Review SkripsiÂ
" PANDANGAN TOKOH AGAMA TERHADAP LARANGAN PERNIKAHAN ANTAR DESA NGRAJI DAN DESA KALONGAN DI KECAMATAN PURWODADI KABUPATEN GROBOGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM" Â Oleh M.Hanif AfifudinÂ
Ridhwan Nafi' Maula Nashrullah (222121125)
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia
Pendahuluan
Pada dasanrya dalam pelaksanaan Pernikahan dan juga Aturanya memiliki banyak aneka ragam. Tidak hanya dalam antar pernikahan agama, tetapi juga ada antar adat masyarakat satu dengan lain yang memiliki beberapa aneka ragam dalam atruan dan juga pelaksanaan pernikahan.Â
Hal ini dikarenakan adanya pengalaman hidup masyakat tertentu sejak dahulu yang saat ini masih dipertahankan dan juga  diselaraskan dengan agama dan juga kepercataan dan juga keyakinan masyarakat khususnya dalam agama islam. Dengan adanya hal ini maka Pernikahan dalam Perkembangan islam ini dapat berakulturasi dengan adat disuatu daerah. [1]Â
Bisa diambil contoh seperti adat jawa yang memunculkan istilah tentan islam kejawen. Islam kejawen ini banyak hadir di kehidupan masyarakat yang kehidupan budaya adat jawanya tidak terpisahkan dengan agama islam dan juga terus berkembang dengan adanya beberapa aspek kehidupan dalam masyarakat jawa yang termasuk dengan aspek pernikahan tersebut.
Di daerah Kabupaten Grobogan khususnya di Desa Ngraji dan juga Desa Kalongan, masih banyak masyarakat yang mempercayai dengan peninggalan adat pernikahan para pendahulu. Para pendahulu meninggalkan sebuah adat yaitu yaitu larangan pernikahan antar Desa Ngraji dan juga Desa Kalongan.Â
Adat ini masih dipegang kuat oleh kedua Desa tersebut. Jika hal ini dihubungkan dengan perspektif hukum islam, maka adat pernikahan dari kedua Desa tersebut tidak termasuk dalam hal yang dapat menghalangi atau melarang seseorang untuk menikah. Dengan adanya hal tersebut mewujudkan beberapa sudut pandang yang berbeda, baik dari segi undang-undang, Â bahkan hukum islam, dan juga hukum adat pada suatu daerah tertentu.Â
Akan sangat menarik jika larangan tersebut muncul dari pendapat para tokoh agama, yang menjadi pertanyaan  bagaimana jika larangan antar kedua Desa ini ditinjau dari pandangan tokoh agama, dimana di daerah Desa Ngraji dan juga Desa Kalongan ini masih banyak masyarakat yang memeluk agama islam walaupun ada beberapa yang memilikki keyakinan berbeda.
Alasan saya mengambil judul skripsi ini karena penulis mengangkat sebuah permasalahan yang menurut saya unik. Dimana yang membuat saya tertarik adalah yang dilarang menikah adalah Desa yang masih dalam satu Kabupaten di Grobogan. Padahal biasanya yang muncul adalah permasalahan tentang larangan pernikahan antar suku seperti jawa dan sunda, atau juga larangan pernikahan beda agama.Â
Maka dari itu saya tertarik untuk mereview skripsi dari M.Hanif Afifudin yang berjudul " Pandangan Tokoh Agama Terhadap Larangan Pernikahan Antar Desa Ngraji dan Desa Kalongan di Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan dalam Perspektif Hukum Islam"
Â
Pembahasan
Jadi mengenai larangan pernikahan antara Desa Ngraji dan Desa Kalongan ini memiliki asal usul tersenndiri. Sebelumnya laranggan ini belum ada tetapi karena ada pertikaian antara orang terdahulu entah dari Desa Ngraji maupun Desa Kalongan. Dimana pada zaman dahulu nenek moyang mereka mengadakan pertemppuran fisik maupun non fisik, dimana yang menjadi pemenang dijanjikan akan mendapatkan sebidang tanah serta tanamanya.Â
Tetapi hasil akhir dari pertempuran tersebut adalah imbang, sehingga dilanjutkan dengan pertandingan adu ayam jago atau pada waktu itu tempatnya disebut dengan Oro-oro jago. Pada pertandingan ini Desa Ngraji menjadi juaranya, sehingga dari Desa Kalongan menantang lagi untuk adu kuat dalam mabuk-mabukan. Dari mabuk-mabukan ini Desa Ngraji kalah sehingga tidak bisa pulang karena mabuk sempayang.Â
Orang dari Desa Ngraji ini meminta untuk dipulangkan, tetapi Orang dari Desa Kalongan memberi syarat yaitu digendong serta dimintai upah sebuah tanah. karena hal tersbut peristiwa ini dinamakan tanah gendong seret. Dengan adanya peristiwa tersebut munculah sebuah sumpah yang dilanturkan dari pendahulu Desa Ngraji karena sudah dibohongi.Â
Saat itu diucapkan "sopo sopo anak turunku termasuk anak putu sak terus e ojok ngasi jejodohan karo wong kalongan" dari ucapan inilah yang menjadi awal mula dilarangnya pernikahan orang dari Desa Ngraji dan Desa Kalongan.
