Mohon tunggu...
Anjar Anastasia
Anjar Anastasia Mohon Tunggu... Penulis - ...karena menulis adalah berbagi hidup...

Akun ini pengganti sementara dari akun lama di https://www.kompasiana.com/berajasenja# Kalau akun lama berhasil dibetulkan maka saya akan kembali ke akun lama tersebut

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Penggemar Suamiku

21 Juni 2019   16:47 Diperbarui: 21 Juni 2019   17:00 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari: http://ava7.com/

Tatapanku lama sekali melihat amplop putih di atas meja.

Di sana tertulis sebuah keputusan yang menyangkut masa depan dan karirku di perusahaan multinasional ini. Aku sudah membuka sejak pagi tadi.

Tapi, tetap saja aku merasa tidak percaya pada apa yang tertulis di sana.

Sebenarnya sudah sejak dari tiga bulan lalu, Mr. Raft memberitahukan bahwa karirku akan mengalami kenaikan. Tentu saja hal itu karena melihat prestasi kerjaku selama ini.

Bangga?

So, pasti... Sejak mula aku kerja di tempat ini, cita-citaku adalah ingin mengembangkan karirku. Aku sangat yakin dengan diriku sendiri bahwa aku bisa dan mampu mencapai itu.Dan, terbukti kini...

Orang pertama yang memberiku selamat adalah Nanu, suami tercintaku. Malam di hari Mr. Raft memberi kabar itu, aku memberitahukan kepada pasangan hidupku itu. Nanu yang terkenal dingin, malam mendadak memelukku erat. Nyaris tak terlepas.

"I proud of you, Mom... Really proud of you..," bisiknya di telingaku.

Esok paginya, suami tercintaku itu memasakkan aku nasi goring special. Sangat special. Aku bisa nambah saking spesialnya. Anak-anak saja sampai habis tak bersisa makanannya. Jarang banget bisa seperti ini.

Kata Nanu, "Hadiah kecil untuk keberuntungan karirmu, Mom..."

Ahh... Aku sungguh merasa menjadi perempuan paling beruntung sedunia. Sudah karirku menanjak, suami so romantic dan mencintaiku. Luar biasa...

Tapi, itu tiga bulan lalu. Saat aku Cuma memberitahu lisan apa yang dikatakan Mr, Raft. Andai Nanu membaca surat yang tetap menggeletak di meja itu, apakah dia akan bereaksi sama? Apakah dia akan menyatakan kebanggaannya padaku lalu membuatku sarapan special sebagaimana pagi itu?

Aku malah jadi berpikir terlalu jauh gini.

Entahlah... Diantara kebahagiaan, kebanggaan serta ketekadanku untuk membuat semua menjadi lebih baik untuk hidup dan keluargaku, terselip ketakutan, apakah Nanu akan menerima dan mendukung keputusan ini? Hidup kami selama ini sudah nyaman dan nyaris tanpa masalah, aku khawatir kalau gara-gara ini justru mengganggu kenyamanan kami.

Lalu... Aku harus bagaimana?

^^^^^

Mama baru menelponku, memberitahu kalau Stefan, adik terkecilku akan pindah kerja ke Kalimantan. Padahal pekerjaan yang sekarang ini belum juga genap setahun. Itu pun  setelah loncat dari perusahaan sebelumnya. Nggak aneh kalau adik bungsu, satu-satunya cowok itu kami panggil dengan kutu loncat.

"Yah, nggak apa-lah Mom... Namanya juga cowok ini. Masih bujang pula," komentar Nanu ketika kuberitahu tentang telpon dari Mama tersebut.

"Tapi, ini sudah ketiga kalinya sejak dia lulus dua tahun lho, Pi... Masa iya, diantara itu nggak ada yang setahun bertahan?" bantahku tidak setuju dengan apa yang dilakukan adikku itu.

"Kita kan sudah bilang berulangkali sama dia, tapi dia masih melakukannya, gimana lagi coba?" Nanu mengembalikan pertanyaanku. "Yang penting anaknya enjoy, cocok di tempat kerjanya, ngerti resiko dan siap menghadapinya, what else?"

Aku terdiam.

Ada benarnya juga pendapat Nanu itu. Apalagi Stefan bukan anak kecil lagi. Dia sudah Sarjana Teknik yang pasti ingin membagikan ilmu dan kemampuannya sesuai apa yang ia dapat selama ini.

"Trus,  Friska, teman SMA-mu itu gimana? Jadi re-sign untuk jadi ibu rumah tangga full?" Tanya Nanu mengingatkanku pada cerita sekian waktu lalu tentang Friska, sobatku di SMA dulu. Dia yang sudah punya dua anak berencana re-sign untuk menjadi ibu rumah tangga saja. Full time.

"Nampaknya jadi. Aku sudah lama tidak kontak dia lagi," jawabku mengeja yang terjadi. Maklum, sudah lama juga tidak kontak dengan Friska.

"Hebat ya Friska... Punya gelar S2, tapi akhirnya mengalah demi anak-anak dan keluarganya. Iya sih, masih bisa freelance. Tetap saja menurutku pilihan yang nggak bisa dianggap biasa saja," puji Nanu.

Sesaat aku terdiam.

Pujian itu ku tahu tidak dalam rangka menyindir siapa-siapa. Tapi, kok serasa ada yang mengenai sanubari ya? Apakah selama ini aku terlalu memperhatikan diri sendiri, demi karir dan cita-cita yang kukejar? Apakah dengan pilihanku itu keluargaku terbengkalai?

Pandangan aku lepas ke luar jendela. Di sana ada iring-iringan awan. Semoga membawa resahku menjauh.

"Jadi suamimu itu desainer web site gitu?" tanya Helda, partner bisnis pada proyek kantorku kali ini.

"Iya, Jeng... Dia lulusan design visual gitu," komentarku menambahkan.

"Trus, kerja di perusahaan apa gitu? Apa bareng teman-temanya buka PH?" Helda seperti ingin tahu sekali.

Kepalaku menggeleng. "Enggak. Dia freelance saja. Kantornya ya di rumah kami."

"Lha terus klien-nya darimana?"

"Lumayan-lah, Jeng darimana-mana...," aku meneguk dulu sisa minuman dingin yang tadi kupesan. "Papinya anak-anak kan pinter bergaul. Jadi ada aja kerjaan buatnya."

"Ooo gitu tho..." Helda manggut-manggut. Tiba-tiba ia duduk lebih rapat ke sebelahku. "Eh, Jeng-jeng... Kamu kan Asisten Brand Manager nih... Sebentar lagi akan ada promosi karir pula. Apa nggak sungkan punya suami yang cuma freelance gitu?"

Aku memandang Helga sedikit kaget. Maksudnya gimana nih...

"Maksudmu gimana dengan kata sungkan gitu?"

"Ya-ya-ya..." Helga jadi seperti serba salah sendiri sebelum menerangkan apa yang dimaksud. Aku juga jadi penasaran sekali. "Ya-ya kamu kan punya kedudukan bagus, karir tinggi, finansial apalagi... Lha suamimu hanya begitu, apa kamu nggak merasa aneh aja kedudukan kalian terbalik?"

Aku tersenyum tipis. Mengerti sekarang.

"Gini lho ya, Jeng... Aku ini kalau kerja suka sampai malam sementara dua anakku masih kecil-kecil. Jeng bayangkan saja kalau tidak ada yang memperhatikan mereka. Nggak tahu perkembangannya. Pasti menyedihkan sekali kan?"

Kepala Helga angguk-angguk. Dia masih memperhatikan apa yang hendak kukatakan lagi padanya.

"Nah, sejak awal pernikahan, suamiku itu sudah sangat tahu bahwa aku akan mengalami tahap-tahap karir yang pasti beresiko dalam keluarga, terutama bagi anak-anak. Supaya resiko itu bisa sangat dikurangi, ia bersedia menjaga anak-anak kami itu selama aku bekerja. Toh, week end aku pasti full di rumah bagi mereka dan kerjaan suamiku itu juga memang pekerjaan yang bisa dikerjakan dimana pun."

Helga memandangiku dengan tatapan masih tak percaya. Ku tepuk bahunya tak keras. "Buat sebagian orang mungkin aneh. Tapi, buat keluarga kami tidak. Secara pribadi, aku sangat bahagia memiliki seorang suami yang sangat pengertian serta mendukung karir serta apa pun yang kuperbuat."

"Suamimu tidak merasa dilengkahi?"

Ganti kepalaku menggeleng. "Ia adalah laki-laki terhebat setelah Papaku. Aku berterimakasih boleh memilikinya."

Helga diam saja. Mungkin sudah habis persediaan pertanyaan di kepalanya. Tak lama pembicaraan intermezzo itu pun berganti dengan urusan bisnis. Harus segera kelar sebelum aku bertolak pergi menempuh tahap karirku.

^^^^^

Aku tahu, aku harus segera memberitahu suamiku tentang rencana kepindahanku ke Australia secepatnya. Aku tahu, aku harus meluruhkan semua keraguan yang berhubungan dengan pikiran-pikiran tak jelasku tentang kemungkinan reaksi dari suamiku. Dan, aku tahu juga, aku harus punya alternative sekiranya yang terjadi tidak sesuai yang kuinginkan.

Hhh...

Mengapa cuma untuk menyatakan ini saja sulit sekali? Padahal sehari-hari aku bisa cepat memutuskan sesuatu menyangkut masalah perusahaan. Apakah sedemikiannya aku sangat menjaga perasaan suamiku yang sejujurnya memang karirnya tak semulus aku?

"Aku tahu, kamu ingin mengatakan sesuatu, Mom..," ujar Nanu malam ini sebelum kami tidur. "Kenapa nggak kamu katakan saja?" Suamiku terkasih ini nampaknya sudah bisa menduga apa yang terjadi.

Aku menarik nafas sejenak. Lalu aku berdiri, mengambil sebuah amplop putih dari dalam tas kerja yang tergeletak di meja dekat situ. Amplop putih itu masih rapi sebagaimana hari lalu.

"Maafkan aku, Pap...," aku mulai memberanikan diri bicara, "Sebenarnya aku ingin mengutarakan berita ini dari kemarin-kemarin. Tapi, ternyata aku belum cukup berani."

"Kenapa?"

Aku tidak menjawab langsung. Amplop putih berkop perusahaanku, kuberikan padanya. Nanu menerima dan segera membacanya.

Tidak sampai dua menit ia membuka beberapa halaman surat tersebut.

Di kedalaman sanubari, sudah berdegup kencang menanti reaksinya. Sesekali kulirik suamiku itu dengan sedikti meragu. Berharap semua akan baik-baik saja, tidak membuat mala mini menjadi lebih gelap karena kesalapahaman, dampak dari surat itu.

"Mom..," Nanu mendekatiku, "Kurang lebih dua bulan lalu kamu sudah bilang ke Papi soal ini. Papi menunggu-nunggu kepastiannya. Kenapa baru sekarang Mami bilang?"

Aku terdiam. Sejujurnya sedikit menebak maksud dari pertanyaan suamiku barusan. "Mmm... Surat keputusan itu baru kudapat beberapa hari lalu kok, Pap... Maaf kalau baru sekarang aku berikan."

"Kamu tuh ya...," Nanu menekan ujung hidungku. "Apa kamu nggak ingat kita sudah punya anak-anak yang nggak bisa mendadak cari sekolah? Iya sih, untungnya rumah dan fasilitas lain sudah disediakan. Tapi, sekolahan anak-anak ini lho..."

Lagi-lagi kuterdiam dan membiarkan suamiku mengambil tabletnya. Ada sesuatu yang ia cari di sana.

"Inget kan waktu kita holiday terakhir itu?"

Aku mengangguk.

"Mami sudah sedikit bicara tentang kemungkinan perusahaan akan menugaskan banyak karyawannya ke Australia. Nah, feeling Papi aja nih iseng nyari beberapa sekolah untuk anak-anak. Kebetulan juga Papi punya teman di daerah sana. Nih... Papi sudah nemu. Kita tinggal make sure aja..."

Mulutku ternganga. Tidak menyangka apa diucapkan Nanu barusan. Tidak ada raut sebal, marah apalagi merasa dinomorduakan karena aku telat memberitahu surat keputusan kepindahanku itu.

"Pi... Kamu nggak komentar tentang kepindahanku itu? Ke Australia lho... Kita harus pindah dari sini," aku berusaha memancing.

"Ini kan bukan pertama kali kita pindah karena kerjaan, Mom... Waktu kamu harus menjalani training, kita juga sempat setahun di Singapore. Setelahnya harus berpisah sementara karena kamu harus ke Jepang untuk seminar dan survey. Trus, kenapa lagi?"

"Tapi, yang ini bakal lama..." Aku masih berusaha membantah, bermaksud memancing sesuatu.

"Yang penting, pendidikan dan kebutuhan anak-anak bisa teratasi dengan jelas, Mom..."

"Urusan Papi sendiri, gimana?" Terungkap juga pengganjal hati. Semoga Nanu menangkap maksudku sebenarnya.

Mata Nanu menatapku tajam. Di sorot tajam pasang mata yang memang menjadikan alasanku untuk jatuh cinta pertama kali padanya itu seperti sedang memastikan atas pertanyaanku itu. Kurasa ia menangkap maksudku, namun ingin memastikan dahulu. Aku tahu, Nanu tetap selalu menjaga perasaanku. Untuk urusan apa pun.

"Maksudmu, bagaiana dengan pekerjaanku di sana?" tanyanya pelan. Kepala pun ku anggukkan pelan. Nanu mendekatiku, lalu menyentuh tanganku lembut, "Mom... Dari awal kita berhubungan dulu, kita kan pernah berjanji untuk selalu mendukung agar kita bisa menjadi manusia yang lebih baik. So, jangan kuatirkan hal itu karena aku percaya, aku juga pasti akan menjadi sesuatu yang akan menjadikanku lebih baik di sana."

"Tapi, kita kan nggak tahu apakah di sana ada pekerjaan yang sesuai denganmu, Pi..."

Nanu membelai rambutku mesra. "Kamu tahu, aku bisa bekerja apa saja untuk menafkahi keluarga kita, Mom... Asal pekerjaannya halal, akan kujalani..."

Tak kuasa, kupeluk erat suami terkasihku ini. Ia yang kukenal selalu bisa menjaga perasaanku, tak pernah berubah hingga hari ini. Bahkan pada sebuah persoalan yang mungkin bisa menyetil gengsinya sebagai seorang laki-laki. Nanu ternyata tidak mempedulikannya. Ia hanya mempedulikan anak-anak dan kehidupan keluarga ini agar bisa tetap utuh dalam kebersamaan dan kebahagiaan.

"Aku bangga padamu, Mom... Seorang perempuan sekaligus maminya anak-anak yang tangguh dan berprestasi. Semoga kamu pun bisa menerima suamimu ini apa adanya juga...," ujarnya pelan. Ditariknya kepalaku pelan, "Kita saling mendukung ya..." Dikecupnya keningku dengan seluruh rasa dan kasih sayangnya.

Aaahhh....

Tanpa kalimat dan suara, kupastikan aku sungguh bangga pada lelakiku satu ini. Lahir batin dan sejak dahulu. Tak pernah ragu sedikit pun bahwa aku memang penggemar sejati suamiku. Tidak peduli di luar sana ada banyak orang memandang aneh apa yang kurasakan ini...

^^^^^

*Pernah dimuat di majalah Housekeeping

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun