Ada benarnya juga pendapat Nanu itu. Apalagi Stefan bukan anak kecil lagi. Dia sudah Sarjana Teknik yang pasti ingin membagikan ilmu dan kemampuannya sesuai apa yang ia dapat selama ini.
"Trus, Â Friska, teman SMA-mu itu gimana? Jadi re-sign untuk jadi ibu rumah tangga full?" Tanya Nanu mengingatkanku pada cerita sekian waktu lalu tentang Friska, sobatku di SMA dulu. Dia yang sudah punya dua anak berencana re-sign untuk menjadi ibu rumah tangga saja. Full time.
"Nampaknya jadi. Aku sudah lama tidak kontak dia lagi," jawabku mengeja yang terjadi. Maklum, sudah lama juga tidak kontak dengan Friska.
"Hebat ya Friska... Punya gelar S2, tapi akhirnya mengalah demi anak-anak dan keluarganya. Iya sih, masih bisa freelance. Tetap saja menurutku pilihan yang nggak bisa dianggap biasa saja," puji Nanu.
Sesaat aku terdiam.
Pujian itu ku tahu tidak dalam rangka menyindir siapa-siapa. Tapi, kok serasa ada yang mengenai sanubari ya? Apakah selama ini aku terlalu memperhatikan diri sendiri, demi karir dan cita-cita yang kukejar? Apakah dengan pilihanku itu keluargaku terbengkalai?
Pandangan aku lepas ke luar jendela. Di sana ada iring-iringan awan. Semoga membawa resahku menjauh.
"Jadi suamimu itu desainer web site gitu?" tanya Helda, partner bisnis pada proyek kantorku kali ini.
"Iya, Jeng... Dia lulusan design visual gitu," komentarku menambahkan.
"Trus, kerja di perusahaan apa gitu? Apa bareng teman-temanya buka PH?" Helda seperti ingin tahu sekali.
Kepalaku menggeleng. "Enggak. Dia freelance saja. Kantornya ya di rumah kami."