1. Keterbatasan perangkat dan infrastruktur
    Implementasi coding di sekolah dasar sering kali terhambat oleh keterbatasan perangkat dan infrastruktur yang memadai. Banyak sekolah, terutama di daerah terpencil, tidak memiliki akses yang cukup terhadap komputer atau perangkat teknologi lainnya yang diperlukan untuk pembelajaran coding. Menurut laporan dari CSTA (2020), hampir 50% sekolah di Amerika Serikat tidak memiliki laboratorium komputer yang memadai untuk mendukung pembelajaran coding. Hal ini berimplikasi pada kemampuan siswa untuk belajar dan berlatih coding secara efektif. Dalam konteks Indonesia, data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang belum memiliki koneksi internet yang stabil, yang sangat penting untuk mengakses sumber daya pembelajaran online.
2. Biaya pelatihan dan pengadaan alat
    Biaya yang diperlukan untuk pelatihan guru dan pengadaan alat juga menjadi tantangan signifikan. Pelatihan guru dalam mengajarkan coding memerlukan investasi waktu dan uang yang tidak sedikit. Menurut Yadav dan Good (2020), banyak guru yang merasa tidak siap untuk mengajarkan coding karena kurangnya pelatihan yang memadai. Selain itu, pengadaan perangkat keras dan perangkat lunak yang diperlukan untuk pengajaran coding juga bisa menjadi beban finansial bagi sekolah. Dalam banyak kasus, sekolah-sekolah harus bergantung pada dana bantuan atau sponsor eksternal untuk memenuhi kebutuhan ini, yang tidak selalu dapat diandalkan.
B. Persepsi dan Sikap terhadap Coding
1. Mitos dan fakta tentang coding
    Salah satu tantangan utama dalam implementasi coding di sekolah dasar adalah banyaknya mitos yang beredar mengenai coding itu sendiri. Banyak orang tua dan pendidik yang beranggapan bahwa coding hanya untuk anak-anak yang "jenius" atau yang memiliki latar belakang dalam ilmu komputer. Padahal, coding sebenarnya adalah keterampilan yang dapat dipelajari oleh siapa saja, tanpa memandang latar belakang akademis. Bers (2018) menyatakan bahwa coding harus dipandang sebagai literasi baru yang seharusnya diajarkan kepada semua siswa. Mitos ini dapat menghalangi siswa yang memiliki potensi untuk belajar coding, sehingga penting bagi sekolah untuk mengedukasi masyarakat tentang fakta-fakta ini.
2. Mengubah pandangan masyarakat dan pendidik
    Untuk mengubah pandangan masyarakat dan pendidik terhadap coding, diperlukan strategi yang sistematis dan terencana. Salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah melalui penyuluhan dan workshop yang melibatkan orang tua dan guru. Menurut Grover dan Pea (2018), keterlibatan orang tua dalam proses pembelajaran coding dapat meningkatkan minat siswa. Dengan memberikan informasi yang jelas dan akurat tentang manfaat coding, diharapkan dapat mengurangi stigma negatif dan meningkatkan penerimaan terhadap pengajaran coding di sekolah dasar. Selain itu, contoh sukses dari program-program coding di sekolah lain juga dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi pendidik untuk mengadopsi pendekatan ini.
    Dalam konteks pendidikan abad 21, coding bukan hanya sekadar keterampilan teknis, tetapi juga merupakan bagian integral dari pengembangan pemikiran kritis dan kreatif siswa. Dengan mengatasi kendala sumber daya dan mengubah persepsi masyarakat, sekolah dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan mendukung. Data menunjukkan bahwa siswa yang terlibat dalam pembelajaran coding memiliki kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik (Korkmaz & Tamer, 2020). Oleh karena itu, penting bagi pihak berwenang dan pemangku kepentingan untuk berkolaborasi dalam menyediakan sumber daya yang diperlukan dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya coding sebagai bagian dari kurikulum pendidikan.
    Dengan demikian, tantangan dalam implementasi coding di sekolah dasar dapat diatasi melalui pendekatan yang holistik, yang mencakup peningkatan infrastruktur, pelatihan guru, dan perubahan persepsi masyarakat. Upaya ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi juga mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan di masa depan yang semakin digital.