungan oleh perusahaan besar. Selama seminggu, kami harus tidur di rumah nenek. Tapi ayah tetap teguh, "Ketakutan adalah musuh terbesar kebenaran," katanya menenangkan kami.

Menemukan Jalan Sendiri dalam Dunia Literasi

Pengaruh ayah dalam dunia literasi mulai membuahkan hasil ketika saya mulai menulis catatan harian di usi 13 tahun. Dari catatan-catatan sederhana tentang keseharian, berkembang menjadi puisi-puisi kecil, hingga akhirnya cerpen-cerpen yang mulai berani saya ikutkan dalam berbagai lomba. 

Aku Akan Tetap Menjadi Puteri Kecilmu

Puncak kebahagiaan datang ketika di usia 17 tahun, saya berhasil menulis buku pertama saya. "Aku Akan Tetap Menjadi Puteri Kecilmu"- sebuah kumpulan cerita mencari jati dirinya. saat memberikan tulisan pertama saya kepada ayah, air matanya menetes.  "Kau tidak hanya mewarisi darah wartawanku," katanya terharus. "Tapi kau telah menemukan jati dirimu."

Puisi: Melukis kebenaran dengan Keindahan

Ajang demi ajang lomba puisi saya ikuti, dari tingkat sekolah hingga nasional. Berbekal teknik penulisan yang saya pelajari dari ayah dan sensitifitas pada isu sosial yang dia tanamkan, puisi-puisi saya mulai mendapat penfakuan.

- Juara Favorit Cipta Puisi tingkat Provinsi NTB 2018

- Tiga puisi terpilih untuk dimuat di Majalah Sastra Nasional

Cerpen: Menuangkan Realitas dalam Fiksi

Dari ayah, saya belajar bahwa cerita terbaik lahir dari observasi yang tajam pada kehidupan. Prinsip ini saya terapkan dalam menulis cerpen, menghasilkan :

- Juara 2 Lomba Cerpen Tingkat Provinsi 2019

- Pemenang Kompetisi Penulisan Cerpen Remaja se-NTB

- Cerpen pilihan untuk Antologi Nasional "Merajut Asa"

Puteri Duta Buku NTB 2018: Koin Perpustakaan Meneruskan Misi Literasi 

Terpilih sebagai Puteri Duta Buku NTB 2018 membuka babak baru dalam perjalanan literasi saya. Ini buka sekedar gelar, tapi tanggung jawab untuk menyebarkan virus membaca dan menulis ke seluruh pelosok Nusa Tenggara Barat.

Program dan Dampak

Selama menjadi Duta Buku, saya menginisiasi beberapa program:

1."Menulis Itu Seru!"- Program workshop mingguan sebagai Duta Buku.

2. "Perpustakaan Keliling"- Membawa buku ke desa-desa terpencil

3. "Cerita untuk NTB" - Kompetisi menulis untuk remaja

4. "Literacy Goes to School" - Program literasi di sekolah-sekolah

Pembelajaran Seumur Hidup

Dari 18 tahun hidup bersama seorang wartawan tangguh, saya belajar bahwa:

- Kebenaran adalah harta yang tak ternilai

- Kata-kata punya kekuatan untuk mengubah dunia

- Setiap cerita, sekecil apapun, layak untuk diceritakan

- Menulis adalah bentuk tanggung jawab sosial

- Keberanian dan integritas harus selalu berjalan beriringan

Inspirasi yang Tak Pernah Padam

Kini, setiap kali saya menulis, baik itu puisi, cerpen, atau artikel, saya selalu teringat pada pria yang setiap pagi setia dengan kopi dan notes-nya. Yang mengajarkan bahwa menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi menyuarakan perubahan.

Epilog: Merajut Masa Depan dengan Kata-kata

Delapan belas tahun bukanlah waktu yang singkat, tapi terasa begitu cepat berlalu dalam pembelajaran yang tak pernah berhenti. Dari seorang gadis kecil yang hanya bisa mengagumi ayahnya menulis berita, kini saya telah menemukan suara saya sendiri dalam dunia literasi. Setiap penghargaan yang saya raih, setiap karya yang saya hasilkan, adalah bentuk terima kasih pada sang guru pertama dalam dunia kata-kata. Meski jalan yang saya pilih berbeda – ayah dengan jurnalistiknya dan saya dengan karya-karya kreatif – tapi fondasi yang dia tanamkan tetap sama: kejujuran, keberanian, dan cinta pada kebenaran.

Untuk ayahku tercinta, sang penutur cerita yang mengajarkanku bahwa kata-kata bisa mengubah dunia.

Ketika Pena Ayah Berhenti Menulis: Sebuah Surat untuk Wartawan Tangguhku

Ditulis di meja kerja ayah, tempat di mana ribuan berita pernah lahir dari jemarinya

Kini, ketika saya memandang rak buku di kamar yang dipenuhi piala dan piagam penghargaan, saya tahu bahwa ini bukan akhir dari perjalanan. Ini adalah awal dari sebuah warisan yang akan terus berkembang. Karena seperti kata ayah, "Menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi merajut masa depan dengan tinta kebenaran dan keindahan."