Menurut carik dan juga sesepuh dari Desa Ngraji yaitu Bapak Suwardi, beliau beranggapan bahwasanya dengan adanya sabda dari pendahulu mengakibatkan adanya kejadian tanah dari Desa Ngraji dan juga Desa Kalongan membelah sampai rumput dari Desa Ngraji yang tumbuh di tanah Desa Kalongan mati. dan juga ada satu kejadian bahwasanya ada seorang laki-laki dari Desa Ngraji dan perempuan dari Desa Kalongan yang dua-duanya saling mencintai, sehingga mereka memutuskan untuk menikah dengan menghiraukan larangan dari sesepuh.Â
Higga pada suatu hari keduanya pergi ke sawag untuk mengerjakan sawahnya, dimana perempuan ini ke sawah untuk menanam padi sedangkan laki-lakinya mengurus padi. Pada saat iut terjadilan si perempuan ini kakinya digigit lintah sehingga mengakibatkan perempuan ini meninggal dunia.Â
Dengan adanya kejadian tersebut laki-laki merasa malu karena tidak mendengarkan larangan dari sesepuh zaman dahulu. Karena laki-laki ini merasa malu akhirnya ia pergi ke sawah untuk mencari pusaka yang ada di kalen ( aliran air yang berada di pinggiran sawah). Dan laki-laki ini mendapatkan pusaka tersebut dan bunuh diri dengan menggunakan pusaka tersebut.Â
Dengan adanya hal tersebut membuat banyak sekali kegagagalan jika ada orang dari Desa Ngraji menikah dengan orang dari Desa Kalongan. Hal tersebut membuat masyarakat setempat mensakralkan dan mempercayai larangan tersebut.
Dengan adanya adat tersebut menciptakan adat yang berkesinambungan yaitu mengenai pra akad pernikahan. Pra akad pernikahan ini berupa izin untuk lewat pada saat akan diselemggarakanya pernikahan dengan warga desa sekitarnya atau desa tetangga baik dari Desa Ngraji maupun Desa Kalongan.Â
Adat ini hanya berlaku bagi Desa Ngraji dan juga Desa Kalongan saja. Jadi, jika ada warga Desa Kalongan yang akan melaksanakan pernikahan denga Desa lainya yang mana pernikahan tersebut haru melewati jalan Desa Ngraji maka dari Desa Kalongan haru meminta izin terhadap salah satu tokoh adat yang ada di Desa Ngraji, begitu pula sebaliknya.Â
Meminta izinnya pun ada syarat-syaratnya, seperti memberi barang berupa makanan, bunga tujuh rupa, ingkung, rokok, dan lain sebagainya. Dan juga calon mempelai akan di doakan oleh sesepuh desa agar pernikahaya baik-baik saja. Jika salah satunya ada yang melanggar adat tersebut maka pernikahanya diyakini akan tidak baik-baik saja.
