Konsep wisata Indonesia, khususnya Jateng masih menggunakan konsep lama, yaitu konsep rumah makan. Dimana orang datang sudah dapat diprediksi tujuannya akan makan apa, setelah kenyang pulang. Bayangkan, apabila ada tempat makan sekaligus tempat nongkrong, santai, tidak terbatas status, latarbelakang dan menawarkan kenyamanan.Â
Dapat dibayangkan berapa banyak dan lama orang akan datang menghabiskan waktunya ke rumah makan tersebut. Wedangan, atau hik adalah tempat dimana orang datang untuk makan, minum, berkumpul, nongkrong, ngobrol tanpa batasan apapun dan nyaman. Gerobak dapat doasumsikan sebagai daerah, wilayah orang istirahat.Â
Sedangkan makanan, minuman dapat diasumsikan sebagai destinasi wisata atau atraksi. Konsep ala wedangan inilah yang mirip dengan pariwisata di Bali dan dapat diimplemetasikan di Jateng, khususnya di daerah Solo Raya.Â
Begitulah seharusnya konsep pariwisata, dimana wisatawan menghabiskan banyak waktu menikmati wisata, tidak hanya satu destinasi/event tapi berbagai macam destinasi dan event yang tersedia. Sebetulnya tidak jauh-jauh dibandingkan dengan Bali, cukup dengan jogja (DIY) saja sudah kalah jauh, dan Bali kedua di Indonesia yang sebenarnya adalah Jogja (DIY).Â
Sebenarnya apa kunci daya tarik Bali sesunggguhnya? Nyaman, mudah dan konektivitas. Orang nyaman berlama-lama, orang bisa menikmati berbagai atraksi tanpa merasa bosan meski berkali-kali, orang bisa berkeliling berbagai destinasi dengan kemudahan infrastuktur sehingga semua destinasi terkoneksi.Â
Jateng dapat meniru dan bersaing dengan Bali, yaitu dengan menerapkan konsep wedangan. Konsep pariwisata ala wedangan, diimplementasikan dengan cara Jateng dibagi menjadi beberapa wilayah/daerah tujuan  pariwisata, paling mudah adalah eks karesidenan, karena konsep wisata seperti Bali hanya dapat diterapkan minimal oleh tiga kota/kabupaten yang saling terkoneksi dalam kepariwisataan.Â
Untuk mewujudkan Jateng sebagai Bali kedua, klastersisasi wisata perlu dilakukan menurut batas wilayah daerah tersebut. Perencanaan wisata, akan lebih mudah apabila diklasterisasi menurut eks karesidanan atau kota terdekat.
Selain destinasi wisata, hal yang tidak boleh dilupakan salah satunya adalah rutinitas. Rutinitas atau keseharian masyarakat sekitar obyek/destinassi wisata, harus berjalan selaras dengan destinasi atau event yang dijual, tidak bertolak belakang apalagi malah bentrok dengan kebiasaan warga sekitar.Â
Sehingga berwisata menikmati destinasi tidak menggangu masyarakat sekitar dan wisatawan juga akan merasa kerasan menghabiskan waktunya di obyek wisata tersebut.Â
Acara keagamaan agama Hindu di pura, pakaian masyarakat Bali yang bersembahyang menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk berkunjung. Pura yang menjadi destinasi wisata, tidak hanya menjadi tempat ibadah, tapi juga sebuah destinasi wajib bagi wisatawan.Â
Kunjungan wisatawan yang tidak mengganggu rutinitas masyarakat Bali dalam beribadah, menjadikan sebuah kenyamanan dan magnet kuat wisatawan. Konteks budaya dan perilaku masyarakat itu sendiri menjadi sebuah daya tarik bagi wisatawan tanpa membuat sebuah destinasi wisata.Â