Saya, Ayah dan Sampul Buku Karya saya. Dok Pribadi
Saya, Ayah dan Sampul Buku Karya saya. Dok Pribadi

Ayah tersayang,

Hari ini aku duduk di kursi kesayanganmu, memandangi meja kerja yang kini terasa begitu sunyi. Cangkir kopimu masih di sana, dengan bekas bibirmu yang tak akan pernah hilang di tepiannya. Mesin ketik tuamu masih setia menunggu, seolah berharap jemarimu akan kembali menari di atasnya. Ada debu tipis yang mulai menyelimuti, tapi aku tak berani membersihkannya – takut menghapus jejak terakhirmu di sana.

Masih kuingat jelas malam itu, deadline terakhirmu...

"Nak, tolong buatkan Ayah kopi," pintamu dengan suara yang lebih lemah dari biasanya. Aku tak tahu itu akan menjadi kopi terakhir yang kubuat untukmu. Kopi yang bahkan tak sempat kau habiskan, yang kini membeku dalam kenangan bersama dengan nafas terakhirmu. Seandainya aku tahu itu adalah malam terakhir kita berdua di ruang kerja ini, mungkin aku akan merekam setiap detiknya. Suara ketikanmu yang selalu berirama seperti musik pengantar tidur. Caramu mengerutkan dahi saat mencari kata yang tepat. Bahkan aroma tembakau dari pipa yang selalu menemani setiap artikel pentingmu.

Kau pergi di tengah berita yang belum selesai, Ayah. Ada naskah setengah jadi di mejamu, dengan judul yang masih menunggu untuk disempurnakan. "Suara Mereka yang Terlupakan" – begitu judulnya. Ironis bagaimana kini aku merasa menjadi salah satu dari mereka, terlupakan oleh waktu yang terlalu cepat merenggutmu.

Ingatkah kau saat pertama kali mengajariku menulis? Bukan sekadar menulis huruf dan kata, tapi menulis dengan hati. "Jari-jarimu adalah jembatan antara hati dan kertas," begitu pesanmu yang tak pernah kulupa. Kau mengajariku bahwa setiap kata yang kita tulis bisa menjadi pelita bagi seseorang di luar sana.

Buku pertamaku, "Aku Akan Tetap Menjadi Puteri Kecilmu", seharusnya diluncurkan tahun depan. Aku bahkan sudah menyiapkan kursi khusus untukmu di barisan terdepan. Tapi Tuhan punya rencana lain. Kini buku itu akan kuluncurkan dengan kursi kosong dan setangkai mawar putih – warna kesukaanmu.

Ayah, tahukah engkau?

Setiap malam aku masih menunggu suara langkahmu yang khas di tangga.

Suara yang selalu kudengar saat kau pulang larut setelah mengejar berita.

Kadang aku masih terbangun di tengah malam,

Berharap mendengar dentingan sendok mengaduk kopi dari ruang kerjamu.

Kau ingat saat aku menjadi Puteri Duta Buku NTB? Saat itu kau menangis, Ayah. Untuk pertama kalinya aku melihat wartawan tangguh ini meneteskan air mata. "Ini bukan tangis sedih, Nak," katamu sambil tersenyum. "Ini tangis bangga, karena puteri kecilku telah menemukan suaranya sendiri."

Prestasi demi prestasi yang kuraih dalam menulis puisi dan cerpen, semua berkat dirimu yang tak pernah lelah membimbingku. Bahkan saat tubuhmu mulai lemah, kau masih menyempatkan diri membaca setiap tulisanku, memberikan kritik dengan kelembutan yang hanya dimiliki seorang ayah.

Malam ini, saat menulis surat ini, hujan turun dengan lembut di luar. Seperti malam-malam saat kita berdua begadang mengejar deadline-mu. Aku masih ingat bagaimana kau selalu bilang bahwa hujan adalah berkah bagi seorang penulis – membawa ketenangan yang diperlukan untuk menuangkan kata-kata.

Di mejamu, aku menemukan notes kecil yang kau selipkan di antara tumpukan koran lama. Tulisan tanganmu yang rapi menuliskan pesan yang tak pernah sempat kau sampaikan:

"Untuk puteri kecilku yang kini telah tumbuh menjadi penulis hebat,

Maafkan ayah yang mungkin tak bisa mendampingimu hingga akhir perjalanan.

Tapi ingatlah, setiap kata yang kau tulis adalah perpanjangan dari napas ayah.

Teruslah menulis, Nak. Biarkan penamu menjadi saksi bahwa cinta seorang ayah

tak pernah mengenal kata akhir..."

Napasku tercekat membacanya. Air mata menetes, membasahi kertas yang sudah menguning itu. Bahkan di penghujung hidupmu, kau masih memikirkanku, masih meninggalkan pesan yang akan menjadi kompas hidupku.

Ayah, wartawan tangguhku...

Kini giliranku yang akan meneruskan perjuanganmu.

