Mohon tunggu...
Resti Sulastri
Resti Sulastri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - MIPA 5

hello i’m student

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sesuatu Di Jogja

24 Februari 2022   17:54 Diperbarui: 24 Februari 2022   20:04 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

~Kota Hamburg~

Disini lah ia sekarang, kali pertama menginjakkan kaki turun dari pesawat yang ia tumpangi. Satu tangannya digenggam oleh seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan. Satu tangannya lagi sibuk menyeret koper. Berjalan melewati banyak kerumunan.

Hanya satu yang ada dalam pikirannya. Sangat ramai. Tapi raut wajah dan perasannya tidak menunjukkan betapa excitied nya dia dengan keramaian ini. Bahkan ini di luar negeri. Apalagi untuk remaja yang berusia 15 tahun. Mereka seharusnya bertingkah kesana kemari bukan? menanyakan apa ini apa itu. Tapi tidak dengan gadis remaja ini. 

Anindya Sekar Pramusita, itulah namanya. Sepanjang jalan menuju apartemen ia hanya memandang arah jalan raya dengan tatapan yang entahlah.. bisa dibilang kosong. Dan wanita yang sedari tadi menggenggam tangannya adalah Bibi nya.

 “Kamu suka suasana disini? indah ya banyak gedung pencakar langit, itu bangunan yang ditutupi oleh gerbang yang sangat tinggi adalah Universitas Berlin. Apa kamu ingin kuliah disana?”, tanya Bibi sambil terus menunjuk gedung - gedung yang terlihat dipinggir jalan. 

“Apa itu Universitas paling bagus disini?”, tanya Anindya. Bibi tersenyum mendengar Anindya akhirnya membuka suara. 

“Tentu saja tidak, banyak sekali yang bagus disini. Dan kita akan tinggal di salah satu apartemen yang dekat dengan kampus terkenal. Namanya Universitas Hamburg”

“Jadi kita tidak akan tinggal di Kota Berlin?”
“Pintar sekali loh Dya, bisa tahu kita sedang berada di Kota Berlin”.

 Bibi semakin bersemangat untuk menceritakan dan memberitahu banyak hal kepada Anindya. Mengingat Anindya saat ini harus mendapat perhatian ekstra usai trauma yang ia miliki agar mentalnya tidak terganggu di usia dini nya.

-

Hingga waktu terus berlalu, tidak terasa sudah 6 tahun Anindya tinggal di Jerman. Tepatnya Kota Hamburg. Menginjak usia 21 tahun ia telah menjadi gadis dewasa dan melanjutkan study di perguruan tinggi Universitas Hamburg. Kebetulan kampusnya pun dekat dengan apartemen Bibi nya.

“Heh! hobi sekali sih melamun?”, tegur Clara sembari membuyarkan lamunannya. Anindya yang sangat terkejut hanya menghembuskan nafasnya lelah. Kenapa berbahasa Indonesia di Jerman? Ya, di jurusan yang ia pilih Anindya bersyukur mendapat teman satu negara dengannya. Tidak hanya Clara, tapi ada Dave dan juga Guntur. 

Clara adalah satu - satunya teman wanita yang berasal dari Indonesia. Suaranya melengking sekali, dan terkadang lamban. Tapi heran dia bisa masuk Universitas ini dengan kepintarannya yang diatas rata - 

rata. 

Guntur dan Dave, mereka seorang pria yang suka menggoda mahasiswi bule disini. Ada wanita bening sedikit langsung mereka dekati. Jangan tanya bagaimana rupa mereka, dengan kelakuan yang seperti itupun mereka ternyata mempunyai ketampanan yang luar biasa, bahkan tidak terkalahkan oleh pria Jerman lainnya. Karena satu kewarganegaraan, membuat mereka lebih mudah untuk akrab satu sama lain.

“Hidup ku kenapa begini ya Ra”, keluh Anindya.

“Hush! tidak boleh berbicara seperti itu Nin”, ucap Clara lagi.

“Bibi meninggalkan ku, aku tinggal sendiri di negara yang bahkan bukan tanah kelahiranku, negara asing”, isak Anindya yang mulai berkaca - kaca.

“Tidak apa - apa, kamu tidak sendiri Nin, ada kita yang akan selalu ada di sisi mu, kita juga yakin kamu bisa melewati ini semua”, sambung Guntur yang diikutin anggukan Dave. 

Mendengar ucapan Guntur, tangis Anindya semakin menjadi. Clara membawa ke pelukannya, guna memberi akses pundak agar Anindya bisa menangis sepuasnya. Dave dan Guntur ikut menenangkan dengan mengusap kepalanya prihatin. Tanpa disadari teman - temannya ikut meneteskan air mata.

Siapa yang bisa kuat diposisi Anindya sekarang. Bibi orang satu - satunya yang ia punya di dunia ini pergi meninggalkannya. Setahun lalu Bibi menderita penyakit kanker yang tidak diketahui sudah stadium 4. Dan rumah sakit dengan teknologi yang canggih pun sudah tidak bisa menyembuhkannya, hingga Bibi meninggal dunia. Jika diingat Bibi tidak pernah menunjukkan gejala atau sakit apapun. atau Anindya saja yang tidak tahu. Entahlah, ia hanya terus menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada Bibinya. Ia berfikir tidak perhatian dan menjaganya dengan baik. 

Padahal bibi kepada Anindya sangat over protektif, merawat dan menjaganya seperti kasih sayang ibu terhadap sang buah hati. Bibi adalah wanita single parents, suaminya pun meninggal karena serangan jantung, ia tidak punya anak. Itu sebabnya ia sangat menyayangi dan menganggapku sebagai anaknya.


~Di kampus~

Keesokan harinya kami ada kelas membahas hal yang sangat penting.
Mr.Hanz datang ke ruangan. Di menit - menit terakhir, ia mengumumkan bahan untuk sidang yang akan kami tempuh. Oh ya, tahun ini adalah waktu Anindya dan teman - temannya wisuda. Itupun kalau lulus sidang skripsi. Oleh karena itu, di tahun ini Anindya harus berusaha agar bisa lulus dengan nilai IPK yang tinggi. Sebenarnya tidak ada yang menuntut dirinya harus seperti itu, sejak awal dia sendiri yang mempunyai keyakinan seperti itu.

Sistem yang digunakan oleh dosen itu adalah pengocokan sebuah tempat ditanah kelahiran kita. Tentu saja pengocokannya sesuai dengan negara nya masing - masing. Jadi, aku masuk jurusan Planologi. Ada yang tahu? Planologi adalah jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, di dalamnya juga mencakup arsitektur. Anindya masuk jurusan ini karena ia senang sekali traveling apalagi menganalisis suatu tempat.

Dan BOOM! Anindya yang membuka lembaran kertas yang tergulung itu langsung menurunkan pundaknya dengan wajah pucat seketika.

“ Nin, kebagian kota apa?”, tanya teman - temannya. Tanpa menjawab pertanyaan itu Anindya langsung mengacungkan tangan.

“Erlaubnis, Sir zu fragen, darf ich die Stadt, die ich habe, mit meinem Freund tauschen?”, ( Izin bertanya pak, bolehkah saya menukar kota yang saya miliki dengan teman saya? ), tanya Anindya dengan berani.

“Was ist Ihr Grund, es ändern zu wollen?” ( Apa alasan kamu ingin mengubahnya? ) , Mr. Hanz bertanya kembali.

“Ja, aber ich kann es nicht erklären, Sir” ( Ada, tapi saya tidak bisa menjelaskannya pak ), jawab Anindya lagi.

“Kann nicht, Ihr Grund ist nicht klar, warum” ( Tidak bisa, alasan kamu tidak jelas kenapa ), ucap Mr. Hanz melenggang keluar 

kelas usai setelah para mahasiswa mengucapkan ‘ Thank you Mr’.

Anindya hanya diam, tangannya mengepal menahan amarah dan kegelisahan yang ia alami. Ia lupa bahwa Mr. Hanz adalah dosen yang tidak mudah merubah keputusan yang telah ia buat. Mau tidak mau, Anindya harus menerima ini semua jika ingin kuliah nya lulus.

~Tanah kelahiran~

Pesawat yang ditumpangi Anindya mendarat di Bandar Udara Internasional Adisutjipto. Dia dan teman - temannya memutuskan untuk berpisah karna harus menaiki pesawat sesuai kota tujuan. Tanpa di duga, kami semua mendapat kota sesuai tanah kelahiran kita yang sesungguhnya. Dan disinilah Anindya. Turun dari pesawat perlahan, menginjak tanah kelahirannya lagi setelah 6 tahun lamanya ia tinggal di Kota Hamburg, Jerman. 

Perasaan gelisah itu muncul kembali, dadanya naik turun tak karuan, tangannya mengepal dipenuhi keringat dingin. Dengan sekali tarikan dan hembusan nafas ia kembali berjalan dengan terburu - buru karena taksi yang ia pesan secara online sudah tiba.

BRUKK!

“Aduhh pak, maaf saya tidak sengaja”, ucap Anindya yang tak sengaja menabrak orang.

“Tidak apa - apa mbak”, jawab pria sembari jalan.

“What?! mbakk?, maaf ya tapi saya bukan mbak - mbak”, berusaha untuk tetap ramah.

Pria yang hendak pergi itu berhenti 

melangkahkan kakinya dan berbalik mendekati Anindya “Lalu? teteh - teteh? Sunda dong, ini kan Jogja, wajar saya memanggil mbak ke setiap perempuan disini. Oh ya satu lagi, Saya juga bukan bapak - bapak. Saya tinggal… mbak”, timpal pria yang melenggang begitu saja meninggalkan Anindya yang sedang ternganga oleh jawaban si pria. Bisa - bisanya disaat pengucapan terakhirnya dia bisa tersenyum seperti itu. Apalagi sengaja pengucapan mbak nya ditekan kan . Sangat menyebalkan.

Ketika sudah sampai ditempat parkir, Anindya mencari kesana kemari, loh kenapa tidak ada taksi disini? bukannya tadi bilang drivernya sudah tiba ya?  tanyanya dalam hati. Namun akhirnya ia memutuskan untuk membuka hp ingin bermaksud untuk menelfon si driver. 

Betapa malangnya ia ketika mendengar drivernya sudah mengambil penumpang lain, hanya di karenakan Anindya lama tidah datang - datang. Oh astaga! cobaan macam apa ini? plis tuhan, belum sehari ia berada disini, rengeknya dalam hati.

