Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Presidential Threshold Dihapus, Siapa Tertarik Nyapres 2029? Sebuah Kajian Konstitusional

4 Januari 2025   17:46 Diperbarui: 4 Januari 2025   19:11 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
MK Akhirnya Memutuskan Penghapusan Presidential Threshold: Foto mediaindonesia.com

Kajian: Presidential Threshold Dihapus, Siapa Tertarik Nyapres 2029?

Latar Belakang Sejarah Presidential Threshold

Presidential threshold adalah ambang batas pencalonan presiden yang mewajibkan partai politik atau gabungan partai memiliki minimal 20% kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya. Aturan ini diterapkan sejak Pemilu 2004 untuk menyederhanakan jumlah kandidat, mencegah fragmentasi politik, dan memastikan stabilitas pemerintahan. Namun, kebijakan ini menuai kritik, terutama karena dianggap membatasi demokrasi.

Sejarah itu menuai  kritik terhadap presidential threshold sebagai berikut:

1. Membatasi Hak Konstitusional Partai dan Kandidat

Aturan ini dianggap menghalangi partai-partai kecil atau kandidat independen untuk mencalonkan presiden meskipun mereka memiliki visi dan kompetensi. Dalam beberapa kasus, partai dengan basis dukungan yang cukup besar di masyarakat tetap tidak dapat mencalonkan kandidat karena tidak memenuhi ambang batas.

2. Dominasi Partai Besar

Presidential threshold memperkuat dominasi partai-partai besar  yang sering kali memonopoli keputusan politik. Ini menciptakan ketergantungan partai kecil pada koalisi, yang tidak selalu mencerminkan kehendak masyarakat, tetapi lebih kepada kompromi politik.

3. Pengurangan Pilihan Publik

Dengan sedikitnya pasangan calon yang bisa diusung, masyarakat memiliki pilihan terbatas dalam memilih pemimpin. Sebagai contoh, dalam Pemilu Presiden 2019 di Indonesia, hanya ada dua pasangan calon yang muncul akibat aturan threshold ini.

4. Rentan terhadap Politik Transaksional

Untuk memenuhi ambang batas, partai-partai kecil sering kali harus bergabung dalam koalisi, yang rentan terhadap politik transaksional atau negosiasi pragmatis, seperti pembagian jabatan, yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan rakyat.

5. Tidak Relevan dengan Sistem Presidensial

Beberapa kritikus berpendapat bahwa ambang batas ini bertentangan dengan prinsip sistem presidensial, di mana presiden seharusnya dipilih langsung oleh rakyat tanpa campur tangan dominasi partai.

Dalam Pemilu 2019, partai-partai kecil yang tidak mencapai presidential threshold terpaksa mereka bergabung dalam koalisi partai besar. Ini mengurangi independensi mereka dan mempersulit munculnya kandidat alternatif.

Di sisi lain, partai-partai dengan perolehan suara signifikan, seperti Partai Demokrat pada 2014 (10,19% suara sah), harus berkoalisi dengan partai lain untuk mengusung calon presiden.

Perdebatan Tentang Penghapusan

Isu penghapusan presidential threshold ini telah menjadi diskusi publik yang sangat lama dengan berbagai pihak mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Argumentasi pro-penghapusan antara lain:

1. Keterbukaan Demokrasi: Semua partai politik berhak mencalonkan kandidat, terlepas dari kekuatan elektoral mereka.

2. Menyeimbangkan Kompetisi: Menghindari dominasi partai besar dan membuka peluang bagi figur nonpartisan.

3. Meningkatkan Partisipasi Publik: Lebih banyak kandidat berarti masyarakat memiliki lebih banyak pilihan.

Sedangkan pihak yang pro-status quo berargumen bahwa tanpa threshold, kompetisi akan terlalu ramai dan sulit menghasilkan pemimpin dengan legitimasi kuat.