Setiap berita yang tak sempat kau tulis,

Setiap suara yang tak sempat kau perjuangkan,

Akan kurangkai dalam kata-kata, 

Akan kuabadikan dalam tulisan.

Di setiap lomba yang kuikuti,

Di setiap puisi yang kulantunkan,

Di setiap cerita yang kutulis,

Akan kuselipkan namamu dengan bangga.

"Ini adalah warisan dari ayahku," akan kukatakan,

"Seorang wartawan tangguh yang mengajariku

bahwa kata-kata bisa mengubah dunia."


Selamat jalan, Ayahku sayang...

Wartawan tangguh yang kini telah beristirahat dari deadline dunia.

Semoga di surga sana kau mendapat meja kerja terbaik,

Dengan pemandangan terindah dan kopi yang tak pernah habis.


Suatu hari nanti, saat takdir mempertemukan kita kembali,

Aku ingin membacakan semua tulisanku untukmu.

Membuka halaman demi halaman buku kehidupanku,

Dan membuatmu tersenyum bangga sekali lagi.


Sampai saat itu tiba,

Izinkan aku terus menulis untukmu.

Izinkan setiap kataku menjadi jembatan

Yang menghubungkan duniaku dengan surgamu.


Selamat jalan, Ayah.

Terima kasih telah menjadi wartawan terhebat,

Dan ayah terbaik yang pernah ada.

Di ruang kerjamu yang kini sunyi,

Puterimu yang akan selalu mencintaimu,

Dan menulis untukmu...

Di sebelah surat ini, kuletakkan secangkir kopi hitam pekat – masih mengepul, persis seperti yang selalu kau minum. Mungkin di alam sana, aromanya bisa sampai padamu, membawa serta rindu dan cinta yang tak akan pernah pudar.

Epilog: Melampaui Kata-kata

Catatan Terakhir dari Meja Kerja yang Kini Sunyi

Ditulis pada pukul 23:45 - tepat waktu deadline yang selalu ayah patuhi

Menulis epilog ini terasa seperti mengucapkan selamat tinggal untuk kedua kalinya. Namun kali ini, aku memilih untuk tidak mengakhirinya dengan kata perpisahan. Sebab sejatinya, kisah seorang wartawan tangguh tak pernah benar-benar berakhir. Ia hidup dalam setiap kata yang pernah ia tulis, dalam setiap berita yang pernah ia liput, dan dalam setiap inspirasi yang ia tinggalkan.

Warisan yang Tak Ternilai

Ayah,

Kau mungkin telah pergi, tapi warisanmu mengalir dalam setiap tinta yang kutumpahkan.

Dalam setiap puisi yang kulantunkan.

Dalam setiap cerita yang kurangkai.

Dalam setiap prestasi yang kuraih.

Buku "Aku Akan Tetap Menjadi Puteri Kecilmu" bukanlah akhir,

melainkan awal dari ribuan kata yang akan kutulis untukmu.

Gelar juara-juara yang kuraih hanyalah bukti kecil

bahwa benihmu telah tumbuh dalam diriku.

Sebuah Janji yang Terpatri

Untuk pembaca yang telah meluangkan waktu membaca kisah ini,

ketahuilah bahwa di balik setiap wartawan tangguh,

ada cerita yang lebih dalam dari sekadar berita.

Ada cinta yang lebih kuat dari deadline.

Ada warisan yang lebih abadi dari kata-kata.

Maka izinkan aku membuat janji:

Aku akan terus menulis,

seperti yang ayah ajarkan.

Aku akan terus bersuara,

untuk mereka yang tak bersuara.

Aku akan terus berjuang,

demi kebenaran yang ayah junjung tinggi.

Pesan untuk Para Pembaca

Jika kisah ini menyentuh hatimu,

jika kata-kataku menggetarkan jiwamu,

ingatlah bahwa ini lebih dari sekadar cerita tentang kehilangan.

Ini adalah kisah tentang cinta yang melampaui kata-kata,

tentang warisan yang tak lekang oleh waktu,

tentang seorang ayah yang mengajarkan bahwa menulis

adalah cara terindah untuk mengabadikan cinta.

 Sebuah Undangan

Untuk para pembaca yang mungkin memiliki kisah serupa,

yang menyimpan rindu pada sosok yang telah pergi,

atau yang masih beruntung memiliki kesempatan bersama orang terkasih,

aku mengundangmu untuk berbagi.

Tulislah kisahmu.

Rangkailah katamu.

Sebab dalam setiap kata yang kita tulis,

mereka yang kita cintai akan terus hidup.

Persembahan Terakhir

Secangkir kopi masih mengepul di meja kerja ayah.

Mesin ketik tuanya masih setia menunggu.

Dan puterinya akan terus menulis,

hingga tiba saatnya deadline terakhir mempertemukan kita kembali.

..............

Untuk Ayah,

wartawan tangguhku yang kini menulis di surga.

Terima kasih telah mengajarkan bahwa cinta,

seperti halnya tulisan yang baik,

tak mengenal kata akhir.

...............

Dengan cinta dan rindu yang abadi,

Puterimu - yang akan selalu menulis untukmu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun