Mohon tunggu...
Rizki A Purnama
Rizki A Purnama Mohon Tunggu... Konsultan - pegawai biasa

Lebih sering ngopi sendiri diawal pagi dan malam hari. Dulunya suka fotografi, lebih seneng ambil momen daripada nyuruh orang bergaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wisata ala Wedangan

13 Oktober 2022   23:44 Diperbarui: 13 Oktober 2022   23:53 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apa standard sebuah destinasi wisata dikatakan sukses atau berhasil? Sampai saat ini belum ada sebuah standard atau patokan bahwa sebuah Obyek wisata, destinasi wisata atau atraksi wisata dikatakan berhasil. Kesuksesan sebuah atraksi atau destinasi apabila dilihat dari sisi penyelenggara yaitu  animo/jumlah kunjungan atau jumlah penjualan tiket. 

Lalu jika dilihat dari sisi yang lebih luas adalah jumlah kunjungan yang stabil dan meningkat, tumbuhnya ekonomi secara luas, usaha penginapan beroperasi dengan baik, masuknya investasi, infrastruktur pendukung tersedia dengan baik, lama/durasi kunjungan wisatawan yang semakin meningkat/lama, tidak menimbulkan dampak lingkungan yang negatif. 

Lingkungan dalam hal ini bukan hanya pencemaran fisik seperti pencemaran air, polusi dan lain-lain yang sifatnya kasat mata atau dapat dilihat dan dirasakan. 

Lingkungan dalam hal ini adalah lingkungan yang luas dan keseluruhan, karena pada dasarnya lingkungan terdiri dari komponen ABC (abiotik, biotik dan culture / budaya/ manusia)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,  menyebutkan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. 

Sedangkan, industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.

Promosi budaya dilakukan oleh pemerintah ke luar negeri dengan mengadakan pameran budaya dan kerjasama dengan negara-negara sahabat, mengingat potensi besar dari industri pariwisata di Indonesia untuk menarik devisa. 

Di dalam negeri, promosi banyak dilakukan dengan mengadakan berbagai event, baik event pemerintah pusat maupun daerah. Masyarakat datang berbondong-bondong berkunjung, menyaksikan dan menghadiri berbagai sajian destinasi wisata dan event wisata, dari yang gratis sampai berbayar. 

Seremonial dilakukan oleh kepala daerah sampai pejabat dibawahnya datang ikut serta meramaikan apabila event tersebut diselenggarakan oleh pemerintah.

Berkembang pesatnya teknologi, terutama teknologi informasi di dunia menjadi sebuah peluang bagi pariwisata di Indonesia. Berbagai platform aplikasi media sosial, dijadikan sebagai media promosi baik oleh pemerintah atau individu yang secara tidak sadar ikut melakukan promosi dengan unggahan foto dan video disertai hastag tentang detinasi wisata. 

Sentuhan teknologi memberikan banyak kemudahan, baik bagi wisatawan maupun usaha terkait pariwisata. Namun, dalam dunia pariwisata, teknologi lebih banyak digunakan untuk media promosi, karena lebih mudah, murah, massif dan lebih cepat menjangkau masyarakat, belum kedalam aspek teknis destinasi/atraksi wisatanya. 

Berapa jumlah anggaran negara yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan event-event promosi pariwisata, seberapa efektif destinasi dan prmosoi dapat menjaring investasi, minimal berapa kunjungan wisatawan dan berapa jumlah PAD yang didapatkan, mungkin itu beberapa pertanyaan yang banyak dikemukakan terkait dengan kegiatan promosi pariwisata yang dilakukan oleh pemerintah. Lalu bagaimana cara mengetahui efektivitas promosi tersebut? 

Selama ini banyak sekali berita, kajian dan laporan baik dari dinas pariwata atau BPS terkait jumlah kunjungan wisata ke daerah, baik wisatawan mancanegara atau dalam negeri. 

Dari laporan tersebut apakah dapat dikaitkan dengan hasil promosi atau event pariwisata dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan? Efektivitas sebuah promosi mestinya tidak hanya dilihat dari jumlah kunjungan saja, akan tetapi dari seberapa besar dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat secara luas, tidak hanya yang ada di sekitar destinasi/obyek wisata. 

Selain pertumbuhan ekonomi, seberapa besar juga dampaknya terhadap masuknya investasi dan bertambah majunya infrastruktur sebagai penunjang. Selain ekonomi dan investasi, satu hal yang penting dan seringkali dilupakan adalah existensi orisinilitas budaya/destinasi di daerah tersebut. 

Wisatawan mancanegara tidak akan datang jauh-jauh menghabiskan waktu dan biaya apabila destinasi wisata yang ada mirip atau sama dengan yang ada di negaranya. Jangan sampai melakukan promosi ke Eropa dan Amerika, yang terjadi justru destinasi wisata yang ada malah meniru budaya barat. 

Pemerintah berusaha menambah pendapatan negara melalui pariwisata dengan menarik wisatawan, tapi infrastruktur dan destinasi wisata tidak layak/siap untuk level internasional. Menciptakan destinasi wisata untuk level nasional tapi pengunjung lebih banyak dari lokal.

Mampukah Jawa Tengah (Jateng) meniru keberhasilan Bali dalam menjalankan industri parisiwatanya? Jawabannya bisa, tapi masih sangat jauh dan sulit. Kenapa begitu? Pertama, wisata Jateng belum/bukan industri pariwisata, Jateng hanya menjual destinasi wisata tiap daerahnya. 

Kedua, Jateng terlalu luas dan budaya lokalnya berbeda tiap daerahnya, berbeda dengan di Bali yang secara umum hampir sama, sehingga perlu di persempit. 

Ketiga, mindset polapikir masyarakat Bali dengan Jateng berbeda, di Bali lebih aware dan welcome dengan orang/budaya asing yang datang ke daerahnya sedangkan Jateng tidak semua daerah masyarakatnya mau menerima dan beradaptasi terhadap kunjungan wisata dengan berbagai kompleksitas dampaknya. 

Keempat, egosentris tiap daerah yang mengunggulkan destinasi wisatanya. Bali, apapun dan dimanapun destinasinya selalu dan hanya Bali yang diingat/sebut, bukan kota/kabupatennya, Bali sebagai ikon. 

Kelima, harus menciptakan destinasi wisata dengan orientasi / target wisatawan khusus. Keenam, mengevaluasi kegiatan wisata selama ini dan meningkatkannya dengan mensinergikan seluruh kegiatan wisata dengan stakeholder industri wisata.

Untuk bisa bersaing dengan Bali, pemerintah daerah harus berani mengambil kebijakan dengan menggandeng dan meningkatkan peran serta kualitas stakeholders terkait industri pariwisata seperti destinasi/obyek wisata, perhotelan, jasa transportasi, rumah makan dan  masyarakat. 

Selain itu pemerintah juga harus berani mengganti konsep kebijakan yang kuno yang orientasinya jangka pendek, hanya melihat jumlah kunjungan wisatawan tanpa melihat dampak positif dan negatif yang luas. 

Industri pariwisata dapat dikatakan sama dengan berbagai industri lainnya seperti manufaktur, pertahanan, kimia, kereta api dll yang membutuhkan R&D, sehingga dapat dilakukan perencanaan yang matang kedepannya. 

Sebagai perumpamaan, Bali adalah toko roti legendaris yang menjual roti sejak bertahun-tahun dengan menjaga kualitas dan keasliannya, sedangkan di Jateng banyak bermunculan destinasi wisata baru seperti toko roti artis / kedai minuman kekinian yang mengandalkan popularitas dan promosi. 

Apa yang terjadi selanjutnya? Apakah toko roti legend gulung tikar ditengah derasnya gempuran toko roti kekinian ? TIDAK, justru toko roti kekinian banyak yang gulung tikar dan anjlog penjualannya.

Bali dikatakan berjalan industri pariwisatanya, karena melibatkan hotel di dalamnya. Sedangkan Jateng belum bisa dikatakan menjalankan industri pariwisata, tidak semua destinasi wisata di kota/daerah melibatkan hotel/penginapan. Hanya kota tertentu saja yang memiliki fasilitas hotel, itupun tidak semua hotel berbintang. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan hotel berbintang di Jateng penuh karena agenda pemerintah dan minim berfungsi sebagai stakeholder pariwisata. Hal tersebut ditambah dengan masuknya virtual hotel operator (VHO), dimana trend wisatawan saat ini lebih senang dengan hotel minimalis dan murah.  

Ujungnya adalah hotel berbintang mengalami penurunan okupansi yang berakibat pada berkurangnya pemasukan / laba perusahaan sehingga berdampak pada pengurangan jumlah SDM hingga terabaikannya pengelolaan lingkungan. Hotel dari kelas paling murah puluhan ribu sampai jutaan rupiah permalam, hampir semuanya penuh di Bali tiap tahunnya, bisa dikatakan merata. 

Ada saja wisatawan lokal dan mancanegara yang datang ke Bali, tidak bosan meskipun berkali-kali datang ke Bali baik dalam rangka pekerjaan maupun wisata. 

Bandingkan dengan wisata di Jateng, segelintir destinasi wisata yang sering dikunjungi berkali-kali, kalaupun ada bisa ditebak alasan dibaliknya seperti dekat dan murah meriah. Itupun biasanya karena menuruti keinginan anak-anak yang ingin berwisata, maka diajaklah ke tempat itu, berkali-kali.

Strategi Pariwisata di Jawa Tengah

Konsep wisata Indonesia, khususnya Jateng masih menggunakan konsep lama, yaitu konsep rumah makan. Dimana orang datang sudah dapat diprediksi tujuannya akan makan apa, setelah kenyang pulang. Bayangkan, apabila ada tempat makan sekaligus tempat nongkrong, santai, tidak terbatas status, latarbelakang dan menawarkan kenyamanan. 

Dapat dibayangkan berapa banyak dan lama orang akan datang menghabiskan waktunya ke rumah makan tersebut. Wedangan, atau hik adalah tempat dimana orang datang untuk makan, minum, berkumpul, nongkrong, ngobrol tanpa batasan apapun dan nyaman. Gerobak dapat doasumsikan sebagai daerah, wilayah orang istirahat. 

Sedangkan makanan, minuman dapat diasumsikan sebagai destinasi wisata atau atraksi. Konsep ala wedangan inilah yang mirip dengan pariwisata di Bali dan dapat diimplemetasikan di Jateng, khususnya di daerah Solo Raya. 

Begitulah seharusnya konsep pariwisata, dimana wisatawan menghabiskan banyak waktu menikmati wisata, tidak hanya satu destinasi/event tapi berbagai macam destinasi dan event yang tersedia. Sebetulnya tidak jauh-jauh dibandingkan dengan Bali, cukup dengan jogja (DIY) saja sudah kalah jauh, dan Bali kedua di Indonesia yang sebenarnya adalah Jogja (DIY). 

Sebenarnya apa kunci daya tarik Bali sesunggguhnya? Nyaman, mudah dan konektivitas. Orang nyaman berlama-lama, orang bisa menikmati berbagai atraksi tanpa merasa bosan meski berkali-kali, orang bisa berkeliling berbagai destinasi dengan kemudahan infrastuktur sehingga semua destinasi terkoneksi. 

Jateng dapat meniru dan bersaing dengan Bali, yaitu dengan menerapkan konsep wedangan. Konsep pariwisata ala wedangan, diimplementasikan dengan cara Jateng dibagi menjadi beberapa wilayah/daerah tujuan  pariwisata, paling mudah adalah eks karesidenan, karena konsep wisata seperti Bali hanya dapat diterapkan minimal oleh tiga kota/kabupaten yang saling terkoneksi dalam kepariwisataan. 

Untuk mewujudkan Jateng sebagai Bali kedua, klastersisasi wisata perlu dilakukan menurut batas wilayah daerah tersebut. Perencanaan wisata, akan lebih mudah apabila diklasterisasi menurut eks karesidanan atau kota terdekat.

Selain destinasi wisata, hal yang tidak boleh dilupakan salah satunya adalah rutinitas. Rutinitas atau keseharian masyarakat sekitar obyek/destinassi wisata, harus berjalan selaras dengan destinasi atau event yang dijual, tidak bertolak belakang apalagi malah bentrok dengan kebiasaan warga sekitar. 

Sehingga berwisata menikmati destinasi tidak menggangu masyarakat sekitar dan wisatawan juga akan merasa kerasan menghabiskan waktunya di obyek wisata tersebut. 

Acara keagamaan agama Hindu di pura, pakaian masyarakat Bali yang bersembahyang menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk berkunjung. Pura yang menjadi destinasi wisata, tidak hanya menjadi tempat ibadah, tapi juga sebuah destinasi wajib bagi wisatawan. 

Kunjungan wisatawan yang tidak mengganggu rutinitas masyarakat Bali dalam beribadah, menjadikan sebuah kenyamanan dan magnet kuat wisatawan. Konteks budaya dan perilaku masyarakat itu sendiri menjadi sebuah daya tarik bagi wisatawan tanpa membuat sebuah destinasi wisata. 

Destinasi yang berkesan dan nyaman akan membuat orang betah berlama-lama, menjadikan destinasi tersebut sebagai candu yang akan membuat orang akan selalu kangen dan kembali kesana. 

Tidak hanya bagus atau indah, tapi kesan yang mendalam akan membuat wisatawan kembali lagi. Hal itu yang terdapat di Bali, saat ini daerah lain berlomba-lomba membangun  citra dan destinasi wisata untuk bisa menyaingi Bali, tidak ketinggalan membuat kalender event yang sifatnya rutin atau tidak.  

Sinkronisasi destinasi wisata antar daerah dengan stakeholder lain yaitu hotel, jasa transportasi, jasa makanan minuman, dan destinasi wisata makan harus dikolaborasikan sehingga semua destinasi wisata ramai pengunjung dan wisatawan mau menghabiskan waktunya untuk berkeliling antar daerah menikmati destinasi wisata. 

Disamping hal tersebut, perlu diantisipasi adalah faktor cuaca. Cuaca ekstrim sering kali menjadi momok di wilayah Jateng, dimana banyak terdapat wilayah yang rawan bencana alam, baik saat musim hujan atau musim panas. 

  Wisata ke Solo 

Solo the Spirit of Java, trade mark yang di sematkan pada Kota Surakarta atau lazim disebut Solo. Solo jiwanya Jawa, jantungnya pulau Jawa secara kultur budaya, mungkin demikian maksudnya dengan trade mark yang di sematkan dan di populerkan. Sebagai kota budaya, terdapat  karaton Kasunanan dan karaton Mangkunegaran, pasar Gede serta Pasar Klewer sebagai peninggalan masa lalu. 

Sebagai kota tujuan wisata, Solo menyajikan berbagai pilihan kuliner legendaris yang memanjakan lidah dan tentunya wisata belanja, jangan lupa bahwa masyarakat Solo yang ramah memberikan kenyamanan dan keramahtamahan kepada para pendatang. 

Berkeliling menikmati kota Solo bisa dilakukan dalam satu hari, bahkan kurang tergantung berapa lama menghabiskan waktu di setiap destinsai wisatanya. 

Berbicara tentang Solo atau Sala dalam bahasa Jawa, tidak bisa lepas dari daerah/kabupaten di sekitarnya yang dulu masuk dalam eks karesiedenan Surakarta. 

Tidak sedikit perantau kalau mengenalkan diri lebih banyak mengaku dari Solo, padahal aslinya dari kabupaten sekitar Solo, seperti Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali dll

Dalam dunia pariwisata, lama kunjungan wisatawan sangat berdampak terhadap roda perekonomian, dimana semakin lama wisatawan menetap dan berwisata maka semakin banyak uang yang dikeluarkan. 

Lama kunjungan sangat dipengaruhi oleh tingkat kenyamanan, keunikan dan kualitas destinasi, kualitas infratsruktur pendukung dan tanggapan masyarakat terhadap kehadiran wisatawan. 

Pariwisata yang bagus dan baik adalah pariwisata yang tidak hanya menjual obyek wisata atau destinasi dan event, tapi pariwisata yang dapat meningkatkan potensi yang ada, baik given atau buatan dengan melibatkan semua stakeholder, sehingga tercipta sebuah industri pariwisata. 

Industri pariwisata akan berefek domino terhadap perekonomian dengan memunculkan usaha kecil menengah sebagai penyangga industri pariwisata, memanfatkan tenaga kerja yang banyak dan menarik investasi.

Wedangan on the street

Wedangan atau hik pada awalnya berupa "pikulan" yang di jajakan keliling kampung, lalu berubah menjadi gerobak yang menetap di sebuah lokasi dan menjadi ciri khas hik/wedangan. 

Berubahnya jaman dan semakin terkenalnya sebuah wedangan yang membutuhkan tempat luas dan nyaman maka para pelaku usaha wedangan melakukan inovasi dengan merubah tempat wedangan yang umumnya berupa gerobak dengan ditutupi plastik terpal, berpindah ke sebuah rumah yang di desain unik sesuai dengan tema wedangan atau hobi pemiliknya. Bergaya klasik, cafe atau modern dan tidak jarang dilengkapi dengan pertunjukan live music, menjadi sebuah daya tarik dari wedangan.