Jika dilihat dari sisi agama dan juga ilmu pengetahaun, secara rasional sedikit demi sedikit telah menggeser beberapa kepercayaan orang zaman dahulu, walaupun masih ada beberapa yang masih dupercayai dan masih melekat oleh sebagaian masyarakat.Â
Salah satu yang masih melekat sampai sekarang yaitu adat yang ada di Kabupaten Grobogan, yang merupakan larangan menikah antara Desa Ngrai dan juga Kalongan. Hal ini sudah menjadi suatu yang wajar pada masyarakat Indonesia yaitu dalam hal menghubungkan hukum islam dan juga hubungan adat.Â
Dimana keduanya ini menjadi dua hal yang selalu berpisah dan tidak dapat disatukan. Menurut hukum islam pun Perkawinan hanyalah kontrak antara individu yang melangsungkan pernikahan saja, sedangkan dalam humum adat perkawinan merupakan ikatan yang menghubungkan dua keluarga yang tampak jelas dari upacara itu. Padahal yang saya ketahui bahwa hukum islam adalah penyempurnaan dari hukum adat, sebab jika dalam hukum adat terjadi perselisihan maka yang akan menjadi tolak ukuran kesempurnaan adalah hukum islam.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah mewawancarai beberapa tokoh agama yang ada di Desa Ngraji dan juga Desa Kalongan. Dimana masing-masing tokoh ini memiliki pendapat sendiri-sendiri. yang pertama, yaitu tokoh agama dari Desa Ngraji ( Bpk. Muhammad Zaenuri) beliau berpendapat bahwa asal adat tersebut tidak sampai membawa agama maka tidak apa-apa. Karena kebanyakan orang tidak berani untuk meninggalkan adat juga.Â
Dan juga adat itu boleh untuk di taati tetapi tidak harus sepenuhnya. Maka jika kita ingin dapat keselamatan harus menyertakan Allah dalam hukum adat tersebut. Karena dalam adat ini juga ada yang namanya slametan dimana kita mencurahkan rasa syukur kita. Dalam mencurahkan rasa syukur ini juga jangan sampai berpaling dari Allah. jika sampai salah dalam mencurahkan rasa syukur kita, hal tersebut dapat menjadikan kita bersekutu dengan Allah. dan juga untuk menjadi tokoh agama di Desa Ngraji ini harus berhati-berhati karena tokoh agama disini juga tidak terlalu dipandang.Â
Dimana masyarakat di Desa tersebut termasuk masyarakat yang abangan. Melihat masyarakat rukun, mau gotong royong pun itu sudah membuat tokoh agama sangat bersyukur. Di Desa ini juga masih banyak yang belum sepenuhnya mempercayai agama. Maka untuk menjadi salah satu tokoh agama di Desa ini tidaklah mudah, harus memiliki mental dan juga rasa sabar yang kuat.
Yang ke-dua, yaitu masih tokoh agama dari Desa Ngraji (Bapak Turmudhi) beliau berpendapat bahwa semua menjadi sah jika tidak melanggar syari'at. Dimana yang menjadi rujukan beliau adalah kitab hadits Mizzanul umur assyariat. Dimana dalam kitab ini yang menjadi tolak ukuran adalah soal syariat jika cocok dengan syariat maka lakukan jika tidak ya jangan dilakukan.Â
Dan juga mengenai masalah pernikahan tersebut beliau berpendapat bahwa pernikahan itu halal-halal saja, jika kita meyakini akan menimbulkan masalah maka boleh untuk tidak melaksanakan, tetapi jika kita tidak meyakini adat tersbut ya boleh-boleh saja untuk melakukan.
Yang ke-tiga, yaitu tokoh dari Desa Ngraji juga ( Bapak Nduli Nur Sito) dimana bapak Nduli ini termasuk yang pernah tersandung masalah adat ini juga. Ternyata menurut beliau adat ini belum jelas kebenaranya dan tentu telah berlwanan dengan syari'at. Beliau memberi ulasan al adatul mukhakamah dimana untuk mengikis adat yang tidak ada kejelasanya membutuhkan iman yang kuat dan menghadirkan Allah dalam menyelesaikanya. Kemudian alyakinu la yuzalu bissyak dimana untuk melawan adat ini membutuhkan rasa yakin kepada Allah.
