Aku tidak menjawab langsung. Amplop putih berkop perusahaanku, kuberikan padanya. Nanu menerima dan segera membacanya.
Tidak sampai dua menit ia membuka beberapa halaman surat tersebut.
Di kedalaman sanubari, sudah berdegup kencang menanti reaksinya. Sesekali kulirik suamiku itu dengan sedikti meragu. Berharap semua akan baik-baik saja, tidak membuat mala mini menjadi lebih gelap karena kesalapahaman, dampak dari surat itu.
"Mom..," Nanu mendekatiku, "Kurang lebih dua bulan lalu kamu sudah bilang ke Papi soal ini. Papi menunggu-nunggu kepastiannya. Kenapa baru sekarang Mami bilang?"
Aku terdiam. Sejujurnya sedikit menebak maksud dari pertanyaan suamiku barusan. "Mmm... Surat keputusan itu baru kudapat beberapa hari lalu kok, Pap... Maaf kalau baru sekarang aku berikan."
"Kamu tuh ya...," Nanu menekan ujung hidungku. "Apa kamu nggak ingat kita sudah punya anak-anak yang nggak bisa mendadak cari sekolah? Iya sih, untungnya rumah dan fasilitas lain sudah disediakan. Tapi, sekolahan anak-anak ini lho..."
Lagi-lagi kuterdiam dan membiarkan suamiku mengambil tabletnya. Ada sesuatu yang ia cari di sana.
"Inget kan waktu kita holiday terakhir itu?"
Aku mengangguk.
"Mami sudah sedikit bicara tentang kemungkinan perusahaan akan menugaskan banyak karyawannya ke Australia. Nah, feeling Papi aja nih iseng nyari beberapa sekolah untuk anak-anak. Kebetulan juga Papi punya teman di daerah sana. Nih... Papi sudah nemu. Kita tinggal make sure aja..."
Mulutku ternganga. Tidak menyangka apa diucapkan Nanu barusan. Tidak ada raut sebal, marah apalagi merasa dinomorduakan karena aku telat memberitahu surat keputusan kepindahanku itu.