Sebagai kota yang menjadi pusatnya wedangan, maka harus dimanfaatkan dengan membuat sebuah destinasi wedangan. Pusat jajanan berupa wedangan dengan fisik gerobak wedangan yang ditata sepanjang jalan tertentu, tidak jauh dari pusat kota dan keramaian. 

Menonjolkan sisi kenyamanan dan seni gerobak wedangan sebagai ikon, dalam prakteknya diperlukan trotoar yang lebar sehingga mampu menampung gerobak wedangan dan pengunjung menikmati suasana kota di sore hari hingga tengah malam.

Untuk menambah nilai jual pusat wedangan, maka diperlukan sebuah atraksi tanpa merusak nilai dari wedangan itu sendiri, yaitu dengan pertunjukan seni musik jalanan yang dapat menarik wisatawan dan mengajak wisatawan kolaborasi, seperti di Malioboro Jogja. 

Pertunjukan seni juga bisa bekerjasama dengan ISI Surakarta atau SMK Pariwisata, sebagai ajang unjuk gigi sekaligus promosi kedua belah pihak. Pertunjukan jalanan, harus diimbangi dengan performa yang bagus, bukan pertunjukan asal-asalan pengamen jalanan.

Korea Selatan, memilii budaya yang hampir mirip dengan Solo dalam kategori jajanan jalanan / street food, yaitu Pojangmacha. Pojangmacha merupakan tempat jajanan lokal bernuansa sederhana, hanya memakai tenda dan kursi yang ada didalamnya, biasanya berjejer di pinggir jalan raya. Menjajakan berbagai jajanan khas Korea Selatan dan alkohol, Soju sebagai minuman wajib yang ada di sana. 

Pojangmacha, sebagai tempat warga lokal berkumpul untuk minum dan makan ringan juga menjadi salah satu destinasi yang ditawarkan ke wisatawan asing yang berkunjung ke Korea Selatan. Sedangkan di wedangan, tidak bisa lepas dari a berbagai macam pilihan minuman teh, baik es teh, teh panas, teh jahe, teh kampul dan lain-lain.  

Di Jepang juga terdapat warung yang hampir mirip dengan yang ada di Korea Selatan, bayangkan saja, budaya warung tersebut sudah ada sejak dari jaman Edo (1609-1868) ratusan tahun yang lalu, warung tersebut bernama Yatai. 

Hampir mirip dengan Wedangan/hik yang ada di Solo, memakai gerobak yang memiliki ban, fungsinya untuk berpindah tempat, jadi tidak permanen, selain itu juga Yatai menggunakan tenda atau kain penutup yang tidak terlalu tertutup seperti pada Pojangmacha, mirip dengan wedangan yang lebih terbuka.

Infrastruktur pendukung diperlukan sebagai antisipasi faktor cuaca yang tidak mendukung terutama pada saat musim hujan. Payung portable yang bisa digunakan saat musim hujan atau dapat digunakan di siang hari apabila ada kegiatan lain yang membutuhkan payung/peneduh. 

Payung portable digunakan untuk menggantikan tenda/terpal yang terkesan kumuh, serta untuk menambah nilai estetika dan seni, dimana wedangan lebih nyaman tanpa tenda untuk menikmati suasana malam dan melihat cerahnya langit malam hari sehingga menambah nilai jual dan kenyamanan, sehingga kegiatan wisata tetap berjalan dengan antisipasi meminimalisir dampak cuaca. 

Infratsruktur lain yang perlu disiapkan adalah kantong parkir, mengingat destinasi wisata wedangan mengggunakan trotoar sebagai tempat berjualan, maka untuk parkir tidak bisa dilakukan di bahu jalan. 

Oleh sebab itu diperlukan kantong parkir yang tidak jauh dari lokasi menggunakan metode parkir berbayar elektronik untuk meminimalisir bocornya PAD dari dana parkir. Menambah kenyamanan dan memperlancar promosi, jaringan internet gratis perlu diberikan di area destinasi wedangan. 

Bukan perkara baru bahwa landmark berupa patung atau tugu terdapat dibanyak lokasi wisata terkenal, maka dari itu perlu dibangun sebuah landmark berupa patung atau tugu wedangan agar menambah nilai jual.