Setelah mewawancari tiga narasumber tokoh agama dari Desa Ngraji, penulis juga mewawancarai beberapa tokoh agama dari Desa Kalongan. Hal tersebut dilakukan penulis agar mengetahui pandangan dari dua tokoh agama dari dua Desa tersebut entah Desa Ngraji dan juga Desa Kalongan.Â
Yang pertama, penulis mewawancarai (Bapak Yaenuri) beliau berpendapat bahwa mengenai larangan pernikahan ini sudah menjadi hal yang wajar, karena pada zaman dahulu dalam hal penikahan orang-orang di Desa tersebut menggunakan ilmu kejawhe. Dimana hal tersebut menjadi sebuah tolak ukur mereka.Â
Beliau juga meyakini bahwa ketika orang terdahulu berucap atau bersabda maka itu sangatlah ampuh. Bapak Yaenuri bisa berpendapat seperti itu karena beliau memiliki pengalaman pada waktu itu. Tapi pada akhirmya pendapat beliau kurang lebih sama dengan yang lain. Mengenai adat ini semua tergantung yang melakukan jika kita percaya jika adat ini benar maka lakukan saja asal tidak melanggar syari'at. Begitu juga jika kita tidak meyakini adat tersebut maka juga tidak apa-apa, karena pada dasarnya adat ini dalam islam pun tidaklah diajarkan.
Yang ke-dua, penulis mewawancarai (Bapak Fathul Mukhlis) beliau ini adalah salah satu tokoh agama yang begitu memahami tentang haidts. Pendapat beliay tentang adat tersebut adalah adat ini tidak hanya ada di Ngraji dan Kalongan saja dimana di daerah lain juga ada adat yang mengenai tentang pernikahan.Â
Tetapi kita juga harus meyakininya secara islami dimana kebaiakan maupun kekurangan dalam rumah tangga adalah dari Allah yang mengatur. Bukan berasal dari larangan adat atau apa. Dan jika kita sangat meyakini adat tersebut akan menimbulkan bahaya dimana sama saja kita beranggapan bahwa ada suatu kekuatan selain dari Allah atas nasib berumah tangga seseorang.Â
Hal tersebut juga menjatuhkan diri kkta dalam kemusyrikan. Maka hal yang kita lakukan adalah menghormati adat tersebut. Menghormati dalam arti tidak menjelekanya atau untuk menghargai adat tersebut bisa kita sisipkan dalam acara pernikahan yaitu acara slametan dengan tujuan meminta perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari masalah rumah tangga maupun antisipasi kita dengan ucapan-ucapan warga sekitar jika kita dianggap melanggar adat tersebut.
Yang ke-tiga, (Bapak Ridwan Santoso) beliau ini termasuk tokoh agama dari Desa Kalongan yang melanggar pernikahan adat tersebut. Dimana beliau ini menikah dengan Ibu Dewi yang berasal dari Desa Ngraji pada tahun 2009 lalu. Dan juga beliau membuktikan bahwa sampai sekarang rumah tangga beliau baik-baik saja dan ekonomi keluarga beliau tercukupi.Â
Selain adat tersebut jika dilihat dari hukun adat beliau ini juga melanggar adat yang ada di Grobogan yaitu pernikahan Ngalor-Ngetan. Disaat Pra-akad nikah pasti terjadi cekcok terlebih dahulu. Dimana Bapak dari Ibu Dewi ini tidak mau untuk mengakadkan anaknya. Padahal syaray dari pernikahan adalah di ijabkan oleh orang tauanya.Â
Bapaknya beralasan bahwa beliau masih memegang erat adat tersebut. Belaiu takut terjadi apa-apa jika melanggarnya. Setelah melakukan pendekatan yang dilakukan oleh saudara Ibu Dewi ini untuk membujuk bapaknya. Akhirnya bapaknya mau menikahkan anaknya tetapi yang mengijabkan adalah dari pihak KUA.
Berikut adalah panndangan para tokoh agama entah dari Desa Ngraji maupun Desa Kalongan. Bisa disimpulkan bahwa mereka menyepakati jika larangan adat ini telah bertolak belakang dengan hukum islam. Tetapi ada beberpa pendapat bahwa kita harus menghormati adat tersebut, karena mereka telah tumbuh besar di lingkungan yang memang adatnya masih kental akan adat jawanya.Â
Tetapi walaupun mereka menolak adat tersebut, nyatanya dari beberapa tokoh agama tersebut tidak ada yang berani untuk mengubahnya. Karena untuk menyadarkan masyarakat yang adat jawanya masih kental juga susah. Mereka membtuhkan kesabaran untuk menyadarkan masyarakat.
