"Lha terus klien-nya darimana?"
"Lumayan-lah, Jeng darimana-mana...," aku meneguk dulu sisa minuman dingin yang tadi kupesan. "Papinya anak-anak kan pinter bergaul. Jadi ada aja kerjaan buatnya."
"Ooo gitu tho..." Helda manggut-manggut. Tiba-tiba ia duduk lebih rapat ke sebelahku. "Eh, Jeng-jeng... Kamu kan Asisten Brand Manager nih... Sebentar lagi akan ada promosi karir pula. Apa nggak sungkan punya suami yang cuma freelance gitu?"
Aku memandang Helga sedikit kaget. Maksudnya gimana nih...
"Maksudmu gimana dengan kata sungkan gitu?"
"Ya-ya-ya..." Helga jadi seperti serba salah sendiri sebelum menerangkan apa yang dimaksud. Aku juga jadi penasaran sekali. "Ya-ya kamu kan punya kedudukan bagus, karir tinggi, finansial apalagi... Lha suamimu hanya begitu, apa kamu nggak merasa aneh aja kedudukan kalian terbalik?"
Aku tersenyum tipis. Mengerti sekarang.
"Gini lho ya, Jeng... Aku ini kalau kerja suka sampai malam sementara dua anakku masih kecil-kecil. Jeng bayangkan saja kalau tidak ada yang memperhatikan mereka. Nggak tahu perkembangannya. Pasti menyedihkan sekali kan?"
Kepala Helga angguk-angguk. Dia masih memperhatikan apa yang hendak kukatakan lagi padanya.
"Nah, sejak awal pernikahan, suamiku itu sudah sangat tahu bahwa aku akan mengalami tahap-tahap karir yang pasti beresiko dalam keluarga, terutama bagi anak-anak. Supaya resiko itu bisa sangat dikurangi, ia bersedia menjaga anak-anak kami itu selama aku bekerja. Toh, week end aku pasti full di rumah bagi mereka dan kerjaan suamiku itu juga memang pekerjaan yang bisa dikerjakan dimana pun."
Helga memandangiku dengan tatapan masih tak percaya. Ku tepuk bahunya tak keras. "Buat sebagian orang mungkin aneh. Tapi, buat keluarga kami tidak. Secara pribadi, aku sangat bahagia memiliki seorang suami yang sangat pengertian serta mendukung karir serta apa pun yang kuperbuat."