Tidak jauh dari Malioboro, ia akan tinggal di suatu penginapan yang sangat tradisional sekali. Andai saja ini bukan pilihan kampus, Anindya tidak ingin berada dekat dengan daerah dan jalan ini. Bukan karena tempatnya yang tradisional, hanya saja ia tidak ingin mengingat kenangan buruk itu 

lagi.

Setelah 2 hari beristirahat, hari ini Senin, adalah hari dimana aktivitas produktif dimulai. Anindya mempunyai waktu 30 hari untuk menganalisis dan menciptakan hal baru di Kota Jogja ini. Hal pertama yang ia lakukan setelah menghirup udara segar diluar adalah ke Supermarket. Kemarin tidak sempat beli. Ketika hendak mengambil Lays rumput laut yang tersisa satu, ada tangan lain juga yang hendak mengambil. Aku menarik tangan yang tak sengaja bersentuhan dengannya. Lalu menoleh mendapati wajah si pemilik tangan tadi. Terbesit dalam hatinya untuk mengalah memberikan snack itu, namun ia urungkan niatnya setelah menoleh ke wajahnya.

 

“Kamu? mengikuti saya ya?!”, tanya Anindya membuat beberapa orang menoleh karna suaranya. 

“Pelankan suaramu, orang - orang bisa mengira saya sebagai penjahat jika kau berbicara seperti itu”, timpal si pria. 

Mendengar itu Anindya hanya memutar bola matanya malas, lalu berjalan ke kasir untuk membayar. Kasir menyebutkan totalnya 51.000. Ia panik ketika ingat bahwa uang yang ia bawa hanya 50.000. Dia sengaja tidak membawa dompet karna supermarket tersebut dekat dengan penginapannya. Dan dari awal dia sudah menghitung, mencukupkan uang yang ia bawa, ternyata pas. 

“Mbak, tidak ada kesalahan dalam menghitung ya?”, astaga Nin pertanyaan yang sangat konyol dijawab dengan kata tidak oleh si kasir. 

Anindya memberikan selembar uang berwarna biru, mengulur waktu sambil pura - pura bergumam bahwa 1000 lagi terselip di dalam sakunya. 

“1000 ya mbak? ini pakai yang saya”, 

tiba - tiba saja seorang pria memberikan uang seribu berbentuk koin. Anindya terkejut, ternyata dia lagi. 

Setelah kasir meng iya kan, Anindya menunggu diluar supermarket, bermaksud ingin mengucapkan terima kasih. Sambil memikirkan kata - kata yang akan ia sampaikan, ia terus menunduk sehingga rambut panjangnya memutupi wajahnya. Ia frustasi karena malu. Bisa tidak ia menghilang dari bumi sekarang juga?

Sudah 10 menit ia menunggu, seharusnya pria itu sudah selesai membayar, mengingat belanjaan nya yang sempat kulihat tidak begitu banyak. Akhirnya Anindya memutuskan untuk masuk lagi ke supermarket, tetapi tidak menemukan sang pria. Apa dia tadi terlalu frustasi sampai tidak menyadari kepergiannya? Aduh, lalu bagaimana jika Anindya ingin membayar hutangnya jika tidak tahu pria itu dimana?.


~Pertemuan ke 3~

Anindya duduk melamun di bangku pinggir trotoar, ia tersadar ketika segerombolan pengamen mengahampiriku. 

“Tidak boleh sedih terus mbak, nanti cantiknya hilang”, ucap salah satu pengamen. 

Anindya tersenyum seraya memberi mereka uang. Dia sedang beristirahat setelah memotret dan mewawancarai beberapa pedagang disana.

Matahari mulai terbenam, gelap akan tiba. Mengundang sang malam untuk hadir. Anindya kembali berjalan menyusuri trotoar, sesekali ia terseret oleh banyak nya orang disana. Duduk lagi, namun kali ini ke tempat yang tidak seramai tadi. Melihat ke arah tiang disamping nya, disana tergantung nama Jalan Malioboro. Lagi. Memori yang sudah lama ia kubur dalam - dalam, muncul kembali. Bagaimana tidak muncul? saat ini saja Anindya sedang berada di Kota nya. Kota dimana yang membuat dirinya merasa ingin pergi tiap kali mengingat nama nya. 

Ia langsung menghapus air matanya ketika seseorang tiba - tiba duduk. Ia sama sekali tidak peduli, bahkan menoleh sekali pun. “Pertemuan ke 3 kali nya ya?”, ucapnya membuka suara. Aku sontak menoleh, dia lagi. Ya ampun apa dia cenayang? kenapa selalu muncul dimana pun Anindya berada? 

“Tahu tidak? kata orang, jika kita bertemu 3 kali dengan seseorang yang tidak kita kenal, maka..”, belum sempat melanjutkan Anindya sudah memotong nya dan berkata

 “Jodoh?”, tertawa hambar. Pria tertawa. 

“Pikiran yang klise, bukan itu. Artinya kita akan segera mengenalnya”

“ Jadi maksudmu, ingin berkenalan dengan ku?”, tanya Anindya.

“Saya tidak bilang begitu, malah kamu yang akan berkenalan dengan saya toh?”, Anindya mengerutkan kening nya tidak mengerti. 

“Memangnya lupa kamu punya hutang sama saya loh?”

Ini pria ingin mempermalukannya atau bagaimana? 

Anindya segera mengambil dompet dari tas nya dan memberikan selembar uang 10.000 kepada pria. 

“Kamu tidak bisa menghitung ya? hutang mu padaku itu 1.000, bukan 10.000”, ucap si pria. 

“Saya tahu, tapi tidak ada uang 1.000 di dompet saya. Jadi, terima saja ini.”, 

Tetapi pria diam saja tidak mengambil uang itu. Ia malah berdiri 

“Besok saya tunggu disini jika sudah mempunyai uang 1.000. Bebas pukul berapa pun”, persis seperti saat pertama bertemu, ia berbalik badan lagi dan mengatakan 

“Bisakah ksmu berdiri untuk saya? Cepat pulang dari sini, tidak baik berada di tempat sepi dengan keadaan hampir malam ini”, pria itu pergi meninggalkan Anindya yang masih tidak percaya dengan tingkah laku pria tersebut.

-

Sesuai perkataan kemarin sore, Anindya melihat pria itu sedang mengobrol dengan beberapa turis. Sebenarnya Anindya tidak menganggap ucapan pria kemarin dengan serius. Tapi pria tersebut berkata serius.
“Kamu akan membawaku kemana? jangan - jangan menculikku ya?”, ucap Anindya was was. 

“Bisa tidak pikiran mu tentangku hanya yang baik - baik saja, memang nya saya pernah berbuat hal buruk apa kepadamu, sampai kamu terus menuduhku pria yang jahat?”, 

Anindya yang mendengarnya langsung menggelengkan kepala 

“Tidak, ma maksudku kamu aneh saja, jadi aku terus bertanya - tanya. Maaf jika menyinggungmu”

Pria menjawab bahwa ia juga berkata seperti tadi hanya sekedar bertanya, ia juga bukan tipikal orang yang mudah tersinggung rupanya. 

Tiba lah di Museum Affandi, Terletak di Jalan Laksda Adisucipto No.167, Papringan. Mereka berkeliling melihat banyak karya dari seorang pelukis terkenal Indonesia, Affandi. Anindya sudah memperoleh jepretan foto dan beberapa informasi dari sini. Mereka akhirnya duduk untuk istirahat. 

“Memang nya mau merencanakan pendirian apa di Jogja?”, tanya pria.

“Ko tahu?”, ucap Anindya.

“Biar saya tebak lagi, Planologi kan? Teknik dan Arsitektur Perencanaan Wilayah dan Kota?”, Anindya bergidik ngeri mendengarnya. 

“Nih uang 1.000 nya”, Anindya mengulurkan selembar uang 1.000. 

“Salah, bukan itu. Besok saya tunggu lagi di perempatan jalan. Jangan mencoba untuk tidak datang, hutang harus dibayar”.

-
Esoknya Anindya menepati janjinya. Dan kali ini pria ingin menunjukkan suatu tempat lagi. Keraton Yogyakarta Hadiningrat yang merupakan tempat tinggal Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Raja Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Lagi, ia mendapat banyak referensi dan beberapa foto disini. Banyak sekali alat tradisinal yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Pria ini aneh, dia terus saja menjelaskan ini apa, itu apa. Apa dia pemandu turis ya?. Hingga petang, mereka akan berpisah kembali. 

Namun Anindya menahannya. Mengulurkan tangan kepada pria. Sebenarnya dengan perasaan gengsi. 

“Namaku Anindya”, uluran nya tidak dibalas sama sekali, malah pria berkata 

“Saya ingat baik - baik nama mu, besok kita bertemu lagi ditempat biasa. Penasaran sama nama saya kan?”

-

Sudah beberapa hari terakhir ini, Anindya sering menghabiskan waktunya bersama pria itu. Hingga ia mendapatkan uluran tangannya, 

“Namaku Abimanyu Raden Nugroho”, mendengar itu Anindya sempat deja vu, seperti pernah mendengar tapi entah dimana. 

“Namamu hanya Anindya?”, sang empu yang ditanya menggeleng,

“Memang penting ya tahu nama lengkap ku?”, tanya Anindya. 

“Tentu saja. Saya bisa mencari bila mana kamu kabur tanpa membayar hutang”. Anindya tertawa kecil. Kali pertama Abimanyu melihat Anindya tertawa

“Anindya Sekar Pramusita, itu nama lengkap ku”

Abimanyu memandang beberapa saat ke arah gadis yang sering menunduk dan banyak melamun itu. Nama yang indah.

 “Ingin tahu sesuatu?”, kata Abimanyu.

“Apa?”

“Nama mu itu terdapat unsur Jawa, Anindya berarti sempurna. Sekar artinya bunga yang cantik. Pramusita adalah kelapangan hati. Bunga yang cantik tumbuh sempurna karena kelapangan hatinya semasa hidup. Kamu juga harus seperti nama mu Nin”

“Kamu beralih profesi menjadi pakar nama ya?”, ucap Anindya seraya memunculkan senyum yang sudah beberapa tahun lama nya tidak terlihat. Meskipun hanya seperkian detik, Abimanyu dapat melihatnya. Cantik, puji nya dalam hati.

Kedekatan mereka semakin jelas. Anindya yang sangat anti dengan dunia percintaan, tunggu. Bukan berarti tidak normal, dia hanya masih trauma dengan apa yang terjadi padanya. Pacarnya meninggalkan Anindya disaat ia sedang sangat terpuruk dan hancur. Ia takut itu akan terjadi lagi padanya. 

“Aku juga tahu arti nama mu”, ucap Anindya dibalas tolehan oleh Abimanyu yang seakan - akan menanyakan ‘ Apa?’. 

“Abimanyu Raden Nugroho, Si yang tidak takut kesulitan karena ia adalah seorang putra bangsawan yang di anugerahi oleh tuhan”. Abimanyu tersenyum menandakan jawaban tersebut benar.

-

Malam minggu, yang bertabur bintang diatas langit. Hari ini Abimanyu mengajak Anindya ke sebuah konser band ternama yang berasal dari Bandung. Tentu saja sangat ramai yang menantikannya. Ditambah rintik - rintik air hujan yang turun sejak sore, lighting perpaduan ungu putih mengitari, sehingga kita melihat sekeliling dengan warna seperti itu. Menambah kesan ke aesthetic an tempat konser. 

“Ternyata kamu tahu lagu ini?”, Anindya mengangguk antusias.

“Sebenarnya ketika di Jerman, aku tidak tertinggal apa yang sedang trend di Indonesia. Tapi mengenai lagu ini, awalnya terasa biasa saja. Kenapa sekarang beda ya?”, tanya Anindya. 

“Itu karna kamu mulai menyukai lagu ini”

Abimanyu dan Anindya tersenyum seraya mengangkat tangan untuk ikut bernyanyi. 

Tidak terasa sudah 2 jam berlalu, hujan yang tadinya rintik - rintik berubah menjadi lumayan deras. Abimanyu mengajak Anindya untuk berteduh, namun Anindya menolaknya, malah berdiri mengajak Abimanyu berlari meninggalkan kerumunan di konser tadi. Tidak jarang mereka tertawa sepanjang berlari menyusuri trotoar. 

Jalan Malioboro di beri hujan. Kalian bisa membayangkan betapa indahnya gemerlap lampu jalan yang dibasahi oleh hujan. 

Anindya sendiri bahkan menyadari 

perubahan pada dirinya setelah bertemu dengan Abimanyu. Ternyata jika sudah kenal, dia tidak semenyebalkan itu. Dia juga tampan dan… wait. Apa kata pikiran Anindya tadi? ia langsung menghempas jauh pikiran konyol nya. Hingga suatu saat kita bisa benar - benar akrab dengan berbagi cerita. Anindya yang tidak pernah terbuka kepada siapa pun, mendadak berubah ketika sedang bersama Abimanyu. Sampai ia menceritakan trauma nya..


~~Flashback 6 Tahun yang lalu di Kota Jogja, Jalan Malioboro.

         “TERJADI KECELAKAAN BESAR DI PERSIMPANGAN JALAN MALIOBORO PUKUL  20.30 WIB YANG MENEWASKAN 2 KORBAN SEKALIGUS”

                        *Koran Indonesia*

Anindya yang saat itu berumur 15 tahun shock setelah tahu korban kecelakaan itu adalah Bunda dan Ayahnya. Bibi yang saat itu langsung menemui Anindya tidak mengizinkannya untuk ke TKP. Tetapi ia nekad, menaiki sepeda, memboseh dengan sangat kencang sembari air mata yang terus turun. Bibi menyusul nya. 

Saat melihat Anindya di TKP, ia tidak diizinkan untuk masuk ke garis polisi. Usianya masih dibawah umur. Anindya tidak bisa menerima itu, dia sangat hancur dan menangis kencang sambil dihapangi beberapa polisi supaya tidak melewati garis polisi.

“BUNDAAA!!”

“AYAHHH!!”

“Kalian sudah berjanji padaku kan? akan mengajak Nindya liburan sampai semua pulau di Indonesia terjelajahi kan? Kita belum mengelilingi semua pulau Bunda, mana Ayah yang akan rela cuti satu bulan demi memenuhi keinginan ku?!!”

Anindya kecil tersungkur jatuh ke aspal, tidak bisa menopang tubuhnya dengan kuat, Bibi memeluknya sangat erat. Semua orang yang menyaksikan merasa iba dan kasihan. Hingga ada salah satu warga yang berkata 

“Pak polisi, anda tidak merasa kasihan kepada anak ini?! dia ingin melihat orang tua nya untuk yang terakhir kalinya! apa kau tega membiarkannya seperti itu? dia anak nya, biarkan dia melihat nya!!”

“IYA BENAR!!”

“IZINKAN DIA MELIHATNYA!!”

Sorak para warga yang pada akhirnya polisi mengizinkan Anindya ditemani sang Bibi masuk ke TKP, dibuka nya sleting pembungkus korban. Anindya menangis sejadi - jadinya hingga ia jatuh pingsan. Itu merupakan kecelakaan terbesar yang pernah terjadi di Jalan Malioboro. Pantas saja hingga seminggu setelahnya, berita itu masih ramai tersebar di televisi, radio, internet, maupun media cetak. Hampir setiap hari Anindya mendengarnya, ditambah teman - teman sekolah nya yang bukan menyemangati, malah terus bertanya bagaimana kejadian itu terjadi.
~~~~~

Hanya kepada Abimanyu ia berani menceritakan itu semua.

“Lalu bagaimana dengan pelaku yang menabraknya?”, tanya Abimanyu.

“Dia melarikan diri, polisi tidak bisa menemukan sidik jarinya, cctv di jalan itu pun saat itu sedang rusak, aku hanya tahu mobil yang menabrak nya, itu sebab nya aku membenci Jogja dan memutuskan untuk ikut Bibi ke Jerman”, ucap Anindya tersedu - sedu. 

“Kenapa tidak memilih untuk pindah ke daerah lain?”

“Hampir kota - kota besar di Indonesia sudah pernah aku datangi bersama mereka. Aku tidak ingin datang dan mengingat kenangan yang itu membuatku sakit, aku berada disini sekarang karna keharusan untuk sidang skripsi ku, sebenarnya aku berusaha untuk tetap kuat”

Abimanyu memeluknya. Dan meminta maaf ia sudah bertanya tentang hal itu.


~Luka sekaligus obat~

Beberapa hari setelah menceritakan kejadian itu, Anindya kembali murung dan jatuh sakit. Abimanyu ingin menghibur Anindya. Ia juga ingin membuktikan bahwa tidak seharusnya ia membenci Jogja. Kali ini, Anindya sudah pulih.

 Mereka akan menyusuri Jalan Malioboro. Tentu saja dengan persetujuan Anindya. Gantian. Sekarang Abimanyu yang akan memotret dan merekam kegiatan Anindya. Mulai dari wawancara, hingga foto bersama. Sebenarnya sejak awal, diam - diam Abimanyu sering memotret Anindya, namun ia rahasiakan darinya.

“Nuwun sewu pak, gelang menika piro?” ( Permisi pak, gelang ini harganya berapa?), tanya Abimanyu.

“Sing siji regane 10.000 (Yang itu harganya 10.000), kalian berdua pacaran toh? luwih becik tuku iki entuk 2 (Mending beli yang ini dapat 2), Kalo kata anak muda zaman sekarang, euh apatu, couple”, tawar si penjual gelang tertawa.

“Kita tidak pacaran pak”, ucap mereka bersama.

“Ah moso, gak percoyo aku, orang serasi gini toh. Sing wedok ayu, sing lanang ganteng” (Ah masa, aku tidak percaya. Serasi gini loh. Yang perempuan cantik, yang laki-laki ganteng), penjual gelang tetap kekeuh.

Akhirnya mereka membeli gelang couple yang ditawarkan oleh penjual. Gelang khas Jogja yang dihias dengan renjeng - renjeng batik. Sama seperti tema yang Anindya kenakan. Hari ini Abimanyu sangat terpesona melihat Anindya yang memakai batik. Cantiknya itu loh, natural. Anindya hanya ingin mencoba sesekali berkain ditanah kelahirannya itu.

Hingga tiba saat dimana Abimanyu mengajak Anindya ke rumah nya. Tenang, belum seserius itu kok. Hanya sekedar bersilaturahmi menemui Ibu nya. Awalnya Anindya menolak karna malu, tapi setelah dibujuk beberapa kali, ia akhirnya mengiyakan. Duduk diruang tamu yang sangat elegan. Rumahnya mewah tapi bernuansa tradisional. Sangat Jogja sekali. Seorang wanita menuruni tangga. Itu pasti Ibu nya Abimanyu. Anindya berdiri dan tercengang melihat wanita itu. Begitupun sebaliknya. Tiba - tiba seorang pria lain muncul dari arah pintu 

“Eh bro, kapan kesi…”, belum sempat pemuda itu berkata, ia terkejut melihat ada Anindya diruang tamu. Hingga terkenang lagi masa lalu itu.

~~~~~~
Pov : Anindya saat SMP

“Cantiikkk..!”

suara seorang pemuda menggema masuk hingga ke dalam gerbang sekolah. Sang gadis yang merasa dirinya terpanggil melotot mendengar teriakan itu dan segera berlari, aroma-aromanya seperti siap untuk menghajar. Bukan merasa paling cantik ketika dipanggil seperti itu langsung bergegas, hanya saja ia tahu dan kenal suara pemuda tersebut. Dan panggilan itu sering ia dengar dari mulut si pemuda. Namun disisi lain, sang pemuda yang menyebabkan riuh suasana sekolah SMP itu hanya duduk diatas motor sembari tertawa ketika melihat sang empu memicingkan matanya dan menemukan keberadaan si pemuda. Menghampirinya dan ingin cepat pergi dari lingkungan sekolah.

Pemuda mengendarai motor perlahan, beberapa saat kemudian meminggirkan motornya untuk berhenti dahulu, memberikan helm yang tidak sempat dipakai oleh gadis itu, namun gadis itu hanya diam tak menggubris, wajahnya menunduk tertutup rambut yang digerainya karna tertiup sepoi-sepoi angin. Si pemuda mendengus dan mulai memasangkan helm kepada si gadis. Ketika hendak mengesampingkan anak-anak rambut yang menutupi wajahnya, sang pemuda tersenyum melihat si gadis yang mengerucutkan bibirnya.

 “Tidak usah, akan kupakai sendiri!”, menepis tangan pemuda yang hendak memasangkan helm kepada si gadis.

 

“Kamu marah?”, gadis itu terdiam tidak menjawab. 

“Astaga ayolah masa kamu marah cuma gara - gara tadi?”., mulai panik dengan diamnya si gadis, artinya ia benar-benar marah. 

“Cuma kamu bilang? kamu tahu tidak orang - orang disekolah tadi menatapku tajam, seperti ingin menerkam, lagipula kenapa tiba - tiba menjemputku masih pakai seragam sih?! mereka kan tahu dulu kamu itu wakil ketua Osis dismp ku, sepertinya besok aku langsung diserang deh oleh penggemar - penggemar mu itu, hahh tamatlah riwayatku!!”, teriaknya frustasi dipingir jalan raya itu.