Setelah mengetahui beberapa pandangan tokoh agama tersebut. Saya mempetakan terdapat dua karakter pandangan, yaitu tasydadud dan tasahul.Â
Pandangan yang pertama memiliki karakter sikap terlalu keras dalam mneyikapi suatu hal, sedangkan pandangan yang kedua memuat karakter sifat yang terpuji dalam suatu pergaulan dan juga didalamnya terdapat rasa saling menghargai sesamanya. Munculnya beberapa ragam pandangan dari tokoh agama tersebut. Mengahasilkan suatu analisis dari beberapa pendapat tokoh agama tersebut.
Dari pandangan Bapak Muhammad Zaenuri dapat dianalisis bahwasanya adat yang ada ini bagi masyarakat setempat telah merasa bahwa adat ini sudah menjadi hukum tersendiri bagi mereka. Padahal dalam hukum islam hal adat tersebut tidak ada dalam bab pernikahan. Jadi jika dikaitkan dengan Ushul Fiqh maka hak ini termasuk dari Istihsan yaitu menganggap baik terhadap sesuatu, maka misal jika ada suatu hal yang tidak ada nash hukumnya dapat disumpulkan akan menggunakan dua aspek, peratama yaitu tentang aspek nyata, merupakan aspek nyata yang mengehndaki adanya suatu hukum. Kemudia aspek yang kedua adalah aspek tersembunyi. Dimana aspek ini lebih menghendaki hukum yang lain. Jadi masyarakat beranggapan, selagi yang dilakukanya itu adalah hal yang baik walaupun tidak ada nash al-qur'an atau haduts yang melarang maka akan tetap dipaki.
Kemudian lanjut pada pandangan Bapak Nduli Nur Sito membahas tentang masalah hukum yang terkait dengan Larangan pernikahan antar desa. Berdasarkan argumennya, beliau mengemukakan beberapa poin penting:
- Tersandung Masalah : Bapak Nduli Nur Sito pernah menghadapi masalah ini dan berfikir dua kali sebelum menanganinya.
- Belum Sanggup Mengubah Keyakinan Masyarakat : Meskipun beliau ingin mengubah keyakinan masyarakat, namun saat ini belum mampu melakukannya.
- Perubahan Keyakinan Seiring Waktu : Beliau percaya bahwa keyakinan masyarakat dapat berubah seiring berjalannya waktu.
- Kajian Usul Fiqh : Bapak Nduli Nur Sito menyarankan untuk menggali masalah hukum ini melalui kajian usul fiqh.
- Ilmu Pengetahuan Sosial : Menurut beliau, untuk meneliti suatu hukum, seseorang harus memiliki keyakinan yang kuat dan menguasai ilmu pengetahuan sosial.
- Pentingnya Menghormati Adat : Meskipun tidak setuju dengan adat, beliau tetap menghormatinya karena merupakan bagian dari lingkungan adat. Â
Semua ini menunjukkan pendekatan berpikir yang bijaksana dan pertimbangan yang matang dalam menghadapi masalah hukum dan keyakinan masyarakat. Dalamhukum adat seringkali dianggap sangat kuat oleh kelompok masyarakat adat untuk mengatur hubungan antar anggota masyarakat.Â
Namun, jika kita menggali lebih dalam, ada hubungan khusus antara hukum adat dan hukum Islam. Ada beberapa kaetgori dalam sudut pandang  al-ahkam al-khamsah , yaitu lima kategori kaidah hukum Islam yang mengatur tingkah laku manusia, terutama bagi umat Muslim:
- Haram (Larangan) : Hukum Islam melarang tindakan-tindakan tertentu, dan ini berlaku untuk semua Muslim.
- Fard (Kewajiban) : Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim.
- Makruh (Celaan) : Tindakan yang sebaiknya dihindari, meskipun tidak diharamkan secara tegas.
- Sunnah (Anjuran) : Tindakan yang dianjurkan berdasarkan contoh Nabi Muhammad SAW.