Wedangan tidak bisa lepas dari minuman teh, baik dingin maupun panas. Promosi perusahaan teh melalui media sekaligus kerjasama dengan pengusaha wedangan harus dilakukan dengan apik. 

Bahkan tidak dipungkiri, teh racikan Solo menjadi terkenal bahkan dijual di marketplace online. Wedangan merupakan gaya hidup yang tidak bisa lepas dari kehidupan warga Solo raya, sehingga pantas kalau perusahaan teh turut serta memberikan dukungan riil kepada pengusaha wedangan. 

Mempercantik tampilan gerobak wedangan atau terpalnya, membuat lebih indah dan tentu jangan sampai nilai tradisional dan otentik gaya wedangan yang khas tidak hilang berganti dengan promosi perusahaan yang dominan. 

Sebagai bentuk keseriusan Pemda meningkatkan pariwisata, adanya regulasi terkait juga diperlukan. Konkretnya adalah dengan mengeluarkan Perwali/Perbup tentang aturan di lokasi wisata wedangan, berisi tentang aturan harga penjualan yang tidak boleh mematok harga tinggi, aturan lokasi dijadikan sebagai kawasan wisata, menutup jalan tersebut sebagai jalan bebas kendaraan untuk mendukung wisata wedangan, aturan bebas pemakaian plastik dll.

Terkait dengan kampanye bebas plastik, selain penggunaan wadah/bungkus besar, juga harus diimplementasikan pada area yang lebih khusus misalnya adalah alas makanan yang biasanya menggunakan kertas minyak diganti dengan alas daun. 

Berbagai manfaat selain sisi kualitas makanan juga memaksa masyarakat di daerah lain untuk menanam pohon penghasil daun tersebut, misalnya pohon pisang atau jati. Efek domino dari penggunaan daun pisang, selain memasifkan penanaman pohon pisang juga menambah produksi pisang. 

Dari buah pisang tersebut bisa dihasilkan berbagai macam produk turunan bernilai ekonomi. Solo diapit kabupaten sekitarnya yang masih memiliki Kawasan hutan dengan berbagai macam tanaman yang daun-daunnya dapat dijadikan sebagai alat pengganti kemasan plastik.

Manfaat riil yang didapatkan dari adanya pusat wedangan yaitu selain semakin memviralkan wedangan juga menambah lapangan pekerjaan dan mendukung UMKM, antara lain sebagai berikut :

Semakin besar dan banyak wedangan yang didirikan, maka semakin banyak jumlah pedagang pensuplai makanan minuman wedangan, karena rata-rata makanan di wedangan adalah makanan titipan dari berbagai penyuplai yang berbeda-beda.

Existensi wedangan sebagai sebuah usaha perdagangan dan sebuah warisan budaya yang wajib dilestarikan ditengah masifnya budaya asing yang masuk dengan bertema teknologi dan kekinian, seperti pojangmacha di Korea Selatan dan Yatai di Jepang, tidak dihilangkan tapi diinovasikan sesuai perkembangan jaman

Menumbuhkan perekonomian di sektor lain sebagai salah satu suplai bahan pendamping bisnis wedangan misalnya, perkebunan pisang dan pohon berdaun yang lain. Dari kebun pisang tersebut menghasilkan kegiatan ekonomi lainnya.

Memicu inovasi membuat makanan/minuman khas yang ada di wedangan untuk dibuat instan atau kalengan.

Memicu dibuatnya museum atau wisata sejarah asal muasal wedangan / hik yang berasal dari Klaten, sehingga memberikan manfaat tambahan bagi daerah di sekitar Solo.

Meningkatnya penjualan teh lokal, akan terbentuk komunitas peracik, penikmat teh yang tidak kalah dengan komunitas kopi saat ini yang menjadi trend anak muda.

 Konsep ini lebih cocok apabila diimplemetasikan di kota Solo / Surakarta, sebab secara budaya wedangan itu sendiri tidak bisa lepas dari masyarakat Solo raya, dengan Kota Surakarta sebagai pusatnya atau gerobaknya dan kabupaten sekitar menjadi makanan, minuman yang ada di wedangan. 

Selain itu secara infrastuktur, kota Surakarta lebih lengkap untuk djjadikan sebagai pusat, terumata dalam hal transportasi dan penginapan. Tulisan ini ditulis menjelang pandemi Covid-19, sehingga apabila diimplementasikan sekarang di masa pandemi mulai berakhir masih cukup relevan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun