Sementara itu, di Filipina, absennya ambang batas sering menyebabkan fragmentasi suara, seperti pada Pemilu 1992, ketika presiden terpilih hanya mendapatkan sekitar 23% suara. Meski lebih inklusif, sistem ini sering memicu perdebatan tentang legitimasi pemimpin dan keterwakilan mayoritas rakyat.Â
Perbedaan ini menunjukkan bahwa tanpa ambang batas, stabilitas politik dan keterwakilan sangat bergantung pada desain sistem pemilu dan budaya politik negara bersangkutan.
Ketiga, Teknologi dan Media Sosial
Media sosial telah menjadi alat strategis bagi kandidat independen atau dari partai kecil untuk mendekati pemilih, terutama generasi muda yang lebih aktif secara digital. Platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok memungkinkan kandidat dengan sumber daya terbatas untuk menjangkau audiens luas tanpa biaya besar seperti kampanye konvensional.
Konten kreatif seperti video pendek, infografik, dan diskusi interaktif dapat membangun kedekatan emosional dengan pemilih, mempromosikan visi, dan menyampaikan pesan dengan cara yang personal. Selain itu, algoritma media sosial dapat membantu kandidat menargetkan kelompok pemilih tertentu berdasarkan minat dan demografi.
Namun, kekuatan ini juga membawa risiko penyebaran informasi yang tidak akurat atau manipulasi opini publik, sehingga penting bagi pemilih untuk mengedukasi diri dalam menyaring informasi secara kritis. Kampanye digital yang efektif dapat menjadi penentu kemenangan, terutama dalam lanskap politik yang semakin kompetitif dan terfragmentasi.
Keempat, Risiko Tambahan
Penghapusan presidential threshold dapat menyebabkan fragmentasi suara yang ekstrem, terutama jika banyak kandidat maju dengan basis dukungan yang terbagi-bagi. Hal ini berisiko memicu polarisasi di masyarakat karena kelompok-kelompok pendukung kandidat tertentu bisa menjadi lebih terfragmentasi dan sulit bersatu setelah pemilu.
Selain itu, banyaknya kandidat juga membuka peluang meningkatnya populisme, di mana calon-calon tertentu lebih fokus menawarkan janji-janji besar yang menarik perhatian, tetapi tidak memiliki rencana yang matang atau kapasitas pemerintahan yang jelas.Â
Kondisi ini tidak hanya memperburuk kualitas demokrasi, tetapi juga dapat menghambat stabilitas politik, terutama jika pemimpin terpilih gagal memenuhi ekspektasi atau membangun koalisi yang solid untuk menjalankan pemerintahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H