- Ja'iz (Boleh) : Tindakan yang diperbolehkan, tetapi tidak wajib.
Dalam menggabungkan hukum adat dengan hukum Islam, beberapa metode yang digunakan antara lain:
- Ijma : Kesepakatan para ulama tentang suatu masalah hukum.
- Qiyas : Analogi hukum berdasarkan kasus yang serupa.
- Istidal : Mengambil hukum dari dalil-dalil yang tidak langsung terkait.
- Al-maslahah al-mursalah : Mengambil hukum berdasarkan kemaslahatan umum.
- Istihsan : Menggunakan pendekatan yang lebih maslahi daripada qias.
- Istishab : Mengasumsikan keberlanjutan suatu hukum.
- 'Urf : Mengambil hukum berdasarkan kebiasaan masyarakat.
Â
Namun, perlu dicatat bahwa hukum adat harus selaras dengan aqidah Islam. Jika tidak bertentangan, maka bagian hukum adat dapat dimasukkan baik yang ada sebelum Islam maupun yang muncul kemudian. Banyak kitab fiqh Islam membahas masalah hukum berdasarkan urf (kebiasaan), karena para ahli hukum mengakui urf atau adat sebagai salah satu sumber hukum. Semua ini menunjukkan kompleksitas dan keterkaitan antara hukum adat dan hukum Islam, serta pentingnya memahami kedua aspek ini secara holistik dalam konteks masyarakat.Â
Selanjutnya yaitu analisis hukum dari pandangan Bapak Turmudhi, yaitu salah satu tokoh agama dari Desa Ngraji yang berlatang belakang pondok pesantren dan juga sekarang memilki jamaah mujahadah dan juga mengajarkan beberapa kita-kitab klasik ala pondok pesantren salafi. "Beliau mengatakan 'Mizanul Umar Assyariatu' Pertimbangan dalam perkara-perkara ini mengacu pada syariat. Jika syariat mengizinkan, maka jalankanlah.Â
Namun, jika syariat melarang, sebaiknya jangan dilakukan. Saya hanya mengikuti syariat berdasarkan hadis yang ada. Siapa pun yang tidak mengikuti syariat, melakukan kesalahan. Mengenai pernikahan, jika halal, mengapa harus dilarang? Jika larangan tersebut berpotensi menimbulkan masalah atau dampak negatif, sebaiknya dihindari. Namun, jika tidak ada masalah, silakan lakukan saja.
Berdasarkan penjelasan Bapak Turmudhi, beliau sangat memegang teguh prinsip dan ajaran yang telah disyariatkan. Jika syariat tidak membenarkan suatu tindakan, maka sebaiknya tidak dilaksanakan. Oleh karena itu, larangan pernikahan antar desa yang sangat melenceng dari kebenaran hukum sebaiknya dihindari selamanya.Â
jika masyarakat menghindari musibah atau kesialan dalam menjalin hubungan pernikahan, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan. Meskipun pernikahan sangat dianjurkan, namun jika bertentangan dengan syara' dan syarat-syarat tertentu, maka sebaiknya dihindari. Para mujtahid mengacu pada 'urf (kebiasaan) yang mengandung kemaslakhatan dan dapat diterima oleh akal sehat.Â
Meskipun 'urf ini dianggap baik oleh masyarakat, kalangan ulama tidak menerima kebiasaan ini. Pada hakikatnya, musibah yang terjadi akibat pernikahan bukanlah sesuatu yang benar menurut syariat. Semua musibah berasal dari Allah SWT dan disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri, sebagaimana firman Allah yang dijelaskan dalam surat Asy-Syuara ayat 30.
Pernikahan adalah tindakan yang diperbolehkan, dan sebaiknya tidak dipersulit. Dalam hukum Islam, pernikahan dianggap mubah (boleh-boleh saja) selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang sudah ditetapkan. Namun, ada beberapa hal yang tidak diperbolehkan untuk dinikahi, seperti yang dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 23.Â
Pandangan beliau adalah bahwa larangan pernikahan antar desa bukanlah ajaran dari agama Islam. Namun, untuk memahami masalah hukum dengan baik, kita perlu memahami beberapa kajian fiqh dan kaidah fiqhiyyah yang dapat digunakan sebagai dasar hukum Islam, meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam nash Al-Qur'an.
