Ahh... Aku sungguh merasa menjadi perempuan paling beruntung sedunia. Sudah karirku menanjak, suami so romantic dan mencintaiku. Luar biasa...
Tapi, itu tiga bulan lalu. Saat aku Cuma memberitahu lisan apa yang dikatakan Mr, Raft. Andai Nanu membaca surat yang tetap menggeletak di meja itu, apakah dia akan bereaksi sama? Apakah dia akan menyatakan kebanggaannya padaku lalu membuatku sarapan special sebagaimana pagi itu?
Aku malah jadi berpikir terlalu jauh gini.
Entahlah... Diantara kebahagiaan, kebanggaan serta ketekadanku untuk membuat semua menjadi lebih baik untuk hidup dan keluargaku, terselip ketakutan, apakah Nanu akan menerima dan mendukung keputusan ini? Hidup kami selama ini sudah nyaman dan nyaris tanpa masalah, aku khawatir kalau gara-gara ini justru mengganggu kenyamanan kami.
Lalu... Aku harus bagaimana?
^^^^^
Mama baru menelponku, memberitahu kalau Stefan, adik terkecilku akan pindah kerja ke Kalimantan. Padahal pekerjaan yang sekarang ini belum juga genap setahun. Itu pun  setelah loncat dari perusahaan sebelumnya. Nggak aneh kalau adik bungsu, satu-satunya cowok itu kami panggil dengan kutu loncat.
"Yah, nggak apa-lah Mom... Namanya juga cowok ini. Masih bujang pula," komentar Nanu ketika kuberitahu tentang telpon dari Mama tersebut.
"Tapi, ini sudah ketiga kalinya sejak dia lulus dua tahun lho, Pi... Masa iya, diantara itu nggak ada yang setahun bertahan?" bantahku tidak setuju dengan apa yang dilakukan adikku itu.
"Kita kan sudah bilang berulangkali sama dia, tapi dia masih melakukannya, gimana lagi coba?" Nanu mengembalikan pertanyaanku. "Yang penting anaknya enjoy, cocok di tempat kerjanya, ngerti resiko dan siap menghadapinya, what else?"
Aku terdiam.