Pendaratan mereka mulus, Junior membungkuk disusul Naleeka yang melompat turun dari punggung si burung hantu sambil tertawa puas dan rambutnya terlihat amat berantakan karena terpaan angin.
"Itu tadi hebat, Junior, aku sangat bahagia, terima kasih!" ujar Naleeka sambil mengelus kepala Junior dengan lembut.
"Akhirnya kamu tiba, Naleeka." Suara itu menarik perhatian Naleeka, terdengar hangat, dalam, dan tidak asing, "Bagaimana penerbangan singkatmu dengan Junior? Hebat, bukan?" lanjutnya seraya tersenyum lebar.
"Ayah?" panggil Naleeka, raut wajahnya tegang dan matanya mulai terasa berembun. "Ayah, aku sangat merindukanmu!" sambung Naleeka sembari melompat dan memeluk Ayahnya erat.
Tangis haru langsung pecah, Ayah mengelus lembut rambut bondol anaknya dan mengecup dengan perlahan ubun-ubun kepalanya.
"Ayah juga merindukanmu, Naleeka. Sudah 6 bulan lebih, ya? Mari ikut Ayah, kita akan jalan-jalan di sekitar mercusuar."
Naleeka menunjukkan wajahnya. Ia membalas senyum Ayah, pipi bulatnya basah karena air mata, lekas Ayah menyekanya dengan jari kemudian menggandeng anaknya berjalan di atas karpet merah yang kanan dan kirinya diterangi lampion kuning menuju hutan peri di belakang mercusuar.
***
Ayah adalah sosok yang memiliki tinggi sekitar 170 senti, ada berewok tipis dan kumis tebal menghiasi wajah tegasnya, mata hitamnya teduh dan tidak mencolok. Ia adalah sosok Ayah yang amat dirindukan oleh Naleeka.
Malam ini Ayah terlihat aneh, bagaimana tidak? Ia mengenakan seragam layaknya raja-raja pada abad pertengahan di Eropa. Naleeka tak berhenti tertawa geli, bahkan ia tampak lucu dengan topi lebar yang rumbainya bergoyang-goyang.
"Ayah, mengapa aku pergi ke sini dengan kapal tua itu?" tanyanya.