Ada juga tokoh agama yang menghormati larangan tersebut, meskipun mereka tidak sepenuhnya meyakininya. Tujuannya adalah agar penganut adat tidak merasa tersinggung, sambil tetap menghormati hukum Islam. Namun, mereka tidak percaya bahwa melanggar adat akan membawa kesialan atau keburukan.
Dalam konteks larangan pernikahan tertentu dalam adat, harus selaras dengan syariat. Namun, jika tidak sesuai dengan syariat, sebaiknya tidak dilakukan. Jika adat tersebut memiliki risiko, keputusan mengenai bahaya atau tidaknya harus diserahkan kepada Allah SWT. Jika larangan tersebut tidak sesuai dengan ketetapan, minimal sebaiknya tidak melanggarnya. Tetaplah mengikuti perintah Nabi Muhammad SAW dan berusaha memahami agar tidak menyimpang dari syariat dengan tujuan mendapatkan ridho Allah SWT.
Dalam konteks budaya, banyak masyarakat masih mempercayai larangan pernikahan antar desa, meskipun tradisi ini tidak sejalan dengan hukum Islam secara tekstual. Meskipun tidak tercantum dalam al-Quran atau Hadis, masalah ini dapat dievaluasi berdasarkan berbagai bentuk praktik yang berbeda. Perselisihan antara hukum adat dan hukum Islam mungkin terjadi, karena dalam hukum Islam sendiri terdapat konsep ijtihad yang memungkinkan penemuan jalan tengah
Dalam konteks hukum Islam, kita dapat menyimpulkan dengan menggunakan prinsip-prinsip fiqhiyyah berdasarkan dalil-dalil tertentu. Namun, dari perspektif usul fiqih dan aqidah, kita tidak dapat membenarkan musibah yang menimpa seseorang selain karena kehendak Allah SWT.Â
Dalam kaidah lain, terdapat dalil al-adah al-mukhakkamah yang mengacu pada "urf" atau kebiasaan umum. Jika kita mengaitkannya dengan masalah larangan pernikahan antar desa, maka hal ini termasuk dalam "urf/asad," yaitu kebiasaan yang tidak jelas kebenarannya dan menimbulkan kekhawatiran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H