Melanjutkan ke analisis hukum dari pandangan Bapak Yaenuri. Beliau ini termasuk orang yang sangat berpengaruh di Desanya, selain beliau pernah menemph pendidikan beliau juga menempuh pendidikan sarjana di Universitas yang ada di Yogyakarta. Melihat dari padangan belaiu tadi mengenai larangan pernikahan antar desa adalah bahwa hukum adat yang melarangnya di desanya merupakan hal yang wajar terjadi pada masa lalu.Â
Orang-orang dulu sering menggunakan ilmu kejawen dan menganggap pathokon (tanda) sebagai tolak ukur dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika orang Jawa masih menjaga tradisi ini hingga saat ini. Meskipun dari segi agama, larangan semacam ini tidak diperbolehkan, dalam hal adat, beliau berpendapat bahwa kepercayaan memainkan peran penting. Beliau sering mengatakan bahwa jika seseorang mempercayai adat tersebut, maka hendaknya dijalankan. Namun, jika tidak percaya, itu pun tidak masalah.
Berdasarkan argumen Bapak Yaenuri, hukum adat memang dijadikan aturan di Desa Kalongan dan Desa Ngraji yang melarang pernikahan antara putra-putri di jenjang pernikahan yang serius. Namun, apakah seseorang mempercayai larangan ini atau tidak, tergantung pada keyakinan pribadi masing-masing. Jika seseorang mempercayai larangan tersebut, silakan mengikuti aturan tersebut. Namun, jika tidak percaya, itu pun tidak masalah.Â
Bapak Yaenuri juga pernah menjadi saksi bahwa keponakannya menikah dengan seseorang dari Desa Ngraji, dan kehidupan mereka berjalan dengan baik. Meskipun ada masalah dalam kehidupan keluarga, seperti percekcokan dan kesulitan finansial, hal ini dianggap sebagai bagian yang wajar karena semua pasangan menikah mengalami tantangan serupa. Bapak Yaenuri berpendapat bahwa semua ini adalah kehendak dan kuasa Allah SWT yang mengatur.Â
Dalam Islam, hukumnya tidak melarang pernikahan, bahkan sangat menganjurkannya, karena dalam pernikahan terdapat banyak manfaat. Oleh karena itu, pernikahan sangat dianjurkan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis.
Ada berbagai cara untuk mengatasi suatu masalah, termasuk menghadapi persoalan ini dan berusaha agar akibat dari melanggar larangan adat tidak merugikan pihak yang melanggar. Jika masyarakat enggan melakukan pernikahan, pada dasarnya pasti ada jalan keluar. Namun, jika kita merujuk pada hukum Islam daripada hukum adat, kita menyadari bahwa hanya Allah SWT yang memberikan bahaya dan manfaat.
Dengan demikian, keyakinan masyarakat dapat disimpulkan sebagai berikut: Dalam kitab imtrithi (nadhoman), dijelaskan bahwa orang yang tidak meyakini sesuatu tidak akan mendapatkan manfaat darinya. Oleh karena itu, apakah seseorang yakin atau tidak, itu dapat berdampak berbahaya. Namun, pada hakikatnya, segala sesuatu yang lebih berbahaya atau bermanfaat hanya tergantung pada Allah SWT, dan kita semua kembali kepada-Nya.
Melihat pandangan Bapak Fathl Mukhlis, beliau sangat toleran dalam menghadapi fenomena larangan pernikahan di desanya. Beliau meresponsnya dengan sikap santai yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini wajar, mengingat beliau sejak kecil tumbuh dalam lingkungan adat. Dalam menghadapi situasi tersebut, beliau menghormati keyakinan tersebut tanpa mencela atau merendahkan, sehingga tidak bertentangan dengan keyakinan adat yang berlaku di masyarakat
Dalam hal ini beliau merujuk pada suatu kitab syariah yang memiliki beberapa cabang salah satunya tentnag Bahaya memperbolehkan suatu yang dilarang. Hal itu meliputi:
- Ketika ada bahaya, sesuatu yang sebenarnya dilarang bisa diizinkan. Namun, izin ini hanya berlaku sejauh kebutuhan dan kondisi tertentu.
- Bahaya tidak dapat diatasi dengan bahaya lain.
- Menolak bahaya lebih diutamakan daripada mencari manfaat.
- Keadaan darurat membolehkan tindakan yang sebenarnya terlarang.
- Jika dua bentuk kerusakan bertentangan, menghindari kerusakan yang lebih besar lebih diutamakan daripada mencari manfaat yang lebih kecil.
Namun Kaidah di atas tidak berlaku mutlak, melainkan harus mempertimbangkan besarnya manfaat dan kerugian (maslahah dan mafsadah) Jika mafsadah (kerugian) lebih besar daripada maslahah (manfaat), maka menghindari mafsadah lebih diutamakan daripada mencari manfaat.Â
Jika maslahah lebih besar daripada mafsadah yang lebih kecil, maka diutamakan mencari manfaat daripada menghindari kerugian. Contohnya, dalam syariat, jihad melawan orang non-Muslim diizinkan meskipun ada risiko mafsadah seperti kehilangan harta atau jiwa, karena menegakkan hukum Allah lebih utama. Jika maslahah dan mafsadah seimbang, lebih baik menolak mafsadah yang lebih diutamakan daripada mencari manfaat.
jadi, ketika masyarakat di Desa Ngraji dan Desa Kalongan mengalami musibah, bukan karena melanggar larangan pernikahan, tetapi musibah tersebut datang dari Allah SWT. Dengan demikian, musibah yang terjadi sebenarnya bukan disebabkan oleh mitos pemikahan, melainkan sebagai perantara untuk menunjukkan kekuasaan Allah kepada manusia.
Â
Kesimpulan
Dari beberapa ulasan diatas dapat disimpulan Bawhea Beberapa tokoh agama berpendapat bahwa larangan pernikahan antar desa sebaiknya dihormati karena sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat. Meskipun demikian, mereka menyarankan agar kita meminta perlindungan hanya kepada Allah SWT dan bertujuan untuk menjaga keamanan melalui hukum adat tersebut.
Ada juga tokoh agama yang menghormati larangan tersebut, meskipun mereka tidak sepenuhnya meyakininya. Tujuannya adalah agar penganut adat tidak merasa tersinggung, sambil tetap menghormati hukum Islam. Namun, mereka tidak percaya bahwa melanggar adat akan membawa kesialan atau keburukan.
Dalam konteks larangan pernikahan tertentu dalam adat, harus selaras dengan syariat. Namun, jika tidak sesuai dengan syariat, sebaiknya tidak dilakukan. Jika adat tersebut memiliki risiko, keputusan mengenai bahaya atau tidaknya harus diserahkan kepada Allah SWT. Jika larangan tersebut tidak sesuai dengan ketetapan, minimal sebaiknya tidak melanggarnya. Tetaplah mengikuti perintah Nabi Muhammad SAW dan berusaha memahami agar tidak menyimpang dari syariat dengan tujuan mendapatkan ridho Allah SWT.
Dalam konteks budaya, banyak masyarakat masih mempercayai larangan pernikahan antar desa, meskipun tradisi ini tidak sejalan dengan hukum Islam secara tekstual. Meskipun tidak tercantum dalam al-Quran atau Hadis, masalah ini dapat dievaluasi berdasarkan berbagai bentuk praktik yang berbeda. Perselisihan antara hukum adat dan hukum Islam mungkin terjadi, karena dalam hukum Islam sendiri terdapat konsep ijtihad yang memungkinkan penemuan jalan tengah
Dalam konteks hukum Islam, kita dapat menyimpulkan dengan menggunakan prinsip-prinsip fiqhiyyah berdasarkan dalil-dalil tertentu. Namun, dari perspektif usul fiqih dan aqidah, kita tidak dapat membenarkan musibah yang menimpa seseorang selain karena kehendak Allah SWT.Â
Dalam kaidah lain, terdapat dalil al-adah al-mukhakkamah yang mengacu pada "urf" atau kebiasaan umum. Jika kita mengaitkannya dengan masalah larangan pernikahan antar desa, maka hal ini termasuk dalam "urf/asad," yaitu kebiasaan yang tidak jelas kebenarannya dan menimbulkan kekhawatiran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H