***
"Sudah Ibu katakan, kalau malam setelah pukul 7 jangan pernah keluar! Kamu berani menantang perintah Ibumu lagi?"
Pekikan Ibu menyeruduk ke seisi ruangan. Naleeka hanya menunduk, takut menatap wajahnya yang merah padam. Sementara Ibu mulai menunjuk jam dinding dan dirinya seolah mereka adalah dua hal yang saling berkorelasi, namun Naleeka tak bisa berhenti memikirkan nasib lampu mercusuar.
Apakah Ayahnya baik-baik saja di pulau seberang sana? Bagaimana jika dia dalam masalah dan tidak ada yang membantu?
Sungguh, perasaan haru mulai mengungkung dada dan pikirannya. Tetapi semua buyar karena omelan Ibu yang belum kunjung berhenti. Tangan Naleeka bergetar ketakutan.
"Cepat pergi ke kamar dan jangan membantah lagi!"
Naleeka belum berani menatap Ibu. Ia hanya mengangguk kemudian beranjak menuju kamarnya. Suara derit halus terdengar saat kakinya menapak lantai kayu rumah.
Sebuah rumah panggung yang berada di pesisir pantai. Lampu-lampu petromaks temaram menemani, suara ombak memecah keheningan dari kejauhan, di dalamnya tidak banyak yang bisa Naleeka nikmati kecuali guratan pada dinding kayu, dan kail pancing yang digantung berjejer.
Gadis itu langsung merebahkan tubuh kurusnya di atas kasur yang sudah usang, menatapi langit-langit atap sementara pikirannya belum beranjak dari mercusuar itu. Ia mencoba memejamkan mata untuk tidur lalu menghitung domba dari angka satu hingga seratus.
Sampai akhirnya, ia terduduk dengan mata terbelalak lebar dan jantung berdebar. Ia baru ingat selimut bulu dombanya masih tertinggal di kapal kayu. Segera ia beranjak dari kasur untuk pergi mengambilnya. Namun, Naleeka harus ekstra waspada jika tidak ingin diamuk lagi oleh Ibunya.
Suara pintu dan lantai kayu berderit lembut. Naleeka meringis lalu melangkah dengan sangat pelan mirip seperti maling padahal ini adalah rumahnya sendiri. Setibanya di ruang tamu menuju pintu keluar, batang hidung Ibu yang pesek dan perangainya yang galak tidak terlihat.