 “Oke - oke aku minta maaf ya?”, ucap pemuda.

Motor yang mereka tumpangi akhirnya berjalan kembali, namun si pemuda mengambil arah jalan yang salah, bukan menuju ke rumah mereka.

“Loh kok?.. perasaan kita tinggal disini sudah beberapa tahun deh, Masa lupa arah jalan pulang?”, gadis merasa heran.

“Mau mengobati yang sedang marah dulu deh”

“HAH, maksudnya apaan nih? OH.. toko ice cream? ini jalan ke toko ice cream kan?!”, suara melengking gadis itu hanya dibalas deheman oleh si pemuda.

 “Eh tapi Bunda…”

“Nanti aku yang bilang kita mampir dulu kesini”, gadis itu langsung tersenyum mendengar balasan si pemuda.

Melihat reaksi gadis dari spion, pemuda itu ikut tersenyum. Sepanjang jalan si gadis tidak berhenti untuk merecok dan mengobrol menanyakan hal yang tidak penting, moodnya sudah berubah. Ia senang hanya dengan sebuah ice cream.

 Dan balutan seragam SMP juga putih abu yang dikenakan si pemuda, menjadi saksi tawa ria mereka.

Membahas tentang Bunda. Jangan salah paham dan mengira mereka adalah adik kakak, jawabannya salah. Mereka tetanggaan, rumah mereka saling berhadapan di satu komplek perumahan. Di Jogja. Ya. Dan sepeda motor yang mengarah ke toko ice cream itu adalah Jalan Malioboro.

Usia mereka berbeda, si gadis adalah seorang remaja yang masih mengenakan seragam biru dongker, sedangkan si pemuda adalah remaja SMA. Bunda selalu menitipkan gadis itu kepada pemuda. Karna sudah lama mereka sangat dekat. Sampai dengan nekadnya gadis dan pemuda memutuskan untuk mempuyai hubungan lebih, yaitu pacaran.

Astaga, gadis remaja kelas 8 sudah punya pacar? apakah diizinkan oleh sang Bunda? tentu saja tidak. Mereka diam - diam, selalu chattingan tiap hari, tiap malam. Maklum saja masih kisah cinta monyet.

Namun entah kenapa semuanya berubah, tiba tiba saja…
~~~~~~~~

Tersadar dari lamunannya Anindya bergegas izin pamit dari rumah itu. Namun ia salah mengambil jalan keluar. Ia malah masuk ke halaman yang disana tampak…Tunggu. Dia tidak salah lihat kan? Dia langsung buru - buru mengecek hp dan galeri. Mencari foto yang 6 tahun lalu masih tersimpan di galerinya. Foto TKP, tempat Ayah dan Bunda nya kecelekaan. Nafas nya semakin memburu tak karuan. Abimanyu menghampiri Anindya. 

“Kenapaa? ada apa Nin?”, Anindya hanya menggeleng - gelengkan kepalanya tak percaya. Ia menyeka air mata yang terus turun membasahi pipinya. 

“Siapa pemilik mobil itu? itu punya mu kan?! itu mobil yang pernah kamu ceritakan padaku? mobil kesayangan yang ternyata rusak entah kenapa?!, ITU MOBIL YANG MENABRAK ORANG TUA KU ABIMANYU!!”, ia memberikan handhphone nya, tertera foto dimana mobil itu memang benar ada di TKP. 

“ Dan apalagi? dia kakak mu?!”, menunjuk pria yang tadi datang.

“Adicandra Putra Nugoroho? Abi? Adi? Nugroho? Astaga, kenapa aku sangat polos? nama kalian saja berkaitan. Dia adalah mantan pacar yang aku ceritakan padamu!!, yang meninggalkan ku disaat aku sedang terpuruk itu diaa!! Tante? kau mengenalku kan?”, Anindya pergi meninggalkan semua yang terkejut. Terutama Abimanyu yang tidak tahu apa-apa.

Setelah kejadian itu, Abimanyu  berusaha menyelidiki sendiri. Terungkap bahwa Kakak nya, Adicandra yang menabrak kedua orang tua Anindya. Tidak dengan sengaja. Saat itu murni kecelakaan. Adi dijebak oleh teman - temannya, dipaksa ke club, dan kopi yang ia pesan ternyata dicampur alkohol. 

Saat itu ia hendak pulang menaiki mobil yang ia pinjam dari adiknya. Abimanyu. Namun aneh yang dirasa, diperjalanan kepalanya mendadak pusing hingga dia tidak bisa dan lupa cara menghentikan mobil nya. Tanpa disadari ia ternyata menabrak seseorang. Ia tidak bisa melihat dengan jelas korban nya itu. Yang dirasa hanya ketakutan yang hebat sekujur tubuhnya, mengingat dia juga masih pelajar. Ia memutuskan untuk melarikan diri. Dari TKP, keluaraganya, dan Anindya. Tidak melanjutkan sekolah. Hanya sembunyi dan kabur yang ia fikirkan saat itu. 

Namun polisi menemukannya sebagai anak 

yang hilang dari keluarga Nugroho. Sejujurnya ia mengalami gangguan mental beberapa tahun, karena ketakutan, penyesalan dan rasa bersalah itu terus menghantui Adi.

Anindya yang mendengar cerita itu ikut menangis. Apa yang akan kalian rasakan jika berada di posisinya? Berhadap - hadapan dengan seseorang yang membuat orang tuanya tewas. Mereka sedang bertemu. Lebih tepatnya, menjenguk Adi di penjara. Kini Adi sudah dewasa, ia sendiri yang menyerahkan diri ke kantor polisi. Dan dinyatakan penjara seumur hidup. 

Sulit bagi keluarga Nugroho menerima ini semua. Namun ini sudah jadi pilihan Adi sendiri. Baginya, lebih baik menebus kesalahan walau sulit, daripada hidup selalu dihantui rasa bersalah.


~Pulang ke rumah~

Sudah 29 hari Anindya menjalankan tugasnya. Besok adalah hari dimana ia harus kembali ke Jerman. Ia sudah membuat proposal yang sudah disetujui oleh pemerintah. Tugas Anindya selesai. Tinggal pemerintah yang memprosesnya. Pagi ini, biasanya para pedagang lengkap semua. Ia berpamitan kepada semuanya. 

Ya, hampir semua pedagang akrab dengan Anindya. Mengingat Anindya sering mondar - mandir unuk tugasnya itu. Rasanya.. sulit, seperti tidak ingin meninggalkan tempat ini.

“Ingat ya, sesulit apapun masalah yang kamu hadapi, saya yakin kamu pasti kuat. Kini saya sudah tidak bisa mendampingi mu lagi. Tapi dimana pun dan kapan pun saya berada, sebenarnya saya ada dekat dengan kamu”, Anindya terharu mendengar penuturan Abimanyu.

-
Sinar sang surya menembus kamar dipagi hari, menyorot ke arah wajah yang membuat sang empu terbangun. Ia melihat jam dan tersenyum. Segera mempersiapkan diri, dia harus berdandan cantik hari ini. Melangkah menuruni tangga, ia tahu siapa yang 1 menit lalu membunyikan bel.

Abimanyu Raden Nugroho. 

“Siap untuk menyusuri ruang waktu lagi?”, Anindya mengangguk antusias. Para pedagang menyambut kedatangan nya dengan meriah, Anindya tidak menduga mereka akan melalukan ini semua. Mereka adalah keluarga bagi Anindya. Dan akan dipastikan ia akan setiap hari mengunjungi mereka.

Jadi, Anidnya sudah lulus, kabar baiknya ia lulus dengan nilai IPK tertinggi di jurusannya. Setelah 3 hari 3 malam pesta perayaan wisuda di Jerman, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Dan tinggal menetap Di Jogja. 

Anindya yang sekarang sudah berubah. Kembali ke jati diri yang sesungguhnya. Ia sebenarnya gadis yang periang. Jika bukan karna hutang 1.000 itu, Anindya tidak akan bisa bertemu dengan Abimanyu. Dia adalah pria yang bisa meyakinkan Anindya, yang bisa menyembuhkan luka dalam hatinya, dan menghilangkan trauma dalam dirinya.

Kini Anindya sadar, dia tidak menyalahkan dirinya, Adi dan Jogja. Karna semua yang terjadi pada dirinya, manis ataupun pahit, tentu sudah direncanakan oleh Sang Maha Kuasa. Kita harus selalu mensyukuri nya. Juga mau seindah apapun Kota Berlin di Jerman, tetap saja, tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi tanah air tercinta kita. Indonesia dan Kota Jogja tanah kelahiranku. 

Dan yang paling layak untuk menguatkan disaat tak ada yang menguatkan, adalah diri sendiri. Maka jangan lupa Bilang ke diri sendiri ‘Terima kasih sudah bertahan, maaf jika keadaan belum sesuai yang diharapkan’.

“Saya boleh jujur tidak? ini pernyataan yang belum pernah berani saya ucapkan langsung kepada kamu”, tanya Abimanyu.

Anindya mengernyitkan dahinya, “Apa?”

“Kamu adalah wanita yang saya bilang cantik setelah Ibu”

“Dan setelah berkata itu, kamu masih belum mengajakku berstatus?, ucap Anindya yang tak bisa menahan wajah merahnya.

Ia berjalan ke Jalan Maliobro untuk menutupi malunya. Handphone nya tiba - tiba berdering, aneh gumamnya, tapi segera ia angkat sambil menghadap ke arahnya dibelakang. 

“Anindya Sekar Pramusita. Detik ini, izinkan saya untuk menjadikan kamu sebagai pendamping dalam hidup saya. Untuk selamanya, di Kota Istimewa Yogyakarta”.

Tut 

Tut

Tut

sambungan diputuskan. Mereka saling pandang, Abimanyu berjalan mendekatinya namun Anindya berjalan cepat. Di dapat nya genggaman itu. Sembari merekam setiap kegiatan yang mereka lakukan. 

Hingga gelap malam tiba. Menenggelamkan sunset yang datang sesaat. Hari ini Anindya sangat bahagia. Tiba - tiba terdengar sebuah lagu yang akhir - akhir ini menjadi favorit nya, menggema sepanjang jalan Malioboro.

           🎵 Terbawa lagi langkahku ke sana..
🎵 Mantra apa entah yang istimewa..
      🎵 Ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja..
            🎵 Dengar lagu lama ini katanya..
  🎵 Izinkan aku pulang ke kotamu..
     🎵 Ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja…

                                ~T A M A T~

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun