Mohon tunggu...
Rangga Dipa
Rangga Dipa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

write a story to inherit my grandchildren.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Resilience

21 September 2024   05:15 Diperbarui: 21 September 2024   08:13 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


"Oh iya, maafkan Ayah sebelumnya. Ayah tahu kamu tidur di atas kapal tua itu, maka Ayah biarkan kamu mengarungi lautan dengannya. Jika saja kamu tidur di kamarmu, maka Ayah akan mengirim Junior untuk menjemputmu."


Naleeka mengangguk paham kemudian matanya terkesima saat melihat barisan peri-peri bersayap indah, berukuran tidak lebih besar dari kupu-kupu terbang mengelilinginya.


"Ini hebat, Ayah. Mengapa Ayah tidak pernah memberitahuku soal dunia ini?"
Ayah mengajak anak kesayangannya duduk pada sebuah batu lalu menautkan sorot matanya, "Kamu tahu, sayang? Tempat istimewa ini Ayah sengaja sembunyikan dari dunia agar dia tetap istimewa. Mungkin sudah saatnya aku menunjukkan ini kepada orang yang istimewa pula, yaitu kamu," jelas Ayah sambil menyentuh hidung kecil anaknya.
Seekor peri kemudian hinggap di pundak Naleeka. Matanya lebar, bibirnya tipis, telinganya lancip dan ia memancarkan cahaya dari sayap indahnya itu. Naleeka sungguh terkesima dengan kecantikan mereka.


"Lantas, mengapa lampu mercusuar itu padam, Ayah? Aku khawatir, Ibu juga, walaupun dia sempat memarahiku karena keluar rumah malam hari. Tetapi ia sangat khawatir, Ayah tidak apa-apa, kan?"


"Tentu Ayah tidak apa-apa, lampu itu padam tanda harus diganti. Nah, Ayah justru sangat bahagia melihatmu tumbuh menjadi remaja yang tangguh dan tidak rewel. Tetapi, kamu harus tetap mendengarkan nasihat Ibu, ya, jangan dilawan," jawab Ayah membuat Naleeka terkekeh kikuk.


Keduanya kembali beranjak dan berjalan ditemani Junior di belakang bersama para peri yang kini bernyanyi dengan alunan yang indah.


"Bagaimana kabarmu, sayang? Adakah hal yang ingin kamu sampaikan selama Ayah pergi?"


Langkah Naleeka terhenti. Pertanyaan itu bagaikan biru yang haru di hatinya, selama ini Naleeka dipaksa dewasa oleh keadaan. Ayahnya yang selalu pergi dengan durasi lama, Ibu mengomeli karena alasan khawatir.


Ruang gerak untuk berekspresi yang sempit, Naleeka merasa bahwa satu-satunya rumah yang tepat baginya untuk mengadu dan berkeluh kesah hanyalah dirinya.


Tentu, pertanyaan Ayah adalah sebuah kalimat yang selama ini dibutuhkan oleh Naleeka. Gadis itu berkaca-kaca lalu menatap Ayahnya lekat.


"Aku sangat merindukanmu, Ayah. Aku sering tersesat dan takut mengambil keputusan yang salah, di saat aku membutuhkanmu, Ayah tidak ada di sana. Aku sungguh merindukan dan membutuhkanmu, Yah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun