Berapa jumlah anggaran negara yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan event-event promosi pariwisata, seberapa efektif destinasi dan prmosoi dapat menjaring investasi, minimal berapa kunjungan wisatawan dan berapa jumlah PAD yang didapatkan, mungkin itu beberapa pertanyaan yang banyak dikemukakan terkait dengan kegiatan promosi pariwisata yang dilakukan oleh pemerintah. Lalu bagaimana cara mengetahui efektivitas promosi tersebut?Â
Selama ini banyak sekali berita, kajian dan laporan baik dari dinas pariwata atau BPS terkait jumlah kunjungan wisata ke daerah, baik wisatawan mancanegara atau dalam negeri.Â
Dari laporan tersebut apakah dapat dikaitkan dengan hasil promosi atau event pariwisata dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan? Efektivitas sebuah promosi mestinya tidak hanya dilihat dari jumlah kunjungan saja, akan tetapi dari seberapa besar dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat secara luas, tidak hanya yang ada di sekitar destinasi/obyek wisata.Â
Selain pertumbuhan ekonomi, seberapa besar juga dampaknya terhadap masuknya investasi dan bertambah majunya infrastruktur sebagai penunjang. Selain ekonomi dan investasi, satu hal yang penting dan seringkali dilupakan adalah existensi orisinilitas budaya/destinasi di daerah tersebut.Â
Wisatawan mancanegara tidak akan datang jauh-jauh menghabiskan waktu dan biaya apabila destinasi wisata yang ada mirip atau sama dengan yang ada di negaranya. Jangan sampai melakukan promosi ke Eropa dan Amerika, yang terjadi justru destinasi wisata yang ada malah meniru budaya barat.Â
Pemerintah berusaha menambah pendapatan negara melalui pariwisata dengan menarik wisatawan, tapi infrastruktur dan destinasi wisata tidak layak/siap untuk level internasional. Menciptakan destinasi wisata untuk level nasional tapi pengunjung lebih banyak dari lokal.
Mampukah Jawa Tengah (Jateng) meniru keberhasilan Bali dalam menjalankan industri parisiwatanya? Jawabannya bisa, tapi masih sangat jauh dan sulit. Kenapa begitu? Pertama, wisata Jateng belum/bukan industri pariwisata, Jateng hanya menjual destinasi wisata tiap daerahnya.Â
Kedua, Jateng terlalu luas dan budaya lokalnya berbeda tiap daerahnya, berbeda dengan di Bali yang secara umum hampir sama, sehingga perlu di persempit.Â
Ketiga, mindset polapikir masyarakat Bali dengan Jateng berbeda, di Bali lebih aware dan welcome dengan orang/budaya asing yang datang ke daerahnya sedangkan Jateng tidak semua daerah masyarakatnya mau menerima dan beradaptasi terhadap kunjungan wisata dengan berbagai kompleksitas dampaknya.Â
Keempat, egosentris tiap daerah yang mengunggulkan destinasi wisatanya. Bali, apapun dan dimanapun destinasinya selalu dan hanya Bali yang diingat/sebut, bukan kota/kabupatennya, Bali sebagai ikon.Â
Kelima, harus menciptakan destinasi wisata dengan orientasi / target wisatawan khusus. Keenam, mengevaluasi kegiatan wisata selama ini dan meningkatkannya dengan mensinergikan seluruh kegiatan wisata dengan stakeholder industri wisata.