Potensi Dampak Jika Threshold Dihapus

Jika aturan Threshold dihapus, Pemilu 2029 berpotensi menghadirkan lebih banyak kandidat presiden. Beberapa kemungkinan dampaknya adalah:

1. Akan Terjadi Pluralitas Kandidat

Figur dari berbagai latar belakang, termasuk dari partai kecil atau independen, dapat maju.

Figur dari berbagai latar belakang, termasuk dari partai kecil atau independen, yang dapat mencalonkan diri tanpa hambatan presidential threshold, misalnya:

2. Figur Profesional atau Akademisi

Seorang profesor terkemuka atau tokoh pendidikan dengan reputasi nasional dapat mencalonkan diri jika tidak ada hambatan threshold. Misalnya, Prof. Emil Salim, tokoh lingkungan dan ekonom yang dihormati, berpeluang menjadi kandidat alternatif jika aturan ini tidak berlaku.

3. Aktivis atau Pemimpin Sosial

Aktivis seperti Butet Manurung, yang dikenal karena dedikasinya dalam mendidik komunitas adat terpencil, bisa menjadi representasi rakyat tanpa harus tergantung pada partai besar.

4. Pengusaha atau Tokoh Bisnis

Figur seperti Sandiaga Uno, yang memiliki latar belakang sebagai pengusaha sukses, bisa maju lebih independen tanpa koalisi besar.

5. Pemimpin Lokal yang Berprestasi

Wali Kota atau Gubernur yang memiliki rekam jejak baik, seperti Ridwan Kamil atau Tri Rismaharini, dapat langsung mencalonkan diri tanpa harus bergantung pada dukungan partai-partai besar.

6. Figur Independen

Seorang tokoh non-partai dengan pengaruh besar di masyarakat, seperti Najwa Shihab, yang dikenal atas kiprah jurnalismenya, mungkin lebih mudah mencalonkan diri jika tidak ada batasan threshold.

7. Partai Kecil

Pemimpin partai kecil seperti Zulkifli Hasan (PAN) atau Grace Natalie (PSI) dapat mencalonkan diri sebagai alternatif, mewakili suara masyarakat yang ingin perubahan di luar kekuatan politik utama.

Dengan menghapus presidential threshold, tokoh-tokoh seperti ini dapat mencalonkan diri lebih leluasa, memperkaya pilihan masyarakat dan memperkuat kompetisi politik yang sehat.

Akan Terjadi Polarisasi Politik

Persaingan yang lebih ketat bisa memecah suara publik.

Persaingan yang lebih ketat dalam pemilihan presiden bisa memecah suara publik, terutama jika terdapat banyak kandidat yang mencalonkan diri. Berikut adalah beberapa contohnya:

1. Pemilu 2004 di Indonesia

Pada Pemilu Presiden 2004, yang merupakan pemilu pertama dengan pemilihan langsung, terdapat 5 pasangan calon:

Megawati Soekarnoputri - Hasyim Muzadi

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Jusuf Kalla

Wiranto - Salahuddin Wahid

Amien Rais - Siswono Yudo Husodo

Hamzah Haz - Agum Gumelar

Akibat banyaknya kandidat, tidak ada pasangan yang mencapai 50%+1 suara pada putaran pertama. Hal ini menyebabkan pemilu harus dilanjutkan ke putaran kedua antara SBY-Jusuf Kalla dan Megawati-Hasyim Muzadi, yang akhirnya dimenangkan oleh SBY.

2. Pemilu Presiden Amerika Serikat 1912

Pada Pemilu Presiden AS tahun 1912, terdapat tiga kandidat kuat:

Woodrow Wilson (Partai Demokrat)

Theodore Roosevelt (Partai Progresif)

William Howard Taft (Partai Republik)

Persaingan ketat ini menyebabkan suara Partai Republik terpecah antara Roosevelt dan Taft, sehingga memberi keuntungan bagi Wilson untuk menang dengan dukungan suara mayoritas yang relatif kecil.

3. Pemilu Filipina 2022

Dalam pemilu ini, terdapat banyak kandidat kuat, termasuk Ferdinand Marcos Jr. dan Leni Robredo. Suara publik terpecah karena sebagian mendukung figur lama (Marcos Jr.), sementara sebagian lainnya ingin perubahan dengan Robredo. Akibatnya, Marcos Jr. menang karena mayoritas suara publik terbagi di antara kandidat lain.

Dampaknya

Ketika suara publik terpecah:

Kandidat dengan dukungan minoritas bisa menang jika sistem tidak mensyaratkan mayoritas absolut.

Bisa menimbulkan polarisasi masyarakat, dengan dukungan yang sangat terpecah dan sulit menyatukan kembali pasca pemilu.

Proses demokrasi menjadi lebih rumit, misalnya dengan adanya putaran kedua yang membutuhkan waktu dan biaya lebih besar.

Namun, ini juga bisa dianggap sebagai bagian dari proses demokrasi yang sehat, karena memungkinkan lebih banyak figur berpartisipasi.

4. Bagaimana Legitimasi Hasil

Jika pemenang meraih suara kecil karena banyaknya kandidat, legitimasi bisa dipertanyakan.

Ketika pemenang pemilu meraih suara kecil akibat banyaknya kandidat, legitimasi kepemimpinannya bisa dipertanyakan karena dianggap tidak mewakili mayoritas rakyat. Berikut beberapa contoh:

1. Pemilu Presiden Filipina 1992

Presiden Fidel V. Ramos terpilih dengan hanya 23.58% suara, karena suara terpecah di antara tujuh kandidat utama.

Kemenangan dengan persentase kecil ini membuat legitimasi Ramos dipertanyakan oleh lawan politiknya dan masyarakat, yang merasa mayoritas tidak mendukungnya.

2. Pemilu Presiden Indonesia 2004 (Putaran Pertama)

Dalam putaran pertama, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hanya memperoleh 33.57% suara, sementara sisanya terpecah ke empat kandidat lain.

Walaupun akhirnya menang di putaran kedua, hasil putaran pertama menunjukkan bahwa lebih dari 60% pemilih awalnya tidak memilih SBY. Jika sistem pemilu hanya memiliki satu putaran, legitimasi SBY akan lebih dipertanyakan.

3. Pemilu Presiden Prancis 2002

Pada putaran pertama, Jacques Chirac hanya mendapatkan 19.88% suara, tetapi tetap lolos ke putaran kedua karena lawan-lawan lainnya meraih suara lebih kecil.

Banyaknya kandidat menyebabkan suara publik terpecah, dan meskipun Chirac akhirnya menang besar di putaran kedua, hasil awal yang kecil mengundang kritik tentang representasi dan legitimasi.

4. Pemilu Gubernur Jakarta 2017 (Putaran Pertama)

Anies Baswedan (40.05%) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) (42.99%) sama-sama tidak mendapatkan mayoritas suara di putaran pertama karena suara terpecah dengan Agus Harimurti Yudhoyono (17.05%).

Meski akhirnya ada putaran kedua, situasi ini menunjukkan bahwa banyaknya kandidat dapat membuat mayoritas masyarakat tidak merasa sepenuhnya terwakili.

Dampak Terhadap Legitimasi

Kemenangan dengan perolehan suara kecil akibat banyaknya kandidat dapat melemahkan legitimasi pemimpin karena ia dianggap tidak mewakili mayoritas rakyat. Dukungan yang terfragmentasi membuat kebijakan pemimpin rentan dipertanyakan dan menghadapi resistensi, baik dari oposisi maupun masyarakat.

Hal ini juga dapat mempersulit pembentukan koalisi yang solid di parlemen, menghambat jalannya pemerintahan, dan memicu ketidakpuasan publik. Akibatnya, stabilitas politik terganggu, dan wacana reformasi sistem pemilu, seperti pemilu dua putaran, sering kali muncul untuk memastikan pemenang memiliki legitimasi mayoritas.

Dampaknya:

1. Kurangnya Dukungan Mayoritas

Jika seorang pemimpin hanya didukung sebagian kecil rakyat, kebijakan mereka sering dipertanyakan oleh oposisi dan masyarakat.

2. Tantangan Stabilitas

Pemimpin dengan suara kecil sulit membangun koalisi atau dukungan luas untuk menjalankan program.

3. Diskursus tentang Reformasi Sistem Pemilu

Situasi ini sering memunculkan wacana untuk mereformasi sistem pemilu, misalnya dengan memberlakukan pemilu dua putaran untuk memastikan pemenang memiliki legitimasi mayoritas.

Legitimasi adalah kunci stabilitas politik, sehingga sistem pemilu harus dirancang untuk menghindari fragmentasi yang ekstrem dalam persaingan kandidat.

Nah, Siapa yang Tertarik Maju di 2029?

Dengan penghapusan threshold, beberapa figur potensial yang mungkin tertarik mencalonkan diri adalah:

1. Figur Partai Kecil

Pemimpin partai-partai non-parlemen seperti PSI atau Partai Ummat dapat memanfaatkan peluang ini.

2. Independen dan Tokoh Muda

Figur seperti Ridwan Kamil atau Najwa Shihab yang memiliki popularitas tetapi tidak terafiliasi kuat dengan partai besar.

3.  Pengusaha atau Profesional

Kandidat dari sektor swasta atau profesional yang ingin terjun ke dunia politik.

Prediksi dan Hasil

Jika threshold dihapus, hasil pemilu berpotensi mencerminkan dinamika politik yang lebih cair. Beberapa prediksi bisa berupa:

1. Putaran Kedua Lebih Mungkin

Dengan banyaknya kandidat, peluang putaran kedua meningkat tentu dua kali biaya.

2. Dominasi Media Sosial

Kandidat independen atau partai kecil kemungkinan besar mengandalkan media sosial untuk mendekati pemilih.

3. Keberlanjutan Isu Demokrasi

Isu ini akan terus memengaruhi arah politik Indonesia, terutama dalam konteks reformasi sistem pemilu.

Penghapusan presidential threshold bisa menjadi langkah besar menuju demokrasi yang lebih inklusif, namun juga menuntut kesiapan sistem politik untuk mengelola kompetisi yang lebih terbuka.

Tulisan di atas sudah berusaha dilengkapi dan dusahakan komprehensif, mencakup latar belakang sejarah, kritik terhadap presidential threshold, dampak potensial jika dihapus, hingga prediksi siapa yang mungkin tertarik maju di Pemilu 2029. Namun, ada beberapa hal yang bisa kita tambahkan atau perkuat:

Pertama, Dampak Sosial dan Budaya

Bagaimana penghapusan presidential threshold dapat memengaruhi keterlibatan masyarakat secara lebih luas, seperti munculnya figur yang lebih representatif dari daerah atau komunitas tertentu.

Efeknya pada persepsi masyarakat terhadap sistem demokrasi, apakah lebih percaya diri atau mereka justru skeptis.

Penghapusan presidential threshold berpotensi meningkatkan keterlibatan masyarakat karena membuka peluang lebih luas bagi figur yang mewakili daerah atau komunitas tertentu untuk mencalonkan diri. 

Tokoh-tokoh lokal dengan rekam jejak yang kuat, seperti kepala daerah berprestasi, pemimpin adat, atau aktivis komunitas, dapat lebih mudah maju tanpa harus bergabung dalam koalisi partai besar.

Hal ini memungkinkan masyarakat di berbagai wilayah merasa lebih terwakili secara langsung dalam pemilihan presiden, memperkuat rasa kepemilikan terhadap proses demokrasi.

Namun, persepsi masyarakat terhadap demokrasi bisa beragam. Sebagian mungkin lebih percaya diri dengan sistem yang memberi lebih banyak pilihan, karena dianggap inklusif dan memberikan kesempatan bagi calon yang lebih dekat dengan rakyat.

Di sisi lain, skeptisisme juga bisa muncul jika pemilu menghasilkan polarisasi ekstrem atau jika masyarakat merasa terlalu banyak kandidat hanya menawarkan janji tanpa kapabilitas nyata. Untuk memastikan efek positif, diperlukan edukasi politik yang baik agar masyarakat memahami pentingnya memilih berdasarkan rekam jejak dan visi kandidat.

Kedua, Contoh Internasional yang Relevan

Bandingkan dengan negara-negara lain yang tidak memiliki ambang batas pencalonan presiden, seperti Prancis atau Filipina, untuk menunjukkan bagaimana dampaknya terhadap stabilitas politik dan keterwakilan.

Negara-negara seperti Prancis dan Filipina, yang tidak memiliki ambang batas pencalonan presiden, menunjukkan dinamika politik yang berbeda. Di Prancis, sistem dua putaran memastikan stabilitas politik meskipun banyak kandidat maju pada putaran pertama, karena putaran kedua mempertemukan dua calon dengan suara terbanyak, memberikan legitimasi kuat bagi pemenang.

Sementara itu, di Filipina, absennya ambang batas sering menyebabkan fragmentasi suara, seperti pada Pemilu 1992, ketika presiden terpilih hanya mendapatkan sekitar 23% suara. Meski lebih inklusif, sistem ini sering memicu perdebatan tentang legitimasi pemimpin dan keterwakilan mayoritas rakyat. 

Perbedaan ini menunjukkan bahwa tanpa ambang batas, stabilitas politik dan keterwakilan sangat bergantung pada desain sistem pemilu dan budaya politik negara bersangkutan.

Ketiga, Teknologi dan Media Sosial

Media sosial telah menjadi alat strategis bagi kandidat independen atau dari partai kecil untuk mendekati pemilih, terutama generasi muda yang lebih aktif secara digital. Platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok memungkinkan kandidat dengan sumber daya terbatas untuk menjangkau audiens luas tanpa biaya besar seperti kampanye konvensional.

Konten kreatif seperti video pendek, infografik, dan diskusi interaktif dapat membangun kedekatan emosional dengan pemilih, mempromosikan visi, dan menyampaikan pesan dengan cara yang personal. Selain itu, algoritma media sosial dapat membantu kandidat menargetkan kelompok pemilih tertentu berdasarkan minat dan demografi.

Namun, kekuatan ini juga membawa risiko penyebaran informasi yang tidak akurat atau manipulasi opini publik, sehingga penting bagi pemilih untuk mengedukasi diri dalam menyaring informasi secara kritis. Kampanye digital yang efektif dapat menjadi penentu kemenangan, terutama dalam lanskap politik yang semakin kompetitif dan terfragmentasi.

Keempat, Risiko Tambahan

Penghapusan presidential threshold dapat menyebabkan fragmentasi suara yang ekstrem, terutama jika banyak kandidat maju dengan basis dukungan yang terbagi-bagi. Hal ini berisiko memicu polarisasi di masyarakat karena kelompok-kelompok pendukung kandidat tertentu bisa menjadi lebih terfragmentasi dan sulit bersatu setelah pemilu.

Selain itu, banyaknya kandidat juga membuka peluang meningkatnya populisme, di mana calon-calon tertentu lebih fokus menawarkan janji-janji besar yang menarik perhatian, tetapi tidak memiliki rencana yang matang atau kapasitas pemerintahan yang jelas. 

Kondisi ini tidak hanya memperburuk kualitas demokrasi, tetapi juga dapat menghambat stabilitas politik, terutama jika pemimpin terpilih gagal memenuhi ekspektasi atau membangun koalisi yang solid untuk menjalankan pemerintahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun