"Pi... Kamu nggak komentar tentang kepindahanku itu? Ke Australia lho... Kita harus pindah dari sini," aku berusaha memancing.
"Ini kan bukan pertama kali kita pindah karena kerjaan, Mom... Waktu kamu harus menjalani training, kita juga sempat setahun di Singapore. Setelahnya harus berpisah sementara karena kamu harus ke Jepang untuk seminar dan survey. Trus, kenapa lagi?"
"Tapi, yang ini bakal lama..." Aku masih berusaha membantah, bermaksud memancing sesuatu.
"Yang penting, pendidikan dan kebutuhan anak-anak bisa teratasi dengan jelas, Mom..."
"Urusan Papi sendiri, gimana?" Terungkap juga pengganjal hati. Semoga Nanu menangkap maksudku sebenarnya.
Mata Nanu menatapku tajam. Di sorot tajam pasang mata yang memang menjadikan alasanku untuk jatuh cinta pertama kali padanya itu seperti sedang memastikan atas pertanyaanku itu. Kurasa ia menangkap maksudku, namun ingin memastikan dahulu. Aku tahu, Nanu tetap selalu menjaga perasaanku. Untuk urusan apa pun.
"Maksudmu, bagaiana dengan pekerjaanku di sana?" tanyanya pelan. Kepala pun ku anggukkan pelan. Nanu mendekatiku, lalu menyentuh tanganku lembut, "Mom... Dari awal kita berhubungan dulu, kita kan pernah berjanji untuk selalu mendukung agar kita bisa menjadi manusia yang lebih baik. So, jangan kuatirkan hal itu karena aku percaya, aku juga pasti akan menjadi sesuatu yang akan menjadikanku lebih baik di sana."
"Tapi, kita kan nggak tahu apakah di sana ada pekerjaan yang sesuai denganmu, Pi..."
Nanu membelai rambutku mesra. "Kamu tahu, aku bisa bekerja apa saja untuk menafkahi keluarga kita, Mom... Asal pekerjaannya halal, akan kujalani..."
Tak kuasa, kupeluk erat suami terkasihku ini. Ia yang kukenal selalu bisa menjaga perasaanku, tak pernah berubah hingga hari ini. Bahkan pada sebuah persoalan yang mungkin bisa menyetil gengsinya sebagai seorang laki-laki. Nanu ternyata tidak mempedulikannya. Ia hanya mempedulikan anak-anak dan kehidupan keluarga ini agar bisa tetap utuh dalam kebersamaan dan kebahagiaan.
"Aku bangga padamu, Mom... Seorang perempuan sekaligus maminya anak-anak yang tangguh dan berprestasi. Semoga kamu pun bisa menerima suamimu ini apa adanya juga...," ujarnya pelan. Ditariknya kepalaku pelan, "Kita saling mendukung ya..." Dikecupnya keningku dengan seluruh rasa dan kasih sayangnya.