"Suamimu tidak merasa dilengkahi?"
Ganti kepalaku menggeleng. "Ia adalah laki-laki terhebat setelah Papaku. Aku berterimakasih boleh memilikinya."
Helga diam saja. Mungkin sudah habis persediaan pertanyaan di kepalanya. Tak lama pembicaraan intermezzo itu pun berganti dengan urusan bisnis. Harus segera kelar sebelum aku bertolak pergi menempuh tahap karirku.
^^^^^
Aku tahu, aku harus segera memberitahu suamiku tentang rencana kepindahanku ke Australia secepatnya. Aku tahu, aku harus meluruhkan semua keraguan yang berhubungan dengan pikiran-pikiran tak jelasku tentang kemungkinan reaksi dari suamiku. Dan, aku tahu juga, aku harus punya alternative sekiranya yang terjadi tidak sesuai yang kuinginkan.
Hhh...
Mengapa cuma untuk menyatakan ini saja sulit sekali? Padahal sehari-hari aku bisa cepat memutuskan sesuatu menyangkut masalah perusahaan. Apakah sedemikiannya aku sangat menjaga perasaan suamiku yang sejujurnya memang karirnya tak semulus aku?
"Aku tahu, kamu ingin mengatakan sesuatu, Mom..," ujar Nanu malam ini sebelum kami tidur. "Kenapa nggak kamu katakan saja?" Suamiku terkasih ini nampaknya sudah bisa menduga apa yang terjadi.
Aku menarik nafas sejenak. Lalu aku berdiri, mengambil sebuah amplop putih dari dalam tas kerja yang tergeletak di meja dekat situ. Amplop putih itu masih rapi sebagaimana hari lalu.
"Maafkan aku, Pap...," aku mulai memberanikan diri bicara, "Sebenarnya aku ingin mengutarakan berita ini dari kemarin-kemarin. Tapi, ternyata aku belum cukup berani."
"Kenapa?"